Kumpulan Laporan
Observasi
di Program D3 Manajemen
Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus,
Politeknik Negeri
Jakarta
Oleh: Mahasiswa Mata
Kuliah Psikolinguistik dan
Linguistik Edukasional
Program Pascasarjana
Linguistik, Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia
Semester Ganjil
2014-2015
Dosen Pengampu:
Harwintha Y. Anjarningsih, PhD
(0812 860 60
584)
Asrie
Rahmiatie
NPM:
1406516163
Refleksi Kunjungan Ke Kelas Mahasiswa
Berkebutuhan Khusus
di Jurusan Manajemen Pemasaran Politeknik
Negeri Jakarta
Individu dengan keterbatasan fisik dan
mental, masih dapat belajar meskipun kecepatan belajarnya tidak sama dengan
orang normal. Diperlukan program khusus, serta guru-guru yang terampil dan
sabar dalam memfasilitasi kebutuhan belajar mereka. Hal tersebut terlihat ketika saya dan rekan-rekan
mengunjungi kelas untuk mahasiswa berkebutuhan khusus di Politeknik Negeri
Jakarta (PNJ).
Di Jurusan Manajemen Pemasaran (PNJ) ,
terdapat 3 golongan kelas yang menerima mahasiswa dari penderita tuna rungu, slow learner, dan autism. Tentu tiga golongan ini memiliki
tantangan belajarnya masing-masing. Penderita tuna rungu, memilik kemampuan
kognitif yang sama dengan orang normal, hanya saja mereka memiliki kesulitan
berkomunikasi.Komunikasi dilakukan denga bahasa isyarat atau membaca gerakan
bibir. Maka dosen harus bisa memahami bahasa isyarat dan berbicara dengan jelas
di depan mahasiswa, sehingga mereka bisa memahami materi kuliah dan
mengembangkannya dalam melaksanakan tugas kuliah. Penderita slow learner tidak mangalami masalah
komunikasi, akan tetapi memiliki kemampuan kognitif yang kurang, maka dosen
harus memberikan materi secara berulang untuk memastikan mahasiswanya paham dan
ingat. Mahasiswa ini cenderung membeo dan tidak dapat mengembangkan materi
kuliah seperti mahasiswa tuna rungu. Jenis mahasiswa ketiga adalah mahasiswa
dengan autism yang memiliki kemampuan sosial rendah sehingga kerap menimbuklan
masalah dalam proses belajar. Mahasiswa kadang tantrum, menghilang saat kuliah
berlangsung, atau mengganggu temannya. Diperluka kesabaran ekstra dari dosen
untuk mengajar mereka. Program ini adalah program D-3, akan tetapi ditempuh
minimal selama 8 semester untuk menyesuaikan kemampuan kognitif mereka.
Saya merasa terharu bahwa para mahasiswa
ini diberikan kesempatan belajar yang sama sebagai warga negara Indonesia. Saya
yakin adanya program ini sangat menggembirakan hari orang tua mahasiswa
tersebut karena anak mereka diberi kesempatan belajar untuk lebih mandiri sehingga
kelak bisa hidup di masyarakat. Saya pun salut dengan kesabaran para dosen
dalam menghadapi mahasiswanya. Salut terbesar saya terhadap para mahasiswa itu
sendiri, karena dibalik keterbatasan mereka, masih ada semangat mereka untuk
belajar. Saya berharap program ini akan terus berlanjut dan muungkin suatu hari
saya dapat berkontribusi dalam mendidik siswa berkebutuhan khusus.
Angga Rosma Pramodhawardhani
Linguistik – Pengajaran Bahasa
1406516144
Laporan Kunjungan ke PNJ
“Anak ASD Juga Bisa
Duduk di Bangku Kuliah”
Kata Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autis
pertama kali dikenalkan oleh Leo Kanner pada 1943. Kanner
mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain. Sedangkan dalam Longman Dictionary of Language Teaching and
Applied Linguitics, autis adalah ganguan pada orang yang merusak komunikasi
dan interaksi sosial. Jadi, kata ini merujuk kepada
seseorang yang suka menyendiri dan seakan-akan memiliki dunianya sendiri.
Kelainan ini sering dikenal dengan Autism Spectrum Disorder
(ASD). Penyebab dari ASD ini masih sulit ditemukan namun dugaan sementara
adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Ciri-ciri anak pengidap ASD ialah
tidak memiliki kontak mata terhadap lawan tuturnya dan sering menyendiri.
Kebanyakan anak ASD bersekolah di sekolah luar biasa dan tidak
banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Lain halnya dengan anak-anak
pengidap ASD yang berkuliah di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Anak-anak ini
melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi (PNJ). Akan tetapi, mereka
dapat duduk dibangku perkuliah bukan tanpa syarat. Ada persyaratan yang harus
mereka penuhi agar bisa menjadi mahasiswa di PNJ. Salah satunya adalah lulus
SMA.
Saya melakukan perbincangan dengan salah satu mahasiswa PNJ yang
mengidap ASD. Dari hasil perbincangan tersebut, diketahui bahwa ia merupakan
lulusan Sekolah Global Mandiri. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang cukup
baik dikawasan Cibubur. Selain itu, selama interaksi berlangsung tidak terlalu
terlihat berbedaan yang mencolok. Ia menggunakan bahasa yang baik dan benar
namun sedikit terlalu formal. Pada saat perbincangan berlangsung, kontak mata
terjadi namun tidak terlalu sering. Di akhir perbincangan pun ia sempat meminta
nomor telepon untuk bisa saling berinteraksi dikemudian hari. Hal ini saya
tanggapi dengan positif dengan bertukar nomor telepon.
Dari perbincangan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa dengan
penanganan yang tepat, anak dengan ASD juga dapat melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi. Selain itu, dengan kemauan yang besar dan tekad yang kuat
dari sang anak, melanjutkan sekolah hingga bangku kuliah adalah bukan hal yang
mustahil. Tentunya hal ini tidak lepas dari peran serta orang tua yang menerima
keadaan anaknya dan melakukan penanganan dini dan instensif sehingga kelainan
ASD dapat berkurang.
Narno
(1306499074)
Wiwit Fitriyana
(1306499143)
Laporan
Kuliah Lapangan Mahasiswa Berkebutuhan Khusus
di
Politeknik Negeri Jakarta
Tanggal
|
Waktu
|
Kegiatan
|
Selasa, 4 November 2014
|
10.00-12.30 Wib
|
Observasi secara umum dan perkenalan
|
Senin, 24 November 2014
|
09.00 – 13.00 Wib
|
Observasi performa bahasa pada mahasiswa berkebutuhan khusus.
|
Kunjungan yang kami
lakukan di Politeknik Negeri Jakarta ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama
dilakukan pada hari Selasa, 4 November
2014. Tahap pertama ini untuk observasi secara umum mengenai mahasiswa
berkebuthuan khusus. Kami disambut oleh ibu Dewi Akbar selaku ketua Program
Politeknik Non Reguler (berkebutuhan khusus). Setelah mendapat pengarahan dari
beliau, kami mengetahui bahwa mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus di
Politeknik ini didominasi oleh penyandang autisme.
Pada kunjungan pertama
ini, Ibu Dewi Akbar memberikan saran agar kami terlebih dahulu memahami cara
berkomunikasi dengan para mahasiswa penyandang autisme. Hal ini perlu dilakukan
agar ketika melakukan pengamatan mengenai performa bahasa yang mereka gunakan,
kami mendapatkan info secara maksimal.
Kemudian, beberapa mahasiswa
berkebutuhan khusus ini diminta untuk berbagi pengalaman mereka kepada kami.
Secara umum, terlihat mereka menggunakan performa bahasa yang tidak biasa
seperti menjawab perkataan yang tidak sinkron dari yang ditanyakan. Kejadian
waktu itu adalah seorang mahasiswa bernama Adi, secara fisik ia terlihat tidak
memiliki kekurangan. Akan tetapi, ketika Ibu Debar bertanya pada Adi, di mana
ia tinggal, ia justru bercerita mengenai sebuah film yang akan tayang secara
serentak di negara-negara maju di Asia.
Mahasiswa kedua yang
diminta oleh Ibu Dewi adalah Ega, seorang mahasiswa yang pernah memenangkan
lomba desain. Hal yang membanggakan adalah, bahwa perlombaan ini diikuti oleh
seluruh mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, baik reguler maupun non-reguler (berkebutuhan
khusus). Dengan kata lain, Ega mengalahkan lawan-lawannya yang tidak memiliki
kebutuhan khusus. Secara komunikasi, Ega
mampu berkomunikasi dengan baik dengan kami, dalam arti, ia dapat menjawab
pertanyaan sesuai dengan hal yang kami tanyakan.
Terdapat pengalaman
yang menarik yang pernah dialami oleh salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus
bernama Orisa. Dia bercerita, ketika di stasiun Manggarai, tas yang dia bawa
ditarik oleh orang yang tak dikenal. Kemudian ia mengejar penjambret tersebut, namun
sangat disayangkan, ia berhasil lolos dengan menaiki taksi yang kebetulan
melintas di sekitar stasiun Manggarai. Orisa merasa harus mendapatkan kembali
tasnya, karena di dalam tasnya terdapat banyak barang berharga, seperti laptop
dan dompet. Dengan datar ia bercerita, melalui telepon pintar yang ia
miliki, ia mencari nomor telepon taksi yang telah membawa pencuri tasnya.
Setelah menemukan nomor telepon, kemudian ia menelepon pusat layanan informasi
taksi tersebut, dan menginformasikan kepadanya bahwa taksi dengan nomor polisi
B xxxx xxx penumpang di dalamnya adalah pencuri yang telah mencuri tasnya.
Kemudian dia bertanya di mana lokasi taksi tersebut, dan meminta agar supir
taksi membawa penumpang di dalamnya ke kantor polisi. Setelah berkomunikasi dengan
petugas taksi melalui telepon, kemudian diketahui lokasi keberadaan taksi
tersebut. Orisa segera menuju lokasi yang dikabarkan, menggunakan transportasi
umum, kereta listrik dan bus Kopaja. Pada akhirnya, dia mendapatkan kembali tas
miliknya di dalam taksi, namun pencuri tas berhasil melarikan diri ketika supir
taksi berhenti di kantor polisi. Bagi kami yang mendengarkan cerita ini secara
langsung sangat terkagum-kagum dengan kemampuannya menganalisa dan kecepatan
bertindak. Bahkan, menurut kami, belum tentu bagi kami yang normal dapat
melakukan tindakan yang sama jika hal tersebut terjadi pada kami. Orisa
memiliki ingatan yang sangat baik, ia dapat mengingat dengan baik nomor polisi
taksi yang membawa pencuri tasnya.
Banyak hal yang kami
dapatkan hari itu, di balik keterbatasan yang dimiliki oleh teman-teman di
Politeknik Negeri Jakarta tersebut, Tuhan tetap memberikan kelebihan-kelebihan
lain. Seringkali mereka dianggap aneh atau tidak normal, namun kami menilai
bahwa mereka hanya sedikit berbeda. Jika mendapatkan penanganan yang baik,
mereka dapat tumbuh dan bermanfaat bagi diri dan orang-orang di sekitarnya
serta dapat hidup mandiri.
Pada tahap kedua, kami
berkunjung pada Senin, 24 November 2014. Pada tahap ini, kami memiliki tujuan
mengamati performa bahasa pada mahasiswa berkebutuhan khusus secara umum, tidak
hanya autisme. Kami mengamati tiga orang mahasiswa berkebutuhan khusus, mereka
adalah Tania, Aldi dan Eldwin.
Ketika kami
berbincang-bincang dengan Tania, kami merasakan perbedaan secara menonjol dalam
hal irama atau nada yang ia gunakan ketika berbicara. Ia berbicara dengan nada
turun di setiap kata, dan dengan suara yang lantang atau suara yang tinggi jika
dibandingkan dengan orang normal seusianya ketika berbicara. Menurut Cohen
(1997), pada penyandang autisme, pola perkembangan bahasa dan penggunaan bahasa
yang mereka gunakan merupakan pola yang
sangat tidak biasa. Pertama, terdapat keanehan pada nada dan modulasi tuturan.
Irama tuturan normal sering hilang shingga suara akan terdengar monoton dan
putus-putus meskipun jelas. Anak dapat berbicara terlalu keras atau bahkan
bicara terlalu pelan, serta mereka memiliki aksen bicara yang cukup berbeda
dengan keluarga atau teman sebayanya. Pada kasus ini, Tania berbicara terlalu
keras jika dibandingkan dengan orang yang berusia sama dengannya ketika
berbicara santai atau dalam konteks non-formal.
Setelah itu, kami
bertemu dengan orangtua dari Tania yang saat itu sedang menjemputnya. Orangtua
Tania bercerita mengenai masa kecil Tania, ketika usia dua tahun ia divonis
oleh dokter menderita autisme dengan jenis ADHD. Sesuai dengan pendapat Cohen (1997) yang
mengatakan bahwa, pada anak-anak penyandang autisme, mengalami keterlambatan
dalam pemerolehan kata pertama atau frase. Meskipun dalam beberapa kasus
khususnya bagi mereka yang kemampuan kognitifnya tinggi, akan sama dengan
anak normal lainnya. Sekitar 25% anak
penderita autisme, pemerolehan katanya terjadi pada usia 12 atau 18 bulan
(Cohen: 1997). Pada kasus Tania, kemungkinan besar dokter memiliki kecurigaan
ketika Tania berusia dua tahun dan belum mengalami perkembangan bahasa layaknya
anak-anak seusianya, yang sudah memiliki kemampuan berbahasa lebih baik. Oleh
karena itu, Tania baru dinyatkan autis ketika menginjak usia dua tahun.
Berdasarkan kriteria
dari DSM-IV, anak penderita autisme mengalami gangguan kualitatif dalam
berkomunikasi yang ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1)
keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak
disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka
sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi), (2) ciri gangguan yang jelas pada
kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun
dalam percakapan sederhana, (3) penggunaan bahasa yang repetitif
(diulang-ulang), streotip (meniru) atau bersifat aneh, (4) kurang beragamnya
spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan
tingkat perkembangannya (Peeters: 2).
Pada kasus Tania, hal
yang paling menonjol adalah poin (2), gangguan pada kemampuan untuk memulai
atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan yang
sederhana. Setelah kami berbincang-bincang kurang lebih selama lima menit,
Tania tiba-tiba pergi dan masuk ke dalam ruang kelas, ketika masih jam
istirahat. Menurut informasi yang kami dapat dari dosen Bahasa Indonesia, Tania
sering meninggalkan kelas ketika jam pelajaran masih berlangsung. Tidak hanya
pada Tania saja, pada umumnya mahasiswa dengan autisme, akan meninggalkan kelas
ketika pelajaran masih berlangsung. Secara umum, terlihat bahwa para mahasiswa
autis cenderung tidak ingin melanjutkan pembicaraan dengan orang lain. Atau
bisa dikatakan tidak dapat fokus pada satu objek. Untuk permasalahan ini, dosen sering
mengingatkan mahasiswanya melalui peringatan yang ditulis di papan tulis,
“Tidak boleh meninggalkan kelas, sebelum pelajaran berakhir!”.
Informan yang kedua
adalah Aldi, seorang mahasiswa penyandang autisme muslim, namun sangat senang
menyanyikan lagu-lagu rohani Kristen. Berdasarkan infomasi dari Ibu Dewi Akbar,
Aldi pernah diajak oleh seorang kristian mengikuti kebaktian di gereja. Aldi
dimanfaatkan karena keluguannya. Hingga kini, Aldi masih mengingat lagu-lagu
yang dinyanyikannya saat di gereja. Hal ini yang paling menonjol ketika kami
berbincang-bincang dengannya. Ketika kami bertanya tentang hal-hal yang
mendasar, Aldi justru menjawab dengan bernyanyi, bahkan saat pertanyaan dari
kami belum selesai. Hal lain yang menonjol dari Aldi adalah, sering mengulang
pertanyaan yang diajukan dan bukan menjawab pertanyaan dari kami. Seperti waktu
itu, kami bertanya, “Aldi rumahnya di mana?” Aldi justru mengikuti
pertanyaan tersebut, “Haaa....rumahnya di mana”. Kemudian, kami
mengambil inisiatif, bertanya kembali, “Rumahnya di Depok ya?”, Aldi
menjawab, “Iya”. Fenomena mengulang pertanyaan ini disebut dengan echolalia
atau ekolali (Peeters: 58).
Menurut Rydell dan
Mirenda (1994), ekolali akan meningkat saat anak merasa gelisah, khawatir,
sedih yang menandakan mereka mengalami tekanan yang tidak semestinya. Pada
kasus perbincangan kami dengan Aldi, ia sangat sering menggunakan ekolali ini.
Asumsi kami, alasan Aldi sering menggunakan ekolali ini adalah, karena ia
merasa tertekan atau tegang ketika berbincang-bincang dengan kami, orang yang
baru dikenalnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penderita autisme
akan mengulangi pertanyaan yang diajukan ke mereka daripada menjawabnya.
Menurut Rydell dan Mirenda (1994) sebenarnya hal ini dapat diatasi dengan cara
memberikan petunjuk (prompt) pada mereka misalnya daripada bertanya
‘Kamu ingin apa?’ lebih baik mengatakan ‘Saya ingin sebuah bola’ sehingga anak
tersebut akan menirukannya. Saran lama-lama akan hilang sampai anak dapat
menjawab pertanyaan dengan tepat tanpa pengulangan. Saran tersebut sudah kami
lakukan ketika kami berkata, “Aldi, Aldi nggak boleh nyanyi Tuhan Yesus, kan
Aldi ke masjid, bukan ke gereja.” Kemudian Aldi menjawab dengan, “Haa..tidak
boleh nyanyi Yesus? Aldi ke masjid.” “Iya, Aldi kan Muslim”,
kemudian ia menirukan, “Aldi Muslim.”
Menurut Howlin (1998:
7) pola perkembangan bahasa dan penggunaan bahasa pada penyandang autisme akan
sangat tidak biasa. Salah satunya adalah adanya perbedaan kesalahan semantik
seperti adanya neologisme dan penggunaan kata ganti yang terbalik. Pada
informan kami yang ketiga, bernama Eldwin. Kami tidak banyak berkomunikasi
decara langsung dengannya, tetapi kami mengamati peristiwa yang sedang terjadi
pada Eldwin. Ketika itu, kami tengah melihat Eldwin sedang menulis surat untuk
pacarnya yang juga penyandang autisme di kelas yang sama dengannya, Tika
namanya.
Berdasarkan surat yang
dibuat oleh Eldwin, terdapat kesalahan semantik seperti yang disebutkan oleh
Howlin (1998: 7). Berikut ini kutipan dari surat tersebut, “Tika temanku,
aku minta maaf karena membuat aku tersinggung dan sedih.” Kesalahan
yang terjadi dalam konteks ini adalah Eldwin menyebut kata ‘kamu’ menjadi
‘aku’. Namun, hal itu terjadi hanya satu kali dalam suratnya. Jika dilihat dari
pilihan kata yang digunakan, memang sedikit berbeda dari mahasiswa seusianya.
Seperti pemakaian kata sifat baik, sedih, nakal dan berdosa. Kata-kata tersebut
kemungkinan tidak akan dipakai oleh orang seusianya jika menghadapi
permasalahan yang sama. Jika dilihat dari kalimat yang digunakan pun, pengungkapan
perasaan yang digunakan oleh Eldwin cenderung lugas, sederhana dan tidak ada
makna konotasi dalam kalimat-kalimatnya. Menurut Rydell dan Mirenda (1994),
penyandang autisme akan kesulitan ketika memahami kata-kata yang bermakna
konotasi, seperti ungkapan, metafora dan peribahasa. Oleh karena itu, tidak
mengherankan ketika Eldwin menulis surat dengan bahasa yang lugas dan tidak
terdapat makna konotasi sedikitpun di dalamnya.
Dian Natashia (1306499042)
Raihanah Permata Sari
(1306499093)
Laporan Kunjungan Observasi
Politeknik Negeri Jakarta tanggal 24
November 2014
Dalam laporan ini, kami akan membahas
tentang gangguan bahasa yang teridentifikasi
melalui tuturan salah satu mahasiswa D3 Politeknik Negeri
Jakarta berkebutuhan khusus.
1.
Latar Belakang
Perkembangan manusia merupakan perubahan
yang progresif dan berlangsung terus
menerus
dan berkelanjutan. Akan tetapi, tidak semua anak mengalami perkembangan normal.Banyak
di antara mereka yang perkembangannya mengalami gangguan, hambatan,
kelambatan,
atau memiliki faktor-faktor resiko yang akhirnya membutuhkan penanganan
khusus
untuk mencapai perkembangan optimal. Kelompok inilah yang kemudian dikenal
sebagai
anak berkebutuhan khusus.
Salah satu tipe gangguan perkembangan
yang termasuk dalam karakteristik anak yang
berkebutuhan
khusus adalah ASD atau Autistic Spectrum Disorder. Anak-anak
yang
menderita
ASD mulai menunjukkan gejala keterlambatan perkembangannya sejak usia dini,
seperti
tidak berusaha melakukan imitasi gerakan orang lain atau tidak merespon dengan
baiksaat diajak berbicara sebagaimana yang dilakukan anak bayi pada normalnya,
yang
menyebabkan
keterlambatan menggunakan gestur dan keterampilan dasar (vokalisasi dan
pemerolehan
bahasa), sedangkan peran gestur sangat penting dalam pemerolehan bahasa
anak pada
masa pra-bahasa (Caroll, 2008 : 258). Pernyataan inilah yang menimbulkan rasa
keingintahuan
kami akan gangguan bahasa yang dimiliki oleh anak ASD.
Dalam penelitian ini, kami mengambil satu
sampel anak berkebutuhan khusus yang
terindikasi
termasuk anak ASD, yang kami ajak berbicara saat mengunjungi Politeknik
Negeri
Jakarta. Responden bernama Ega yang terindikasi memiliki ASD high function dan
kami
melihat Ega tidak terlalu jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya. Dengan
demikian,
kami tertarik untuk menemukan karakteristik anak ASD yang ada padanya dengan melihat dari
tuturannya. Kami akan menganalisis tuturan responden untuk melihat berbagai
aspek
kebahasaan yang mengalami gangguan. Tuturan kami dapatkan dengan metode
wawancara
dan dalam analisis, kami menggunakan metode deskriptif kualitatif.
2.
Tinjauan Pustaka
2.1 Autistic
Spectrum Disorders
Autistic
Spectrum Disorders atau ASD merupakan gangguan
perkembangan neurobiologis yang ditunjukkan melalui kelemahan dalam
keterampilan interaksi sosial dua arah dan
keterampilan
komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, dan tingkah laku berulang (Lubetsky, Handen dan McGonigle, 2011:4). ASD
umumnya mencakup lima gangguan
perkembangan
masa kanak-kanak, yaitu autistic disorder, Rett’s disorder,
childhood
disintegrative
disorder, pervasive developmental disorder-NOS (PDD-NOS),
dan Asperger’s syndrome menurut DSM-IV 1994 (Muma dan Cloud, dalam
Damico, Muller dan Ball, 2010:155). Anak autis pertama ditemukan pada
tahun 1700 dan pada tahun 1940-an autis
dikategorikan
sebagai gangguan kejiwaan (schizophrenia). Kata autism atau autistic berakar
dari kata Yunani, autos yang
bermakna sendiri sehingga pada awalnya istilah ini mengacu
pada
penarikan diri dari kehidupan sosial. Gangguan ini terlihat semenjak kecil.
Pendekatan
ilmiah mengenai autis mengalami titik temu pada tahun 1943. Leo Kanner
menerbitkan Autistic Disturbances of Affective Conduct yang
mendeskripsikan ciri anak
autis dari 11 anak yang ia teliti.
Terdapat empat ciri yang dipaparkan oleh Kanner, yaitu
gangguan pemerolehan ujaran,
mayoritas anak berjenis kelamin laki-laki, kehadiran
macrochephaly dan
keseluruhan anak tidak mampu membentuk kontak afektif dengan orang
lain secara alamiah (Lubetsky, Handen
dan McGonigle, 2011:6). Kemudian pada tahun 1956, Eisenberg dan Kanner
memaparkan dua kriteria penting untuk mendiagnosis gangguan ini
dari kecil, yaitu ketidakmampuan anak
untuk menghubungkan antara orang dengan situasi
dan ketidakmampuan anak belajar
berbicara atau menyampaikan makna sebagai salah satu
makna dari bahasa. Kedua pendekatan
ini berhasil memberikan gambaran sekilas mengenai
autis pada tahun tersebut. Pada tahun
1952, Mahler memaparkan bahwa anak autis tidak bisa membedakan ibunya dengan
benda mati sehingga mereka tidak memiliki ikatan batin dengan orang lain.
Akan
tetapi faktor kurangnya peran orang tua sebagai penyebab anak menderita autis
mulai bergeser dan etiologi psikogenik terhadap autis diperkenalkan oleh
Michael Rutter.
Rutter (1979) menerbitkan penelitian
mengenai perbedaan anak autis dan anak disfasia
menunjukkan tidak ada perbedaan
antara kedua tipe anak tersebut, baik dari intensitas dan
frekuensi interaksi positif, kualitas
interaksi keluarga dan derajat interaksi ibu-anak. Pendapat Rutter diperkuat
dengan temuan Rimland (1964) mengenai penyebab autis terletak pada sifat
biologis dan neurologis yang terganggu.
2.1.1 Karakteristik anak ASD dilihat
dari bahasa
Kesulitan
berkomunikasi yang dihadapi oleh anak ASD pada umumnya, yaitu mereka mengalami
keterlambatan memproduksi bahasa. Pada masa kanak-kanak, ASD susah
diidentifikasi namun patut dicurigai
ketika anak masih melakukan babbling pada tahun
pertama. Menurut Brazelton (1991) colic (mulas)
merupakan produk dari stimulus berlebihanpada hari sebelumnya. Hal ini terjadi
karena sistem saraf pusat bayi belum bisa memproses
stimulasi tersebut di hari sebelumnya
sehingga colic tersebut diproduksi pada malam hari
untuk melepaskan tekanan kognisi dari
stimulus. Dengan kata lain, anak yang mengalami
colic berlebihan
patut dicurigai mengidap ASD walaupun hipotesis ini perlu diteliti lebih
mendalam.
Keterampilan
bahasa verbal dan komunikasi anak ASD merupakan proses
berkelanjutan, mencakup dari tidak
pernah mengembangkan bahasa verbal sampai lancar
dalam menggunakan bahasa verbal namun
kurang komunikatif ketika berinteraksi dengan
orang lain. Dalam komunikasi verbal,
anak ASD mengalami kesulitan memproduksi ujaran
dari segi prosodi, semantik,
sintaksis dan pragmatik (Bogdashina, 2005:170). Menurut
karakteristik diagnosis gangguan
kualitatif yang digunakan di DSM-IV (APA 1994) dan
ICD-10 (WHO 1992), anak ASD dapat
dilihat dari pengembangan bahasa lisan yang
terlambat atau kurang sama sekali;
kurangnya pemahaman bahasa sebagai alat komunikasi;
kurangnya tanggapan dalam komunikasi
dua arah; bahasa yang tidak biasa (ekolalia dan
penggunaan bahasa literal); kurangnya
penggunaan dan pemahaman bahasa tubuh dan
intonasi sebagai alat penyampaian
informasi; gangguan imitasi sosial; dan kurangnya reaksi
emosional terhadap pendekatan verbal
dan non-verbal dari orang lain.
2.2 Gangguan Perkembangan dari Aspek
Kebahasaan
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya, anak ASD mengalami gangguan perkembangan dalam
aspek kebahasaan, umumnya pada aspek fonologi, sintaktis, semantik dan
pragmatik. Dibandingkan anak non-ASD, anak ASD mengalami gangguan pada
penggunaan prosodi
yang digunakan hingga dewasa dan
tidak tergantung pada tingkatan fungsi verbal (Kanner,
1971 dalam Bogdashina, 2005).
Gangguan ini mengakibatkan ketidakmampuan anak ASD
untuk membaca kode sinyal kebahasaan
sekaligus tidak dapat memproduksi fungsi pragmatikyang berbeda. Pada aspek
sintaksis, Tager-Flusberg (1989) menyimpulkan anak ASD yang
tidak mengalami keterlambatan dalam
pemerolehan pembendaharaan kata tidak akan
mengalami kesulitan dalam sintaksis
namun apabila anak tersebut mengalami keterlambatan, mereka akan cenderung
menggunakan bentuk sintaksis sederhana. Selain itu mereka
cenderung memakai ekolalia atau
pengulangan. Pada aspek semantik, Tager-Flusberg (1989) menjelaskan bahwa anak
ASD dengan low-function akan mengalami kesulitan pada
konseptualisasi namun lain halnya
dengan anak ASD dengan high-function. Pada anak
ASD dengan high-function memang
memiliki keterampilan untuk menyusun pengetahuan
konseptual atas kategori objek
konkrit namun mereka memiliki strategi
kognisi yang berbeda, dimulai dari barang konkrit terlebih dahulu lalu
konseptualisasi. Pada aspek terakhir, anak
ASD mengalami kesulitan dalam
keterampilan pragmatik, seperti salam, inisiasi topik,
pembagian topik, pengembangan topik,
penggunaan deiksis, anaphora dan penutup
pembicaraan (Damico, Muller, dan
Ball, 2010:157).
3.
Pembahasan
Pada esai ini, kami akan membahas
hasil temuan kami mengenai gangguan bahasa yang dialami anak ASD. Gangguan
bahasa yang kami bahas hanya pada aspek sintaktis dan
pragmatik
sedangkan aspek lainnya tidak kami temukan pada tuturan sampel penelitian.
3.1 Gangguan bahasa pada aspek
sintaktis
Dari data yang ditemukan dari tuturan
sampel, ada kecenderungan sampel melakukan
kesalahan pada bentuk kata perangkai
dan mengulang kata sebelumnya ia ucapkan.
(12)E: Ada temen-temennya,
pengiringnya belakangnya
Data diatas menunjukkan adanya
kesalahan dalam sintaktis; bahasa Indonesia memiliki
bentuk sintaktis S-P-O-K namun pada
tuturan (12) kata kerja digantikan kata benda dengan
imbuhan -nya dan
sebelum keterangan tempat memerlukan kata depan. Pada kasus ini,
belakangnya tidak
disertai kata depan. Hal ini sering muncul pada anak ASD, terutama pada kata
perangkai dieksis (ini atau itu). Sifat relativitas kata perangkai ini yang
membuat anak
ASD kesulitan menentukan kapan harus
menggunakannya (Bogdashina, 2004:181)
(14)E: Aku nyanyinya..nyanyi sendiri
tapi dibantu penari-penari latar
(27)E: Ceritanya temennya…temennya
ini dari Jepang atau mana itu tersesat di Tibet nemuin…nemuin petulangan…eh
nemuin temennya…
(35)E: Yeti itu adalah suatu
makhluk…makhluk fiksi sebenarnya..belum ditemukan seutuhnya..makhluk kayak
setengah manusia dan beruang gitu..manusia raksasalah
Tuturan (14), (27) dan (35) memiliki
pola yang sama; mengulangi kata yang sebelum ia
ucapkan. Pola ini terlihat seperti
ekolalia namun kecenderungan ini disebabkan oleh
pemrosesan yang terlambat. Pemrosesan
tuturan ini dapat terjadi pada anak ASD, terutama
ketika ia mengakses kembali
leksikonnya. Pada kasus Ega, pengaksesan leksikal sederhana
cenderung lebih sulit, seperti kata nyanyi, temennya
dan makhluk.
3.2
Gangguan bahasa pada aspek pragmatik
Pragmatik
melihat tuturan dan konteks yang menyertainya. Pada kasus Ega, ditemukan
adanya perbedaan relevansi antara tuturan
penutur dengan tuturan mitra tutur. Asumsi
penutur D dan R pada konteks tertentu berbeda
dengan Ega.
(3)D:
Baik, nanti kelas kamu apa?
(4)E:
Nanti aku latihan untuk acara di sini…di gedung direktur
Pada
tuturan (3), D bertanya tentang kelas mata kuliah apa yang akan Ega ikuti nanti
;
walaupun
tuturan D tidak mengunakan bentuk sintaksis yang benar, namun implikatur
tuturantersebut mampu dimengerti oleh Ega. Karena mengalami gangguan pada aspek
pragmatik,
Ega
tidak dapat menangkap makna tuturan D. Inferensi Ega terhadap tuturan D ialah
penutur D menanyakan apa yang akan Ega lakukan nanti. Kata ‘kelas’ pada tuturan
D seakan
diabaikan
oleh Ega sehingga tuturan tersebut dimaknai berbeda oleh Ega.
Berikut ini merupakan tuturan kedua
yang diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan
yang menguatkan dugaan bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
(17)D:
Oh gitu, jadi hari ini gak sekolah dong?
(18)E:
kuliah biasanya…
Tuturan
(17) masih mengikuti konteks sebelumnya. Tuturan (3) hingga (17) masih seputar
kegiatan
responden yang akan ia lakukan sesuai wawancara ini, yaitu mengikuti latihan
menyanyi
untuk acara yang akan diadakan pihak kamus di gedung direktur. Tuturan (17)
bermaksud
untuk menegaskan kembali apakah setelah wawancara ini responden akan
mengikuti
kelas mata kuliah selanjutnya atau kegiatan belajar mengajar ditiadakan seiring
diadakannya
sesi latihan. Tuturan tentang ada kelas atau tidaknya pada tuturan (17)
menunjukkan
bahwa D belum puas mendapatkan jawaban dari responden mengenai kelas
yang
responden ikuti karena pada tuturan (4), responden tidak menjawab ada tidaknya,
tetapi menjawab kegiatan lain yang akan ia lakukan usai jam istrirahat. Tuturan
(17) menggunakan bentuk penegasan karena D memiliki asumsi dari tuturan
responden sebelumnya bahwa ia
tidak
akan mengikuti kelas berikutnya karena diganti dengan sesi latihan menyanyi.
Akan
tetapi,
responden tidak menjawab 'ya' atau 'tidak' seperti yang tertulis pada tuturan
(18) dan
menjawab
dengan pernyataan lain yang mengundang asumsi lagi. Walaupun kelihatannya
tuturan
(18) tidak relevan dengan tuturan (17), tetapi tuturan (18) masih relevan
dengan
tuturan
(17), hanya saja untuk melihat relevansinya, dibutuhkan asumsi hasil
interpretasi
tuturan
(18). Dari tuturan (18) dapat diasumsikan bahwa biasanya responden mengikuti
kegiatan
belajar mengajar setelah jam istrirahat, tetapi karena ada acara dan ia
terlibat di
dalamnya,
kegiatan kuliah akan ia ganti dengan sesi latihan. Hal yang menarik pada
tuturan
(18)
adalah responden menjawab tuturan (17) yang semantik dengan tuturan pragmatik.
Berikut ini merupakan tuturan ketiga yang
diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan
yang menguatkan dugaan bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
(21)R: Gamenya.. game apa? FES?
(22)E:
FES bisa, mainan game Tintin mau..baca buku tintin kebanyakan
menjawab
bermain game. Untuk memancing percakapan, penutur R memilih game FES,
salah
satu permainan yang disukai oleh anak laki-laki. Pada awal dimulainya
percakapan
antara
Ega dengan penutur D dan R, Ega melihat kaos bergambar Tintin yang dipakai oleh
penutur
D. Setelah mendapat stimulus sebelumnya, konteks mengenai Tintin dibangun pada
tuturan
(22). Yang menarik pada tuturan (22) ialah adanya pergantian topik dari bermain
game
Tintin menjadi membaca buku Tintin. Salah satu karakteristik anak ASD ialah
mereka
sulit
fokus pada satu topik pembicaraan dan lebih memilih topik pembicaraan yang
mereka
sukai.
Berikut ini merupakan tuturan
keempat yang diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan
yang menguatkan opini bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
(27)E: Ceritanya temennya…temennya ini dari
Jepang atau mana itu tersesat di Tibet nemuin…nemuin
petulangan…eh nemuin temennya…
(28)D:
Oh nemuin temennya?
(29)E:
Jadi susah payah…
Pada
tuturan ini, konteks yang mengelilingi adalah responden sedang bercerita
tentang
seri Tintin yang paling disukainya, yaitu petualangan Tintin di Tibet.
Jadi, tuturan (27)
menunjukkan tuturan bagaimana responden sedang bercerita tentang
petualangan Tintin yangpaling berkesan untuknya. Setelah responden menghentikan
tuturannya dengan intonasi yang turun dan jeda yang cukup lama, D merespon
tuturan responden seperti yang terlihat pada
tuturan (28). Akan tetapi, tuturan (29), yang harusnya merupakan
jawaban untuk tuturan (28),seperti relevan untuk tuturan (27). Jika melihat
tuturan (29), responden seakan-akan sedang
melanjutkan ceritanya yang belum selesai dengan mengacuhkan pertanyaan
pada tuturan (28. Hal ini merujuk pada salah satu karakteristik anak ASD di mana
mereka sulit fokus pada satu topik pembicaraan dan lebih memilih topik
pembicaraan yang mereka sukai. Pada konteks
tuturan ini, responden terlihat semangat saat
sedang menceritakan hal yang ia sukai sampai
menghiraukan pertanyaan lain jika ia belum
menyelesaikan ceritanya.
4. Kesimpulan
Awal
ketertarikan kami dengan menjadikan Ega responden adalah tuturannya yang, jika
tidak diselidiki lebih dalam, terlihat tidak
jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Akan
tetapi, setelah menganalisis tuturan Ega, kami
menemukan beberapa karakteristik ASD pada
tuturannya dan menguatkan asumsi kami bahwa ASD
memiliki gangguan pada bahasanya.
Karena Ega termasuk ASD high
function, dari wawancara singkat yang kami lakukan dengan
Ega, kami menduga bahwa Ega memiliki gangguan bahasa pada aspek sintaksis dan
pragmatik. Kami tidak menemukan gangguan aspek
semantik karena selama wawancara, Egamenunjukkan kemampuan semantik yang baik
karena dapat mengikuti tiap topik dalam
wawancara dengan baik. Pada aspek sintaksis,
kami menemukan bahwa Ega kesulitan
memakai deiksis, memakai ekolalia, sulit mengakses kembali leksikonnya, dan
memakai
bentuk
sintaksis yang sederhana. Pada
aspek pragmatik, kami menemukan bahwa Ega
cenderung untuk menjawab dengan pernyataan yang
kurang informasinya, sehingga seakan-
akan tidak memahami isi pertanyaan yang
diajukan kepadanya. Tidak hanya itu, Ega juga
menunjukkan karakteristik tidak fokus pada satu
topik pembicaraan dan lebih memilih topik yang ia
sukai. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ega, sebagai anak ASD high
function,
mengalami gangguan aspek bahasa tidak pada seluruh aspek, tetapi hanya aspek
sintaksis
dan pragmatik.
4.
Daftar
Acuan
Bogdashina,
Olga. 2005. Communication issues in autism and Asperger syndrome:
do we
speak the same language?. London: Jessica Kingsley Publishers
Carroll,
David W. 2008. Psychology of language. United States of America: Thomson
Wadsworth
Damico,
Jack S, Nicole Muller dan Martin J. Ball. 2010. The
handbook of language and
speech disorders. Wiley-Blackwell
Lubetsky,
Martin J, Benjamin L. Handen dan John J. McGonigle. 2011. Autism
spectrum
disorder. Oxford University Press
Tager-Flusberg,
H. 1989. A psycholinguistic perspective on language development in the
autistic child, dalam G. Dawson Autism:
Nature, diagnosis and treatment. New
York: TheGuilford Press
5.
Lampiran
6.
Transkrip
Rekaman Ega pada kunjungan ke Politeknik Negeri Jakarta tanggal 24 November
2014
(D: Dian Natasha; E: Ega; R:
Raihanah)
(1)D: Ega, gimana hari ini?
(2)E: Baik..
(3)D: Baik, nanti kelas kamu apa?
(4)E: Nanti aku latihan untuk acara
di sini…di gedung direktur
(5)D: Latihan ngapain?
(6)E: Latihan itu apa…nyanyi…
(7)D: Nyanyi? Nyanyi apa?
(8)E: Ondel-ondel, lagu betawi-betawi
gitu deh
(9)D: Terus nanti lomba?
(10)E: Gak, bukan lomba. Acara doang
(11)D: Oh nanti Ega ikutan nyanyi
sama temen2nya apa nyanyi sendiri?
(12)E: Ada temen-temennya,
pengiringnya belakangnya
(13)D: Temennya cowo? Jadi nyanyi
sendirian?
(14)E: Aku nyanyinya..nyanyi sendiri
tapi dibantu penari-penari latar
(15)D: oh..dari jam berapa tuh?
(16)E: nanti abis ini istirahat
(17)D: Oh gitu, jadi hari ini gak
sekolah dong?
(18)E: kuliah biasanya…
(19)R: Ega, sukanya apa sih?
(20)E: Aaa…baca buku, mainan game,
mainan apa juga gapapa
(21)R: Gamenya.. game apa? PES?
(22)E: PES bisa, mainan game Tintin
mau..baca buku tintin kebanyakan
(23)R: Seri yang mana Ega suka?
(24)E: Tintin in Tibet
(25)R: Oh yang di Tibet?
(26)D: Ceritanya gimana tuh?
(27)E: Ceritanya temennya…temennya
ini dari Jepang atau mana itu tersesat di Tibet nemuin…nemuin petulangan…eh
nemuin temennya…
(28)D: Oh nemuin temennya?
(29)E: Jadi susah payah…
(30)D: Oh jadi nemuin temennya. Terus
yang menarik dari cerita Tibet itu apa menurut Ega?
(31)E: Yang menarik….karena ada
legendanya disitu
(32)R: Legendanya apa?
(33)E: Yeti..
(34)D: Yeti? Yeti itu apa sih?
(35)E: Yeti itu adalah suatu
makhluk…makhluk fiksi sebenarnya..belum ditemukan seutuhnya..makhluk kayak
setengah manusia dan beruang gitu..manusia raksasalah
(36)R: Hidupnya kalo Yeti dimana?
(37)E: Yeti…biasanya hidup di pa..es
(38)D: Es?
(39)E: Di gunung-gunung
(40)D: Nanti ceritanya si Tintin
ketemu Yeti ndak?
(41)E: Ketemu
LAPORAN HASIL
PENGAMATAN ANAK-ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MANAJEMEN PEMASARAN
POLITEKNIK NEGERI JAKARTA
1.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Pengamatan
Psikolinguistik
merupakan sebuah kajian yang memiliki fokus terhadap hubungan antara bahasa
dengan otak manusia. Menurut Dharmowijono (2009) psikolingustik merupakan
bidang-bidang lingusitik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan
faktor-faktor di luar bahasa. Faktor tersebut dapat berbentuk seperti
hubungannya dengan otak manusia. Proses bahasa terjadi di dalam otak dan
terjadi dengan normal. Namun, ternyata pada sebagian individu, proses berbahasa
ini tidak selalu terjadi dengan normal, karena pada kenyataannya terdapat
beberapa gangguan pada proses tersebut. Hal ini dapat diamati pada salah
satunya dalam kasus anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, saya dan
rekan-rekan Pascasarjana kelas Psikolinguistik Universitas Indonesia, mencoba
mengamati gangguan bahasa yang terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus kelas
D3 Manajemen Pemasaran yang berlokasi di gedung Arsip Politeknik Negeri Jakarta
(PNJ).
B. Tujuan Pengamatan
Pengamatan berlangsung sebanyak dua
kali, yaitu pertama dilakukan pada hari Selasa,
11 November 2014 dan yang kedua
dilakukan pada hari Senin, 24 November 2014. Observasi ini bertujuan untuk
mengetahui apa saja tipe-tipe anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Politeknik
Negeri Jakarta (PNJ), bagaimana karakteristik anak dengan autisme dan Retardasi
Mental, bagaimana permasalahan dalam bahasa yang sering dihadapi oleh tim
pengajar anak dengan autisme dan retardasi mental (retardasi mental).
C. Kegunaan
Pengamatan
Pengamatan ini diharapkan bermanfaat
untuk mengetahui bagaimana gangguan bahasa yang terjadi pada anak-anak dengan
autisme dan retardasi mental (keterbelakangan mental). Selanjutnya diharapkan
dengan mengetahui permasalahan yang terjadi pada anak-anak dengan tipe tersebut
laporan ini sedikit banyak dapat membantu mengentaskan permasalahan bahasanya.
2.
GANGGUAN
BAHASA PADA ANAK AUTISME DAN RETARDASI MENTAL
Pada kunjungan pertama, seluruh
mahasiswa mata kuliah psikolinguistik melakukan perkenalan dengan satu persatu
anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa tipe anak-anak
berkebutuhan khusus di sini seperti autisme, downsindrome, retardasi mental, tuna rungu, asperger, dan slowlearner.
Namun laporan ini khusus membahas tentang anak-anak autisme dan anak dengan
retardasi mental.
Autisme
merupakan gejala keterbatasan gangguan perkembangan. Secara umum anak-anak dengan autisme itu aktif, mengalami kesulitan
dalam berkomunikasi, dan sedikit berbeda dengan anak-anak lainya. Menurut
Tager-Flusberg dalam jurnalnya Language and Communication in Autism (2005), individu dengan autisme dibedakan atas dua tipe yaitu, high fuctioning dan low functioning. High functioning (HFA) berarti seorang individu tersebut menunjukkan beberapa gejala
autisme, tetapi nilai IQ-nya berada pada tingkat rata-rata atau lebih. Individu
dengan gejala seperti ini biasanya cenderung mampu melakukan interaksi sosial,
tetapi tidak mampu memulai percakapan atau melanjutkan percakapan dalam waktu
lama.
Anak Autisme dengan tipe seperti ini bisa
disebut dengan Asperger Syndrome (AS). Dalam kasus seperti ini, pada jurusan
manajemen pemasaran di PNJ, saya mengamati anak bernama Osca yang dapat
digolongkan sebagai penyandang Asperger Syndrome (AS). Bukti dari hal tersebut
adalah ketika Osca bercerita bahwa pada suatu hari ia mengalami musibah, tasnya
dicuri oleh seseorang di stasiun kereta api. Kepintaran Osca dapat dilihat saat
ia mencoba menangani kasusnya sendiri sewaktu tasnya yang berisi dompet dan
laptop dicuri dan dibawa lari ke dalam sebuah
taxi oleh seorang pelaku kriminal. Osca dengan cepat tanggap menghafalkan plat
nomor taxi yang membawa lari pencuri tasnya, mencari data-data taxi lewat
internet kemudian menelpon pihak yang berwajib. Pada akhirnya Osca mendapatkan
kembali tas yang dimilikinya. Kejadian seperti ini sangat menarik untuk
diamati, karena menunjukan bahwa seorang anak autis dapat berpikir dengan cepat
tanggap yang mana anak normalpun
belum tentu dapat melakukan hal yang sama. Namun, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, saat mencoba berkomunikasi dengan Osca, saya merasakan sedikit
kesulitan, karena Osca tidak mampu memulai percakapan terlebih dahulu dan
melakukan percakapan dalam waktu yang lama.
Sementara
itu, anak dengan low functioning kebanyakan
memiliki intelegensi atau IQ yang rendah. Individu dengan low functioning sering bertingkah laku
aneh, memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh, gerakan-gerakan aneh yang berbeda
dengan yang lainnya serta
menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan. Mereka
terkadang sering melukai diri sendiri, banyak diantara mereka yang memiliki
masalah dalam mengingat, sukar untuk mengingat nama orang atau hal, dan
kesulitan dalam berbahasa.
Tager-Flusberg
(2005:344) menambahkan bahwa sekitar 25% dari anak-anak dengan autisme
digambarkan oleh orang tuanya sudah memiliki kemampuan berbicara sejak usia 12
hingga 18 bulan namun kata-kata yang diperoleh hilang begitu cepat. Hilangnya
kosakata ini terjadi pada anak-anak ketika mereka masih berada di usia yang
relatif kecil sebelum mampu menghasilkan banyak kosakata. Kemudian saat mulai
beranjak dewasa, seorang anak Autis biasanya mulai melakukan kegiatan dengan
pola yang berulang, sehingga kosakatanyapun mulai bertambah dan melekat dalam
pikiran. Walaupun demikian, saat beranjak dewasa, penggunaan kosakata sering
memperlihatkan ketidaksamaan dengan anak-anak normal lainya. Anak autisme
memiliki kesulitan khususnya mendeskripsikan frase maupun kata berimbuhan.
Masalah seperti ini juga saya temukan pada Osca. Menurut Bu Nino, selaku tim
pengajar, Osca memiliki kemampuan yang baik dalam tulis-menulis, hanya saja ia
memiliki kesulitan dalam menggunakan kata penghubung yang tepat dalam setiap
kalimat pada tulisannya. Osca kesulitan memahami perbedaan kata hubung yang
bersifat mempertentangkan dengan kata
hubung yang bersifat menyamakan. Paul, Fischer dan Cohen (1988) menemukan bahwa
walaupun anak-anak dengan autisme dapat menggunakan strategi yang sama dalam
penguasaan kalimat dengan anak-anak lainya, namun mereka selalu tampil kurang
kompeten. Anak-anak dengan autisme tidak hanya memiliki keterbatasan untuk
meningkatkan input bahasa dengan pengetahuan tentang apa yang ada di dunia
nyata, akan tetapi juga dalam beberapa kasus cenderung kekurangan pengetahuan
tentang peristiwa sosial untuk menunjang kemampuan bahasa dan memperoleh
kemajuan dalam struktur bahasa.
Masalah
gangguan bahasa yang dapat diamati dari seorang anak autis dapat diamati dengan
jelas pada tataran semantis. Anak-anak autis memiliki kesulitan dalam memahami
makna suatu ujaran, sehingga komunikasi hanya akan terjadi satu arah. Saya
mengamati kasus seorang anak autis yang bernama “Aldi” di mana ketika saya
menanyakan namanya, anak tersebut hanya bergumam dan bernyanyi. Aldi tidak
memahami maksud dari pertanyaan saya dengan baik, sebagai tambahan, Aldi juga
tidak pernah menatap lawan bicaranya saat berbicara.
Kemudian,
pada pertemuan selanjutnya, saya bertemu seorang anak dengan Retardasi Mental
(keterbelakangan mental) yang bernama Karis. Retardasi Mental adalah
kondisi yang tertuju pada sekelompok kelainan fungsi intelektual (intelegensi
rendah) dan kurangnya kemampuan adaptif. Drg. Siti Salmiah (2010)
mengelompokkan karakteristik dari seorang anak dengan retardasi mental ke dalam
tiga hal yang dapat diamati sejak dini. Pertama, fungsi intelektual umum berada
di bawah normal, terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial, gejalanya timbul dalam masa perkembangan
yaitu pada usia di bawah 18 tahun.
Gangguan
bahasa pada Karis dapat di lihat dari intuisi relevansi tuturannya yang lemah.
Sebagaimana anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya, seorang anak dengan
retardasi mental juga memiliki gangguan terhadap perkembangan bahasa tertentu (specific language impairment). Gangguan
ini dapat teramati khususnya dalam tataran pragmatis. Karis dapat berkomunikasi
dengan baik dan membangun komunikasi dua arah dengan kawan tuturnya, hanya saja
dalam setiap percakapan selalu ditemukan kelemahan intuisi relevansi dari
tuturannya. Karis sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, memiliki
kendala dalam beradaptasi dan memahami kondisi dan situasi. Ia juga sulit
memahami konteks tuturan, sehingga topik pembicaraan akan melebar ke mana-mana.
Sebagai contoh, berikut saya kutip tuturan langsung saya, Neneng dan Karis,
yang berhasil saya rekam saat pertemuan kedua berlangsung :
(percakapan 1)
Neansy
: oh..ini... Karis suka baca cerita-cerita ngga?
Karis : Suka..nonton
film
Neansy : oh, Film? Oh..kalau baca
cerita-cerita gitu misalnya
dongeng atau cerita rakyat gitu, suka ngga?
Karis : Ngga begitu sih. Sukanya film action gitu.
Neneng
: action? Jackie chan?
Karis : iya
Neansy
: Yang paling suka film apa?
Neansy : oh kalau ngga salah, kan ada berapa seri
tuh? The Fast and the
Furious? kalau engga salah lima
yah?
Karis : mau ada yang ke tujuh
Neansy : oh..ada yang ke tujuh ya? Saya suka juga sih, cerita itu.. tapi saya
lupa-lupa ingat ceritanya.
Karis : Katanya ada yang meninggal, siapa? Paul Walker
Neneng : iya...katanya dia ketabrak gitu kan? Trus kecelakaan. kasian banget
Karis : iya, Kukira dia mabok
Neneng : Engga, dia disupirin sama orang, trus kecelakaan, meninggal
Karis : Bintang favorit aku tu,
Neansy : Itu meninggalnya beneran, apa
dalam film aja?
Pada
percakapan di atas, terlihat saya yang memberikan pertanyaan mengenai apakah
Karis suka membaca buku cerita atau tidak, Karis menjawab dengan mengatakan
bahwa ia lebih menyukai menonton film, yang berarti ia tidak terlalu suka
membaca. Lalu, kembali Karis menjelaskan bahwa ia lebih menyukai film dengan
genre action. Percakapan ini kemudian
memancing penjabaran Karis mengenai film yang ia sukai secara khusus, yaitu The Fast and the Furious. Dari sini lah terlihat bahwa Karis memiliki intuisi relevansi
yang lemah, karena ia tiba-tiba berbicara mengenai isu terbaru terkait film
tersebut yaitu, salah satu bintang pada film tersebut (Paul Walker) yang baru saja
meninggal dunia. Keterhubungan antara pernyataan Karis dengan pernyataan yang
saya ajukan sangat jauh. Pada saat itu saya menyatakan bahwa saya juga menyukai
film itu, namun saya lupa bagaimana jalan ceritanya, dengan harapan agar dapat
memancing respon Karis memahami makna tuturan saya yang sebenarnya berniat
memintanya untuk menceritakan kembali alur film tersebut.
(percakapan 2),
Neneng : Kamu suka Jackie Chen ngga?
Karis : Jackie chan? Suka. Aku pingin banget jadi aktor.
Neneng : oh ya, kenapa ngga
ikutan teater aja? Jadi producer gitu.
Neansy : Kalau dalam fast and
furious itu, kamu sukanya siapa?
Karis : Paul Walker.
Percakapan
di atas juga mengindikasikan hal yang sama dari ketidakrelevanan tuturan Karis
dengan pertanyaan rekan saya, Neneng. Neneng bertanya apakah Karis menyukai
Jeckie Chen atau tidak. Karis memang menjawab bahwa ia menyukai Jeckie Chen,
namun setelah itu ia menyebutkan bahwa ia juga sangat ingin menjadi seorang
aktor, seperti jeckie Chen. Tuturan-tuturan Karis memperlihatkan gangguan pada
sistem komunikasi yang dimilikinya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Tila F Ruser (2006) dalam tulisannya ‘Communicative Competence in Parents of
Children with Autism and Parents of Children with Specific Language Impairment’,
bahwa anak-anak dengan retardasi mental memiliki gangguan sistem bahasa di mana
mereka mengalami kemampuan implisit untuk menyimpulkan pikiran dan motif orang
lain. Oleh sebab itu, kesulitan tersebut membuat tuturan menjadi panjang dan
keluar dari topik seharusnya.
3. KESIMPULAN
Beberapa pengamatan
yang telah saya lakukan ini akhirnya membawa saya kepada kesimpulan bahwa
sesungguhnya memang anak dengan autisme (Kasus pada Osca) dan anak dengan
retardasi mental (khususnya pada Karis) memiliki kekurangan khususnya dalam
segi berbahasa. Gangguan pada bahasa ini sangat menghalangi terjalinnya
komunikasi yang baik antara mereka dan lawan bicaranya. Namun kekurangan ini
sebenarnya bukanlah hal yang sangat besar yang dapat menghalangi prestasi
mereka untuk dapat sejajar dengan anak-anak normal. Sebagai seorang linguis
sebenarnya kita dapat berkontribusi membantu mereka dengan kesulitan berbahasa
tersebut, seperti misalnya dengan memberikan terapi bahasa tertentu sehingga
mereka tidak akan merasa disisihkan dalam masyarakat.
DAFTAR ACUAN
Dharmowijono, Widjajanti dan I Nyoman
Suparwa. 2009. Psikolinguistik:
Teori
Kemampuan Berbahasa
dan Pemerolehan Bahasa Anak. Udayana University Press: Bali.
Flusberg, Helen T., Paul, Rhea., & Lord,
Catherine. (2005). Language
and
Communication
in Autism.
Leonard L (1998) Children
with specific language impairment. Philadelphia, PA: MIT Press.
Ruser,
Tila F., et al . (2006). Communicative Competence in Parents of
Children
with
Autism and Parents of Children with Specific Language Impairment.
Boston: Department of Psychiatry, Tufts-New England Medical Center.
Salmiah,
Siti. (2010). Retardasi Mental. Medan
: Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak,
Fakultas Kedokteran Gigi, USU.
Johannes
Anggara M P
Pada hari Jumat, 28
November 2014, saya bersama teman-teman saya berkunjung ke PNJ (Politeknik
Negeri Jakarta), Jakarta. Kami berkunjung untuk mengobservasi bagaimana proses
belajar mengajar yang terjadi di dalam institusi tersebut. Yang menarik dari
institusi tersebut adalah murid-muridnya. Sekilas murid-murid tersebut sama
seperti kita pada umumnya, namun sebenarnya mereka adalah murid-murid dengan
kerterbutuhan khusus.
Suasana yang saya
pribadi rasakan saat pertama datang ke tempat tersebut adalah perasaan mencekam.
Entah apa yang saya takutkan, mungkin pengalaman saya dengan orang-orang ini
masih sangat minim dan paradigma yang tercipta di otak saya tentang orang ini
masih sangat negatif. Kami datang pada pukul 09.00 pagi. Bermula dari halaman
parkir tempat itu, kami melihat salah satu murid-murid tersebut, Dia terlihat
sangat aktif, namun tanpa arah. Berkepala plontos dan kurus, ia terlihat sangat
antusias melihat kedatangan kami. Mungkin ini cara mereka menyambut kami. Tapi
yang saya rasakan pada saat itu adalah kengerian, mungkin teman-teman saya juga
merasakan hal yang sama. Kami sempat bertatap muka dan terlihat seperti
merendahkan si murid tersebut. Pada saat itu merasa sedikit terintimidasi oleh
kelakuan mereka yang unpredictable.
Pada saat kami akan memasuki
gedung yang terlihat seperti penajara tersebut, hampir semua dari kita yang ada
menghela nafas yang cukup panjang dan berat. Kami benar-benar tak memiliki
sedikit gambaran apa yang ada di dalam gedung tersebut. Dengan langkah yang
penuh keraguan, kami masuk dan menuju ruang guru yang berada di lantai satu
untuk menanyakan dimana kita dapat menemui ibu wiwin dosen kami. Merekapun
menjawab dengan ramah pertanyaan kami, seakan mereka tau mengapa kami semua
bertanya untuk mencari wajah yang familiar di mata kami sendiri. Setelah
mendapat informasi bahwa Ibu dosen kami berada lantai dasar, kamipun bergegas
menuju tempat beliau. Kami sangat lega ketika kami melihat wajah yang familiar
di tempat yang asing. Dan disanalah, kami melihat satu lorong yang penuh akan
murid-murid special.
Sesampainya di sana, Bu
Wiwin langsung memberikan tugas untuk mewancarai dan mengobservasi salah satu
murid-murid yang ada di dalam kelas tersebut. Di dalam tugas ini, saya
berpasangan dengan saudara Rifki. Lalu sesegeranya, kami masuk ke dalam salah
satu kelas dan bertemu dengan Usman, 20 tahun. Dia adalah seorang tunarunggu,
terlihat dari alat bantu yang terpasang di telinganya. Dia menjawab secara
lancar semua pertanyaan kami tanpa masalah, hanya kami sedikit kesusahan
mendengar apa yang ia bicarakan, karena suara yang dihasilkannya sangat kecil.
Yang menarik di sini adalah saudara Rifki. Ia seolah menghadapi anak kecil.
Rifki sering kali menghasilkan respon-respon yang diperuntukan untuk anak
kecil, seperti,”oh hebat ya” atau “wah keren”. Seolah narasumber kami berada
satu level di bawah kami. Namun, terlihat Usman tidak mempersoalkan tingkah
laku Rifki. Mungkin karena hampir semua respon yang ia terima pada umumnya
seperti itu juga.
Setelah kami selesai
mewawancarai Usman, kami beranjak ke lorong tersebut untuk mengamati lebih
banyak lagi tingkah laku yang ada. Di sana, kami bertemu lebih banyak lagi
murid-murid ditempat tersebut karena kami datang tepat pada saat jam
istirahat.Lalu saya berkenalan dengan Casandra, 19 tahun. Ia langsung ingin
berkenalan degan saya dengan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Yang
menarik adalah saat ia tak mau melepaskan genggaman tangannya dari tangan saya.
Saya sedikit panik. Saya mencari alasan untuk pergi ke toilet untuk melepaskan
tangannya. Pada saat diberi penjelasan oleh pengajar di sana, akhirnya saya tau
bahwa Casandra memiliki ketertarikan
terhadap saya. Hal ini juga terjadi pada teman saya yang dikejar-kejar
oleh salah satu murid yang ada di sana. Hal ini juga menunjukan bahwa perkembangan
seksualitas mereka tak terganggu.
Lalu datanglah Fauzi,
murid yang kita tunggu-tunggu, karena ia adalah seorang Autis. Tingkah lakunya
sangat menarik untuk diperhatikan. Tubuhnya besar, sering tersenyum sendiri,
dan bernyanyi sendiri. Namun yang membuat saya berkesan adalah sikap pengajar
di sana terhadap Fauzi yang sangat sabar namun tetap memberi hukuman jika Fauzi
bertingkah terlalu jauh. Hukuman ang biasanya mereka berika kepada murid-murid
Autis adalah berupa pengambilan barang atau sesuatu yang mereka senangi. Dengan
hal ini, mereka diharapkan dapat belajar tentang tingkah laku mana yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dialkukan. Sempat Fauzi membuat kami sedikit
takut, karena ia tiba-tiba berlari dan membuka sedikit bajunya. Saya pribadi
sangat kagum terhadap kesabaran yang dimiliki oleh pengajar-pengajar yang ada
di sana karena mereka harus menghadapi hal-hal yang tak dapat diprediksi
seperti itu setiap hari.
Dengan berfoto bersama
dengan murid-murid dan pengajar yang ada disana, kami mengakhiri kunjungan kami
di PNJ. Kami belajar bahwa tujuan institusi tersebut bukanlah hanya untuk
memberikan ilmu untuk murid-murid tersebut tetapi juga untuk memberikan skill
untuk mereka gunakan di dalam pergaulan mereka sehari-hari di dalam masyarakat.
Saya pribadi mendapat mendapat pelajaran tentang pentingnya kesabaran dan kasih
sayang. Saya pribadi sering mengeluh tentang nakalnya anak murid saya yang
tergolong “normal”. Setelah kunjungan ini, saya sadar bahwa apa yang saya
hadapi tiap hari bukanlah apa-apa dibanding dengan pengajar yang ada dalam
institusi tersebut. Saya juga mendapat pandangan baru tentang anak-anak
berkebutuhan khusus, bahwa mereka sangat spesial. Mereka mungkin sedikit aneh
dalam kacamata orang awam, namun pada dasarnya mereka juga dapat dan ingin
berkembang layaknya anak-anak yang lain.
Pada saat kami berjalan
menuju mobil kami, salah satu teman kami menyebut kata “Autis” sebagai bahan
candaan. Sesegeranya saya dan satu lagi teman saya menghentikan candaan
tersebut. Kami berdua telah sadar bahwa tidaklah elok dan adil bagi kita-kita
menyebutkan kata “Autis” untuk mereka yang mengalami kondisi tersebut karena
bisa jadi mereka lebih hebat daripada kita yang menyebut dirinya “normal”
Zulhendri
Laporan Kunjungan Ke Politiknik Negeri Jakarta (PNJ)
Salah satu tugas yang
diberikan dari mata kuliah linguistik edukasional adalah mengadakan kunjungan
ke Politiknik Negeri Jakarta (PNJ) untuk mengamati belajar mahasiswa dengan
kebutuhan khusus. Di sana, saya mendapati hal-hal tentang mahasiswa
berkebutuhan khusus. Pertama, mereka menyambut kami dengan baik dan antusias.
Pada saat kami sampai di lorong tempat ruang-ruang kelas mereka berada, mereka
langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kami dan langsung memperkenalkan
diri. Kedua, mereka mampu menjawab pertanyaan kami tentang dirinya, seperti
nama, alamat, jurusan, dan cara mereka berangkat atau pulang kuliah.
Ketiga, mereka dapat bersosialisasi
dengan teman-teman mereka. Pada saat kami sampai di sana, kami mendapati mereka
sedang istirahat dari perkuliahan dan duduk duduk di suatu meja dengan
berkelompoek. Terakhir, mereka memiliki keunikan masing-masing. Yang menarik
perhatian saya adalah seorang mahasiswa yang menyebut namanya dengan nama artis
mancanegara. Selain itu, ada juga yang bersikap jahil dan usil, bersikap
misterius dengan pendiamnya, dan banyak lagi keunikan dari mereka. Saya merasa
senang dengan kunjungan ini karena saya dapat mengetahui bagaimana mahasiswa
berkebutuhan khusus di kampusnya dan keunikan mereka masing-masing.
LAPORAN HASIL OBSERVASI
GANGGUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTIS
Nama :
Neneng Nurjanah
Pendahuluan
Observasi ini merupakan
pengamatan terhadap mahasiswa Program Studi Manajemen Pemasaran untuk Warga
Negara Berkebutuhan Khusus, Politeknik Negeri Jakarta. Program ini dibuka pada tahun 2013 dan diketuai Dewi Akbar SE. MM. Menurut
Abdillah, Direktur PNJ, pada tahun 2013, program ini menerima mahasiswa
berkebutuhan khusus, di antaranya 20 mahasiswa slow learner. Dia pun
menambahkan, sejak tahun 2010-2011, PNJ sudah menyelenggakan program bagi
mahasiswa berkebutuhan khusus pada program D-2. Jadi dapat dikatakan bahwa
sejak 3 tahun lalu, PNJ membuka peluang bagi mahasiswa berkebutuhan khusus
untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang tinggi.
Mahasiswa berkebutuhan khusus
yang terdaftar di program pemasaran memiliki beberapa kondisi di antaranya
autis, slow learner, disleksia, tunarungu, dan sebagainya. Namun,
observasi ini dikhususkan kepada mahasiswa dengan kondisi autis di lingkungan
PNJ tergolong banyak. Berdasarkan
wawancara dengan Nino, Dosen bahasa Indonesia. Dari satu kelas yang berjumlah
10 orang, 60% diantaraya mahasiswa autis.
Tujuan observasi ini untuk
mengetahui tingkah laku, pola komunikasi, dan metode belajar mahasiswa autis
secara umum. Untuk mengetahui prilaku mahasiswa autis, dilakukan pengamatan
prilaku ketika mereka beristirahat. Sementara itu, untuk mengetahui pola
komunikasi anak autis, dilakukan wawancara sederhana yang dilakukan di koridor
kelas. Selain itu, untuk mengetahui
metode pembelajaran bahasa, peneliti melakukan wawancara dengan dosen bahasa
Indonesia.
Pengamatan yang dilakukan
sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 3
dan 23 November 2014, dan 11 Desember 2014 pada pukul 10.00 s.d 12.00. Sementara itu, wawancara dengan dosen bahasa
Indonesia, dilakukan pada tanggal 23 November 2014 dan 11 Desember 2014 yang dilakukan di ruang
kelas dan di kantin PNJ. Beberapa subjek
yang diamati di antaranya Tanya, Arya dan Osa, mahasiswa angkatan 2013 Program
Studi Manajemen Pemasaran. Adapun dosen yang diwawancarai adalah Nino, pengajar
bahasa Indonesia yang sudah setahun mengajar di jurusan tersebut.
Pola Komunikasi
Menurut National Institute of Neurological
Disorders and Stroke (NINDS) autis atau autism spectrum disorder (ASD)
merupakan gangguan perkembangan saraf yang kompleks. Beberapa ahli menaksir
bahwa satu diantara 88 anak, mengidap autis dan laki-laki berpotensi 4 kali
lebih besar mengidap autis dibanding perempuan.
Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders) Anak-anak atau orang dewasa dengan autis
memiliki beberapa ciri khas. Salah satu
di antaranya adalah memiliki kesulitan dalam komunikasi verbal dan nonverbal.
Kesulitan komunikasi ini bisa dirinci menjadi kesulitan untuk membangun
komunikasi sosial, seperti berkumpul, berbagi informasi; kesulitan untuk
mengikuti konteks tuturan; kesulitan untuk mengikuti aturan berkomunikasi atau
bercerita; kesulitan untuk memahami tuturan yang tersirat, humor serta kalimat atau kata bermakna ganda. Ciri khas lain dari anak atau orang dewasa
dengan autis adalah sulitnya menjalin dalam membangun emosi saat melakukan
komunikasi dengan orang lain, seperti menimbulkan keharuan dalam percakapan; menjalin kontak mata; memanfaatkan gestur dan
ekspresi wajah.
Beberapa ciri tersebut muncul dalam observasi
terhadap subjek yang diobservasi. Salah satunya adalah Tanya. Mahasiswa Jurusan Pemasaran ini menurut keterangan
Ibunya mengidap autis dengan tipe ADHD (attention deficit hyperactivity
disorder). Orang dengan ADHD menurut Dr. dr. Dwidjo Saputro Sp.KJ memiliki
beberapa ciri, di antaranya sulitnya memberikan perhatian, melakukan aktivitas
berlebihan, dan berprilaku impulsif.
Ketiga hal itu ada pada Tanya.
Saat pertama kali diajak untuk
berkomunikasi, Tanya terlihat ragu, menundukan kepala sambil memegang kotak
makanan berisi buah mangga, dan tidak mau melakukan kontak mata dengan
peneliti. Dia pun menggerakan kepalanya dari atas ke bawah sambil memasukan
potongan mangga ke dalam mulutnya. Peneliti akhirnya mengajukan beberapa
pertanyaan sederhana seperti nama, aktivitas perkuliahan, dan hobi. Beberapa
pertanyaan dijawab dengan baik meskipun terdengar ragu-ragu. Setelah wawancara
berjalan sekira 4 menit, Tanya mengemasi tasnya dan langsung menemui temannya.
Hal ini menunjukan bahwa Tanya memiliki kesulitan menjalin komunikasi sosial dengan orang lain,
terutama dengan orang yang baru dikenal serta memiliki rentang waktu yang
pendek dalam berkomunikasi. Selain itu, sebagai orang dengan ADHD, Tanya
terlihat tidak bisa diam. Berdasarkan pengamatan peneliti, Tanya hanya mampu
melakukan komunikasi dalam waktu kurang dari 4 menit dan dia tergerak untuk melakukan aktivitas lainnya.
Kesulitan komunikasi yang sama
dialami oleh Arya, mahasiswa Jurusan Pemasaran angkatan 2013. Arya terlihat
spesial karena dia memiliki kemampuan yang baik dalam bernyanyi. Dia adalah
vokalis band Star, yaitu band
yang beranggotakan 4 mahasiswa autis. Arya juga seorang aktor dalam film I’m
Star. Film ini bercerita tentang pendidikan inklusi pada remaja autis di
Indonesia. Sebagai mahasiswa dengan autis, Arya memiliki kemampuan yang cukup
baik dalam berkomunikasi. Dia mampu mengawali pembicaraan dengan peneliti,
dengan beberapa kalimat yang runut, “Kali ini kita kedatangan teman-teman dari
UI. Ini dengan Mbak siapa?” kemudian dia menyapa satu per satu beberapa
peneliti yang melakukan observasi. Namun, sebagai mahasiswa dengan kondisi
autis, Arya pun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Rentang
komunikasinya pendek, dengan kata lain dia tidak betah berlama-lama untuk
berbicara kepada peneliti. Kurang lebih setelah 4 menit berbicara, Arya berlalu
sambil bergumam sendiri. Salah satu yang
cukup penting, Arya agak sulit membedakan penyebutan waktu. Menurut keterangan Nino, dosen bahasa Indonesia, Arya beberapa
kali melakukan kesalahan dalam menyebutkan kalimat sapaan. Dalam sebuah
pertemuan, Arya menyapa hadirin dengan, “Selamat pagi !” yang semestinya dia
mengatakan “Selamat siang !” karena saat itu acara dimulai pukul 2 siang.
Berdasarkan DSM-5, anak dengan
autis memiliki kesulitan untuk menceritakan sesuatu. Namun hal tersebut tidak
terjadi pada Osa, mahasiswa Program Studi Pemasaran angkatan 2013. Pada hari pertama observasi, Osa diminta
bercerita mengenai musibah pencopetan yang dialaminya di Manggarai. Dengan
runut Osa bercerita tentang kejadian itu, dimulai dengan perjalanannya menuju
Stasiun Manggarai, lalu dilanjutkan dengan kejadian penjambretan tas, dan
tindakan pengejaran serta tindakannya yang mencoba menghubungi perusahaan taksi
yang membawa tasnya pergi, hingga akhirnya dia menjeput tasnya di kantor polisi yang terletak di
dekat Stasiun Juanda. Kemampuan bercerita yang baik dan runut menjadi kemampuan
yang jarang ditemui pada anak autis. menurut keterangan Bu Nino, Osa termasuk
mahasiswa yang cerdas karena kualitas komunikasinya lebih baik dibanding
teman-temannya, dia mampu menduplikasi dokumen, seperti surat dengan baik dan
rapi dan memperhatikan dengan jeli tata letak, bentuk garis, dan ukuran huruf.
Namun, salah satu ciri khas yang memperlihatkan dia sebagai mahasiswa autis
adalah ketidakmampuannya dalam menggunakan gestur. Saat bercerita, matanya
bergerak dari atas ke bawah. Dia pun
tidak memperlihatkan rasa takut, gembira, senang, atau sedih ketika bercerita.
Berdasarkan observasi terhadap
tiga mahasiswa dengan autis, beberapa hal bisa disimpulkan.
a. Setiap
mahasiswa autis memiliki ciri khas yang menjadi kelebihan dan kekurangan,
sehingga kita tidak bisa membuat generalisasi terhadap mahasiswa dengan autis;
b. Berdasarkan
DSM-5 kita bisa melihat kekhasan orang dengan autis sehingga kita bisa
melakukan diagnosa awal terhadap mahasiswa dengan autis. Jika melihat ketiga
mahasiswa autis di atas, terdapat beberapa kesamaan, seperti sulitnya melakukan
komunikasi dengan rentang waktu yang panjang dan sulitnya memanfaatkan emosi
serta gestur.
Pengajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah mata
kuliah yang wajib dipelajari oleh mahasiswa Program Studi Pemasaran.
Berdasarkan arahan Ketua Prodi, Bu Dewi
Akbar materi yang diajarkan oleh dosen bahasa Indonesia adalah materi mengenai
tata bahasa terutama mengenai ejaan yang disempurnakan. Sebelum pengajaran
bahasa dimulai, dosen diberikan pengantar berupa aturan-aturan selama di kelas,
misalnya tidak boleh keluar kelas selama belajar. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi mahasiswa yang keluar masuk selama perkuliahan. Mulanya
mahasiswa autis tidak mampu mencerna maksud pengajar. Untuk menanggulanginya,
dosen memberikan intruksi agar mahasiswa autis mengulangi peraturan secara
lisan dan peraturan tersebut dituliskan
di papan tulis sebagai pengingat.
Salah satu kesulitan dalam
mengajarkan materi bahasa Indonesia adalah meraih perhatian mahasiswa autis.
salah satu tindakan yang dilakukan oleh Nino adalah dengan mendatangi mahasiswa
tersebut satu demi satu, menepuk tanganya pelan dan penatap matanya, sambil
bertanya, “Kamu ke sini mau apa?”
Mahasiswa itu menjawab “Belajar dengan Bu Nino” Nino pun menegaskan “
Oke, kita belajar! Kalau belajar tidak boleh keluar kelas tanpa izin ya! Coba
ulangi!” “ Kalau belajar tidak boleh keluar kelas tanpa izin” Akhirnya dosen
tersebut mendapat perhatian dari mahasiswa
dan memulai perkuliahan.
Pengajaran terhadap mahasiswa
autis mesti dilakukan berkali-kali.
Materi yang diajarkan tidak cukup sekali diberikan kepada mahasiswa dengan
autis. Dalam pengajaran di kelas, Nino dibantu oleh mahasiswa slow learner
untuk membantunya dalam mengulang materi kepada
mahasiswa autis. Dengan pengajaran yang berulang, mahasiswa autis mampu
mengingatnya dengan baik.
Ketika mahasiswa autis
kehilangan konsentrasi dan mulai tidak betah di kelas. Dosen akan menghampiri
mahasiswa tersebut, menjalin kontak mata sambil menepuk tanganya dan berkata,
“kamu di sini mau apa?” mahasiswa pun menjawab, “Belajar dengan Bu Nino.” “ Ya
sudah kita belajar lagi ya”. Setelah itu perkuliahan pun diteruskan.
Salah satu materi yang sulit
dipahami oleh mahasiswa autis adalah
tanda baca, seperti penematan titik, koma, tanda tanya dan tanda seru.
Selain itu, mereka kesulitan untuk menempat huruf kapital di awal kalimat.
Seperti yang dialami oleh Osa. Osa mengalami kesulitan untuk menempatkan huruf
kapital yang harusnya diterakan di awal kalimat, untuk nama hari, tempat,
orang, judul buku dan sebagainya. Untuk mengatasinya, dosen biasanya akan
mengulang pelajaran tersebut sampai
mahasiswa autis memahaminya.
Mahasiswa autis juga memiliki
kesulitan dalam menulis karangan dengan tema tertentu. Satu kali Nino
menugaskan mahasiswa untuk menulis kegiatannya di akhir pekan. Hasil karangan
dari mahasiswa autis memperlihatkan kesulitan mereka dalam mengarang termasuk
karangan Tanya. Dalam karangannya, Tanya hanya menuliskan kalimat berikut:
Bercerita
kegiatan ku
sehari-hari
nama ku :
Tanya
usiaku : Aku
Berulang Tahun Pada
Aku 2
bersaudara, aku memiliki.....
kegiatanku
sehari-hari.
Karangan Tanya memperlihatkan
bahwa dia tidak memahami tema yang diberikan oleh dosen dan tidak mampu menguraikan tema dalam bentuk
karangan. Beberapa karangan mahasiswa lain juga tidak memperlihatkan pemahaman
mereka mengenai menuliskan cerita berdasarkan tema tertentu.
Simpulan
Berdasarkan observasi ini dapat diambil
beberapa simpulan. Pertama bahwa kondisi
mahasiswa dengan autis berbeda-beda. Setiap mahasiswa dengan autis
memiliki kondisi yang khas, sehingga agak sulit untuk melakukan generalisasi
terhadap semua mahasiswa dengan autis di PNJ. Namun, salah satu karakteristik
yang bisa diambil dari mahasiswa dengan autis di PNJ adalah kesulitan untuk
memberikan perhatian, kesulitan berkomunikasi, rentang waktu perhatian yang
pendek, kesulitan memahami materi pelajaran bahasa dengan cepat.
Dengan observasi seperti ini
membuka berbagai kemungkinan penelitian
untuk mengetahui lebih lanjut kesulitan
berbagasa pada mahasiswa autis, misalnya leksikal akses pada mahasiswa dengan
autis, pemahaman terhadap wacana,
kemampuan bercerita, dan metode pembelajaran untuk mahasiswa dengan autis. dengan penelitian semacam ini tentu akan
membantu pihak kampus dan orang tua untuk mempelajari lebih jauh kondisi anaknya
dan memberikan solusi yang baik untuk pembelajaran selanjutnya.
Rujukan
http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/159-adhd-kenali-gejalanya-sejak-dini diakses pada
tanggal 26/12/2014.
http://www.ninds.nih.gov/disorders/autism/detail_autism.htm diakses pada
tanggal 26/12/2014.
http://www.autismspeaks.org/what-autism/diagnosis/dsm-5-diagnostic-criteria diakses pada
tanggal 26/12/2014
http://news.okezone.com/read/2013/09/26/373/872360/pnj-terima-20-mahasiswa-slow-learner
diakses pada tanggal 26/12/2014.
Novietri 1306353934
LAPORAN
OBSERVASI
“MAHASISWA AUTISME DI
POLIKTEKNIK NEGERI JAKARTA”
1. Pendahuluan
Psikolinguistik
merupakan ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memproses dan
mengkomunikasikan bahasa. Keberlangsungan dalam proses berbahasa tersebut
adalah tugasnya otak manusia. Hal yang penting dipahami adalah bagaimana otak
bekerja untuk memproses pengolahan bahasa agar berwujud satuan-satuan yang
bermakna dan bagaimana proses pengolahan satuan ujaran yang dikirim oleh
pembicara sehingga dapat dimengerti oleh pendengar.
Tuhan
sudah mengatur sedemikian hebatnya manusia dapat mempelajari bahasa. Secara
bertahap, manusia belajar memahami lalu menguasai bahasa agar dapat saling
berkomunikasi. Bahkan, manusia sudah memperoleh bahasa sejak dalam kandungan.
Kent dan Miolo mengatakan bahwa anak telah terekspos pada bahasa manusia ketika
dia masih janin melalui saluran intrauterine
(Dardjowidjojo, 2003:268). Kata-kata dari ibunya tertanam pada janin anak.
Setelah anak lahir, bahasa ibu menjadi bahasa yang pertama kali dipelajari. Hal
ini menjadikan orang tua menjadi faktor penentu awal pemerolehan bahasa seorang
anak. Selanjutnya, anak akan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Semakin
sering anak diajak berkomunikasi, semakin cepat pula perkembangan bahasanya.
Namun, jika dalam prosesnya bahasa anak tidak berkembang sesuai dengan tingkat
usiaya, anak tersebut dapat dikategorikan mengalami gangguan bahasa. Orang tua
perlu memperhatikan apakah gangguan yang dialami hanya karena faktor kurangnya
pendidikan untuk anak, kondisi fisik, mental, atau keterlambatan jaringan
otaknya. Saat ini telah banyak diketahui berbagai gangguan bahasa yang dapat
terjadi pada anak-anak, seperti tunarungu, tunawicara, disleksia, disgrafia,
afasia, autisme, down syndrome dan slow learner. Anak-anak yang mengalami
gangguan seperti ini perlu ditangani secara khusus agar dapat bersosialisasi
dan berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana cara anak-anak tersebut dapat
melakukannya? Bagaimana cara pengajar membantu mereka berkomunikasi?
Berikut
ini adalah observasi penulis pada anak-anak yang mengalami gangguan bahasa.
Observasi dilakukan di Politeknik Negeri Jakarta yang membuka kelas D3
Manajemen Pemasaran untuk anak inklusi (warga negara berkebutuhan khusus).
Penulis mengamati ada beberapa anak inklusi yang menempuh pendidikan di tempat
tersebut, di antaranya tunarungu, disleksia, autisme dan slow learner. Namun, faktor keterbatasan waktu dan tempat membuat
observasi ini hanya difokuskan pada anak penyandang autisme.
2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan
observasi ini adalah untuk mengetahui bagaimana anak-anak penyandang autisme
belajar bahasa dan mengkomunikasikan bahasa. Selain itu, observasi ini
diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai strategi yang digunakan anak
autisme dalam menyampaikan maksud atau berkomunikasi dengan orang lain. Dengan
demikian, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk orang tua,
pendidik, atau mahasiswa linguistik untuk menangani dan memahami anak-anak
penyandang autisme.
3. Lokasi dan Waktu Kunjungan
Lokasi
kunjungan observasi dilakukan di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang terdapat
di areal kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Lingkup observasi
adalah mahasiswa program D3 Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan
khusus (inklusi). Pada awalnya jadwal kunjungan yang diberikan adalah tanggal
3-14 November 2014 untuk melihat perkuliahan Bahasa Indonesia dan Bahasa
Inggris. Namun, saat penulis berkunjung tanggal 4 November 2014, terdapat
perubahan jadwal dan rencana observasi dari pihak bersangkutan karena beberapa
hal. Meskipun begitu, penulis sempat sempat mengamati dan dikenalkan kepada
beberapa mahasiswa penyandang autisme di sana. Selanjutnya, observasi dilakukan
sebulan kemudian.
Berikut
ini waktu kunjungan yang telah dilakukan:
No.
|
Waktu
|
Keterangan
|
1.
2.
3.
4.
|
4 November 2014
3 Desember 2014
12 Desember 2014
16 Desember 2014
|
Pengamatan awal, berkenalan dengan beberapa mahasiswa autisme,
mengamati situasi kondisi lingkungan.
Pengamatan lanjutan, berdiskusi dengan beberapa mahasiswa autisme dan
staf pengajar, melihat kondisi kelas dan kegiatan belajar mengajar.
Pengamatan lanjutan, berdiskusi dengan staf pengajar bahasa Indonesia.
Pengamatan akhir, melihat karangan mahasiswa autisme, melihat contoh
materi dan soal untuk mahasiswa autisme.
|
4. Autisme
Istilah
autisme sudah dikenal sejak 60 tahun lalu. Di Indonesia, gangguan ini mulai
banyak dibicarakan sekitar tahun 2008 (Indah, 2011:88). Banyaknya kasus anak
yang mengalami autisme di Indonesia menjadi perhatian para ahli dan pendidik
untuk menemukan penanganan dan penyembuhan yang tepat.
Secara
umum, penyandang autisme memiliki masalah neurologis yang memengaruhi pikiran,
persepsi, dan perhatiannya yang kemudian memengaruhi perilaku. Simtom yang ada
akan menghambat dan mengganggu signal pancaindra, sampai membatasi perkembangan
anak dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan berimajinasi. Kemampuan anak
terhadap lingkungan dan sosioempirik pun melemah atau bahkan nyaris tidak ada
sama sekali (Indah, 2011:89).
Gangguan komunikasi yang dapat
terjadi pada penyandang autisme menurut Mangunsong (2008:172) adalah anak tidak
memiliki perhatian untuk berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi untuk
tujuan sosial, sering tidak memahami ucapan yang ditujukan, sering menggunakan
kata-kata aneh atau kiasan, mengulangi pertanyaan walaupun sudah
mengetahui jawabannya atau memperpanjang pembicaraan mengenai topik yang ia
sukai tanpa peduli dengan lawan bicaranya.
Serupa dengan Mangunsong, secara
linguistik, Indah (2011:91) menjelaskan
perkembangan kemampuan anak autis sebagai berikut:
a.
Kemampuan fonologis: artikulasinya cukup jelas meskipun
sering muncul beragam kesalahan dalam penyebutan obyek. Intonasinya cenderung
datar dan salah dalam membuat penekanan ucapan.
b.
Kemampuan morfologis: sering memunculkan kesalahan, misalnya
substitusi (menyebut dengan kata lain), elipsis (menghilangkan kata tertentu),
asimilasi dengan kata lain, menambah dengan suku kata yang salah.
c.
Kemampuan sintaksis: sangat lamban karena sering muncul
kalimat peniruan atau ekolalia, yaitu mengulang-ulang kalimat yang tidak
relevan dengan konteks.
d. Kemampuan semantik: lamban, sulit
membedakan makna kalimat.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat
begitu banyaknya perbedaan antara anak autisme dan anak normal. Namun,
masing-masing penyandang autisme memiliki perbedaan kelemahan dan kelebihan
yang dimiliki. Kita tidak dapat mengatakan perilaku dan gangguan berkomunikasi
setiap penyandang autisme sama persis. Masing-masing penyandang autisme perlu
dilihat dan dipahami secara individual.
5. Kondisi Kelas
Penulis mengamati tidak banyak kelas
yang disediakan untuk mahasiswa berkebutuhan khusus. Satu kelas dapat diisi
sekitar 5-15 mahasiswa. Awalnya penulis berpikir bahwa satu kelas untuk satu
penyandang inklusi. Ternyata satu kelas dapat ditempati lebih dari itu, seperti
kelas anak autisme digabung dengan down
syndrome atau anak tunarungu digabung dengan slow learner. Padahal, mereka memiliki gangguan bahasa yang
berbeda. Untuk beberapa materi ajar mungkin mereka dapat digabung, tetapi
beberapa lainnya tidak bisa digabung. Gangguan bahasa yang berbeda memerlukan
penanganan yang berbeda pula. Ini dikhawatirkan pembelajaran menjadi tidak
maksimal.
Penulis pernah bertanya kepada beberapa
siswa tingkat XII menengah atas yang berkebutuhan khusus yaitu siswa tunarungu
mengenai keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada yang tertarik
untuk berkuliah di PNJ, ada yang tidak. Alasan ketidaktertarikan siswa tersebut
dikarenakan disamakannya anak yang mengalami beberapa gangguan bahasa dalam
satu kelas. Mungkin karena sosialisasi atau keterhambatan dalam menyerap materi
yang menjadi alasan anak tersebut.
Penulis memerhatikan hal ini disebabkan
kekurangan kelas dan staf pengajar. Selain itu, program anak berkebutuhan
khusus ini adalah jurusan yang baru beberapa tahun dibuka dan masih dalam tahap
pengembangan. Oleh karena itu, wajarlah jika dalam prosesnya pembelajaran belum
terlalu maksimal. Namun, hal tersebut patut diapresiasi mengingat tidak banyak
perguruan tinggi yang berani membuka program pendidikan ini.
Berdasarkan perbincangan dengan staf
pengajar di sana, kondisi kelas seperti ini memerlukan strategi penanganan yang
tepat. Jika dalam satu kelas terdapat beberapa jenis penyandang gangguan
bahasa, maka pengajar mencari strategi dengan memanfaatkan masing-masing
mahasiswa untuk saling membantu. Sebagai contoh, kelas tersebut terdapat
mahasiswa autisme dan slow learner.
Mahasiswa autisme memiliki gangguan berkomunikasi, bersosialisasi, hiperaktif.
Mahasiswa slow learner memiliki
keterlambatan memahami pelajaran dan kelemahan intelektual. Pengajar membaginya
menjadi dua kelompok. Kelompok autisme perlu diajarkan berulang-ulang mengenai
materi. Mereka sulit memahami, tetapi jika sudah paham, mereka akan mudah
mengingatnya. Beberapa penyandang autisme memiliki daya ingat yang tinggi.
Kelompok slow learner memiliki daya
berpikir yang lambat dan mudah lupa. Oleh karena itu, setelah diberikan materi
ke semua mahasiwa, pengajar meminta kelompok slow learner untuk mengajarkan teman-teman kelompok autisme secara
berulang-ulang. Masing-masing kelompok berusaha untuk mengingat dan memahami
materi secara berulang-ulang sehingga mereka mendapat manfaatnya.
Kondisi kelas penyandang autisme berbeda
dengan anak normal. Anak normal dapat diarahkan untuk memahami aturan. Anak
autisme sangat berbeda. Berdasarkan pengamatan penulis kepada mahasiswa autisme
di PNJ, ada saja satu atau dua mahasiswa yang keluar kelas, berjalan-jalan,
atau mengganggu teman lainnya. Seperti diketahui, penyandang autisme sulit
memfokuskan kepada pelajaran. Mangunsong (2008:176) menjelaskan bahwa anak autisme sulit
mengontrol diri dan sulit memusatkan perhatian sehingga terus-menerus
terdistraksi. Oleh karena itu, pengajar harus selalu mengingatkan dan
membimbing perilaku mereka. Bahkan, salah satu pengajar
di PNJ mengungkapkan bahwa dia harus mengingatkan para mahasiswanya secara
berulang-ulang dengan menulis di papan tulis kalimat bahwa mereka tidak boleh
ke luar kelas tanpa izin. Mahasiswa diminta untuk membacanya secara berulang
agar ingat.
6. Penggunaan Bahasa
Penulis
mengamati komunikasi beberapa mahasiswa autisme. Ketika pertemuan pertama
berada di sana, penulis didampingi oleh salah satu pengajar. Beberapa mahasiswa
autisme dipanggil lalu dikenalkan kepada penulis. Tidak disangka, hampir setiap
mahasiswa yang dikenalkan tampak antusias untuk bertemu, berkenalan, dan
berbincang-bincang. Ada mahasiswa yang setelah berkenalan langsung pergi dengan
menatap heran. Namun, ada yang senang berbicara. Beberapa di antaranya
menjelaskan pengalaman unik yang pernah terjadi. Penulis mengamati tidak banyak
yang melakukan ekolalia. Mereka lancar bercerita, bahkan ada yang berbicara
dengan bahasa yang formal dan koheren. Hanya pada kunjungan ketiga, penulis
bertemu dengan satu mahasiswa yang berulang kali melewati penulis dan bertanya
nama penulis. Penulis berusaha sabar dan tersenyum menjawabnya.
Berdasarkan
informasi, mahasiswa yang diterima di kampus ini adalah salah satunya melalui
tes stimulus gambar. Calon mahasiswa diminta untuk melihat satu gambar,
kemudian ia menceritakan isi gambar tersebut. Jika ia mampu menceritakan isi
gambar, berarti dia mampu berkomunikasi. Terlepas apakah isi komunikasinya
koheren atau tidak. Jadi, tidak heran jika mahasiswa yang penulis amati justru
banyak yang lancar berkomunikasi.
Salah
satu mahasiswa yang menarik diamati penulis pada kunjugan pertama adalah dia
dapat bercerita dengan lancar, formal, dan mampu mengingat semua kejadian
dengan sangat detail. Dia menceritakan bahwa ketika itu dia mengalami
penjambretan tas yang dia bawa. Penjambret tersebut lari membawa tasnya dengan
menaiki taksi. Hal yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah mengingat jenis dan
nomor taksi, mencari tahu nomor perusahaan taksi tersebut, lalu melaporkan
penjambretan yang ia alami. Hasilnya, dia mendapatkan kembali tas yang
dijambret tadi. Hal ini menggambarkan kemampuan penyandang autisme dalam
kemampuan daya ingat dan tindakan yang terstruktur dibandingan dengan anak
normal.
Dalam
hal menulis, pengajar berusaha mengingatkan mereka untuk menulis dengan huruf
besar dan rapi. Pengajar menegur mahasiswa yang menulis dengan huruf-huruf
kecil. Menurut grafologi, ilmu membaca rahasia sifat seseorang dari tulisan
tangan, tulisan yang berukuran kecil menunjukkan sifat pendiam, sering
menyendiri, tetapi punya otak yang cemerlang dan pikirannya selalu ilmiah (www.mediametafisika.com).
Penyandang autisme cenderung sulit berinteraksi dengan sekitarnya. Mereka perlu
dibimbing untuk mau bergaul, tidak pemalu dan tidak menyendiri. Oleh karena
itu, pengajar menyarankan agar mahasiswa autisme menulis dengan tulisan huruf
berukuran besar.
Materi
bahasa Indonesia yang diberikan kepada mahasiswa autisme adalah tata bahasa
Indonesia yang sederhana, seperti imbuhan, ejaan, penulisan huruf kapital, penulisan
preposisi di dan tanda baca. Selain
itu, terdapat materi membaca paragraf, memahami isi paragraf, menulis kalimat,
pengalaman, kegiatan sehari-hari, dan menulis surat.
Penulis
berhasil mendapatkan beberapa tulisan tangan yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa
autisme. Jika melihat hasil tulisan mereka, tidak semua dapat menulis dengan
baik. Umumnya tulisan yang dihasilkan seperti tulisan kanak-kanak yang baru
belajar menulis. Ada tulisan yang tidak mudah dibaca. Saat itu mahasiswa
diminta untuk menuliskan pengalamannya. Dari beberapa tulisan, ada tiga tulisan
mahasiswa yang penulis amati yaitu hasil karangan Heryandi Haikal, Alvino, dan
Muhamad Padi.
Pada
tulisan Heryandi Haikal, judul yang dibuatnya adalah Jalan-Jalan di Bekasi. Haikal menceritakan lokasi perjalanan yang
ia tempuh dan orang-orang yang menyertainya. Bentuk tulisan terlalu rapat,
tetapi masih mudah dibaca. Dia memahami penggunaan tanda baca dan simbol
“&” sebagai penggati kata “dan”. Hal yang menarik dari isi tulisan karangan
Haikal adalah dia menyebutkan detail jenis mobil yang dinaikinya. Berikut
contoh kalimatnya:
Haikal &
keluarganya, pergi dari Bogor ke Bekasi, naik mobil Toyota Kijang Innova, type
6, berwarna hitam, no.poli F 1359DT, plat mobil dari Bogor, membawa tas ransel,
Haikal perjalanan menuju jalan tol Jagorawi, Pasar Rebo, & Bekasi Barat,
menuju Talento Center & Komple Perumahan Bukit Unggul.
Kalimat
tersebut cukup panjang, tetapi Haikal menulisnya menjadi satu kalimat.
Penggunaan huruf kapital tampak pada menuliskan nama kota. Dia banyak
menggunakan tanda koma. Pengungkapan antarklausa kurang berhubungan. Haikal
terfokus pada menceritakan jenis mobil dan lokasi perjalanan yang ia tempuh.
Pada satu kalimat selanjutnya, Haikal menyebutkan nama-nama orang yang
menyertai perjalanannya di Bekasi dan kembali menuliskan tipe mobil yang dia
naiki.
Pada tulisan Alvino, tidak terdapat
judul. Dia menuliskan pengalaman tahun baru ke Malaysia bersama seseorang yang
disebutnya Kak Asti. Pada tulisan ini tampak Alvino mampu menggunakan pronomina
saya, tetapi tidak menggunakan
pronomina kami. Ketika referensi yang
ditujukanya adalah saya dan Kak Asti,
kalimat selanjutnya sebaiknya dapat diganti dengan penggunaan pronomina kami. Alvino hanya menuliskan kembali
dengan frasa saya dan kak Asti.
Berikut contoh kalimatnya:
Tahun baru itu
saya pergi ke Malaysia bersama Kak Asti. Di sini, saya dan Kak Asti membeli
tiket pesawat dan naik pesawat Malaysia Airlines itu terbang dalam beberapa
jam. Setelah saya dan Kak Asti mendarat di Malaysia, rencanaku pergi ke manara
Petronas sama Kak Asti untuk menginap selama 2 malam.
Alvino
dapat menggunakan tanda baca titik sebagai akhir kalimat. Selain itu, dia juga
mampu menggunakan huruf kapital pada nama tempat dan nama orang. Namun, dia
kurang mampu menggunakan pronomina kami dan
tidak konsisten pada penggunaan pronomina saya dan aku dalam satu kalimat.
Kesulitan membedakan penggunaan pronomina ini sesuai dengan Tager-Flusberg (2005:345) yang
menyatakan bahwa anak autisme sulit membedakan dan cenderung mengabaikan
pronomina.
Pada
tulisan Muhamad Padi, penulis mengalami kesulitan membacanya. Hasil karangannya
tampak seperti anak-anak yang baru belajar menulis. Tidak ada penggunaan tanda
baca. Kalimat disusun bukan berbentuk paragraf, tetapi berbentuk larik seperti
puisi. Isi karangan yang ditulisnya mengenai jalan-jalan ke puncak. Dia menulis
kata mama dan papa dengan menambah huruf h menjadi
mamah dan papah. Penulis melampirkan contoh-contohnya pada lampiran di akhir
tulisan observasi ini.
Persamaan
ketiga tulisan mahasiswa autisme tersebut adalah mereka kurang mampu bercerita
dengan kalimat yang lengkap dan tidak koheren. Penulis tidak melihat adanya
poin penting yang ingin disampaikan berdasarkan karangannya. Walaupun isinya
masih cukup sesuai dengan judul karangan yang diberikan, isinya tidak
menunjukkan informasi yang berarti mengenai pengalamannya. Hal ini menunjukkan
mereka kurang memahami menulis sebuah cerita pengalaman. Ini berbeda ketika
penulis mengamati satu mahasiswa autisme lain yang dapat berbicara dan
bercerita dengan lancar. Hal ini membuktikan pula bahwa masing-masing
penyandang autisme memiliki kesulitan atau kekurangan yang berbeda-beda dalam
berbahasa.
Pada
ujian akhir pelajaran bahasa Indonesia, guru memberikan empat tipe soal dengan
memberikan kemudahan mahasiswa. Tipe pertama berupa penggunaan huruf kapital.
Pengajar memberikan contoh tulisan huruf dari a-z huruf kecil dan huruf besar.
Menurut pengajar, masih banyak mahasiswa yang belum mampu membedakan dan
menuliskannya. Selain contoh tulisan huruf, pengajar memberikan informasi
berupa penggunaan huruf kapital beserta contoh kalimatnya. Kemudian baru
pengajar memberikan 5 soal kalimat yang harus mahasiswa tuliskan kembali dengan
menggunakan huruf kaliptal yang benar. Hal ini berguna bagi mahasiswa autisme
yang tidak mengingat penggunaan huruf kapital.
Soal
tipe kedua adalah pengembangan pengetahuan/kata. Soal berupa pertanyaan dengan
jawaban pilihan ganda. Ada 5 pertanyaan yaitu memberikan saran, pendapat,
tanggapan, ekspresi percakapan, dan imbuhan ber-.
Soal tipe ketiga adalah 5 soal pengalaman sehari-hari dengan jawaban pilihan
ganda. Materi pertanyaan berupa sinonim, antonim, dialog, kalimat, dan huruf
kapital. Soal tipe keempat adalah penulisan kata depan di. Sebelumnya pengajar memberikan penjelasan mengenai maksud dan
contoh penulisan di tersebut barulah
kemudian pengajar memberikan 5 soal latihan dengan menuliskan B (Benar) dan S
(Salah) pada contoh kalimat yang diberikan. Semua soal ini pengajar berikan
dalam satu waktu pertemuan sekitar 1,5 jam. Menurut pengajar, walaupun soal
sudah diberikan kemudahan, mahasiswa autisme tetap sulit menjawabnya dengan
benar.
7. Kesimpulan dan Saran
Kunjungan
observasi mahasiswa autisme yang singkat di Politeknik Negeri Jakarta ini dapat
memberikan gambaran kepada penulis mengenai penyandang autisme. Penulis
mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dan cara berkomunikasi yang baik dengan
penyandang autisme. Penulis menyimpulkan bahwa masing-masing autisme memiliki
karakteristik yang berbeda. Kita tidak dapat begitu saja menganggap perilaku
bahasa penyandang autisme yang satu sama dengan penyandang autisme lainnya.
Namun, dapat dipastikan bahwa mereka memiliki perbedaan kelemahan dan kelebihan
berbahasa dibandingkan dengan anak normal umumnya.
Penulis
menyadari bahwa hasil observasi ini hanya sebagian kecil contoh penyandang
autisme sehingga tulisan ini masih banyak kekurangan. Saran yang dapat penulis
berikan pada observasi selanjutnya adalah penulis lain dapat mengontrol
kriteria latar belakang penyandang autisme yang akan diobservasi. Selain itu,
disarankan juga untuk melakukan kunjungan lebih banyak dan mengamati berbagai
materi pelajaran.
Daftar Acuan
Dardjowidjojo, Soenjono. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Indah, Rohmai Nur. (2011). Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar. Malang: UIN-Maliki Press.
Mangunsong, Frieda. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3 UI.
Media Metafisika. 24 November 2013. “Grafologi: Membaca
Rahasia Sifat Seseorang dari Tulisan Tangan” dalam www.mediametafisika.com.
Tager-Flusberg, Helen, Rhea Paul, dan Catherine Lord. 2005.
“Language and Communication in Autism” dalam Handbook of Autism, hlm. 335- 364.
Lampiran
Roswita Sianipar (0606053)
Laporan
Hasil Kunjungan Ke Program Mahasiswa Berkebutuhan Khusus di PNJ
Tepat
pada Jumat, jam 7 pagi, kami Mahasiswa Pasca Sarjana Linguistik mengunjungi
kampus DIII manajemen pemasaran PNJ untuk mahasiswa berkebutuhan khusus.
Setibanya di sana, kami disapa langsung dan diajak berkenalan oleh beberapa
mahasiswa berkebutuhan khusus. Sekilas secara fisik mereka tampak seperti mahasiswa
biasa lainnya, saya tidak menduga mereka mahasiswa berkebutuhan khusus. Akan
tetapi setelah ngobrol dan saling berkenalan, terlihat perbedaan dari bahasa
yang mereka gunakan. Mahasiswa berkebutuhan khusus ini ada berbagai tipe. Ada
yang autis, soto syndrom, keterbelakangan mental, slow learner, disleksia, dan
lain-lain. Sebagai orang awam, sulit bagi saya membedakan mereka pada
perkenalan pertama.
Saya
sempat masuk ke dalam ruangan kelas untuk menyaksikan langsung cara belajar
mereka. Kebetulan mereka sedang belajar mata kuliah menghitung keuntungan dan
pendapatan. Dari pegamatan saya, yang saya lihat adalah mereka sedang belajar
penghitungan penjumlahan dan pengurangan menurun seperti yang biasa dilakukan
di sekolah dasar normal. Ketika saya masuk dan duduk di bangku paling belakang, saya melihat seorang anak sedang
berusaha keras menyelesaikan sebuah soal penjumlahan di depan papan tulis, ada
anak yang ngobrol sendiri, ada yang tampak serius belajar, ada yang main HP,
ada yang asik keluar masuk ruangan dan tidak bisa tenang atau diam. Sedangkan
sang guru asik bertelepon. Sebenarnya, suasana di kelas tidak tampak terlalu
berbeda dengan kelas di sekolah normal baik dari segi susunan bangku dan desain
kelas, hanya saja anak-anaknya tampak lebih ribut. Ketika bel hampir berbunyi
dan anak yang mengerjakan soal di depan papan tulis belum selesai mengerjakan
soalnya, tiba-tiba sebagian besar murid maju ke depan dan mencoba membantu
temannya. Lalu mereka tiba-tiba datang ke saya dan meminta berkenalan. Dari sini
saya menyimpulkan bahwa mereka memiliki kepekaan sosial yang tinggi di antara
mereka dan berani utuk berintaksi dengan orang baru secara sopan.
Saya
juga sempat meminta beberapa anak untuk menuliskan identitas mereka. Di sini
saya agak terkejut karena, walaupun mereka sudah D3, sebagian besar dari mereka
kesulitan menulis. Bahkan hanya untuk menuliskan nama saja mereka membutuhkan
waktu yang cukup lama. Akan tetapi tulisan mereka sangat rapi. Hal ini menjadi
pertanyan bagi saya, mengapa mereka jauh lebih sulit untuk menulis daripada
berbicara? Apakah kesulitan ini berlaku secara umum pada anak autis lainnya?
Mungkin untuk menjawabnya dibutuhkan penelitan lebih lanjut.
Johanes
Anggara M.P.
“Mengidentifikasi
dan Menghadapi Slow Learner”
Sebagai seorang
pengajar, saya telah melihat berbagai macam karakter murid-murid. Saya pribadi
menggolongkannya pada dua kelompok dasar, kelompok yang pintar dan kelompok
yang bodoh. Namun, setelah mengikuti kelas Bu Wiwin, saya sadar mungkin sebagian
dari murid-murid yang saya anggap bodoh, bukanlah salah mereka. Seringkali saya
melihat murid-murid yang saya anggap bodoh ini terlihat tekun dan memperhatikan
semua pelajaran yang saya berikan. Ini menandakan bahwa, mungkin, mereka
termasuk murid keterbutuhan khusus, dalam hal ini slow learner.
Saya tertarik untuk
membahas slow learner setelah saya berkunjung ke PNJ. Di sana, saya bertemu
dengan Casandra, seorang slow learner. Saya tertarik untuk mencari tau
penyebabnya dan bagaimana menghadapi mereka di dalam kelas. Oleh karena itu,
sesuai arahan Ibu Wiwin saya mencari 5 artikel tentang slow learner dan
merangkumnya dalam tugas UAS ini.
Pembahasan
Seorang slow learner
dapat digambarkan sebagai seorang murid yang memiliki kemampuan untuk
mempelajari keterampilan akademis, tetapi pada tingkat dan kedalaman bawah
rata-rata bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Dalam rangka untuk
memahami konsep-konsep baru, seorang slow learner membutuhkan lebih banyak
waktu, sejumlah pengulangan, kesabaran dan sering lebih banyak sumber daya dari
guru untuk menjadi sukses. Pada anak-anak dengan kondisi ini, kemampuan
penalaran biasanya tertunda, yang membuat konsep-konsep baru yang sulit untuk
dipelajari dan dipahami oleh mereka.
Hal ini penting untuk
dipahami bahwa peserta didik yang lambat tidak perlu pendidikan khusus karena
tidak ada bukti bahwa mereka memiliki masalah medis. Mereka hanya tidak
melakukannya dengan baik di sekolah atau proyek tertentu.
Kebanyakan slow learner
mengalami kesulitan dalam mempertahankan interaksi sosial dan keterampilan
sosial karena tingkat IQ yang lebih rendah. IQ yang rendah juga menjadi salah
satu alasan bagi slow learner biasanya tidak memahami aturan keterlibatan
sosial. Ketidakdewasaan ini belum tentu karena kemampuan mental yang lebih
rendah, tetapi juga kurangnya pengalaman, kesehatan yang buruk atau kebiasaan
berbicara yang rendah sehingga menghambat pertumbuhannya. Anak-anak ini senang
berbicara dengan orang lain, tetapi tidak mampu menjadi yang pertama untuk
memulai percakapan, karena mereka pemalu, sebagian besar karena kepercayaan
diri yang rendah. Mereka kadang-kadang memunculkan sifat dewasanya dalam
hubungan interpersonal. Mereka juga mungkin sulit untuk menemukan dan
mempertahankan persahabatan dan sering kali tidak memahami keterampilan
sederhana seperti bergiliran saat melakukan tugas.
Seorang "slow
learner" bukan merupakan kategori orang yang sakit. Seorang pelajar yang
lambat secara tradisional diidentifikasikan sebagai orang dengan IQ yang berada
di bawah rata-rata, tetapi tidak serendah dua standar deviasi di bawah
rata-rata. Jika penilaian kognitif (tes IQ) memiliki mean (rata-rata) dari 100,
maka sebagian besar siswa akan berada dalam satu standar deviasi dari 100. Itu
berarti bahwa sebagian besar siswa memiliki IQ 85 sampai 115. Mereka yang jatuh
dua standar deviasi di bawah mean sering diidentifikasi sebagai Intellectual
Disability (Keterbelakangan Mental) (IQ di bawah 70). Seorang SL tidak memenuhi
kriteria untuk Intellectual Disability. Namun, ia belajar lebih lambat dari
rata-rata siswa dan akan membutuhkan bantuan tambahan untuk berhasil.
Perbedaan antara slow
learner dengan seorang pelajar yang tidak mau belajar adalah motivasinya.
Seorang slow learner pada awalnya ingin belajar, namun memiliki masalah dengan
proses tersebut. Slow learner biasanya tidak termotivasi dan juga dapat menjadi
agresif secara pasif. Hali ini menciptakan lebih banyak masalah bagi guru dan
orang tua. Peserta didik seperti ini jarang memiliki ketidakmampuan belajar.
Masalah utama untuk
kebanyakan peserta didik yang lambat mengalami kesulitan merencanakan tujuan
jangka panjang dan menyelesaikan tugas dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini
terjadi karena anak akan terganggu dengan mudah dan tidak memiliki strategi
internal untuk menyelesaikan tugas. Karena ini mereka kadang-kadang bekerja
sangat lambat dan mengalami kesulitan mengambil beberapa instruksi. Kemampuan
penalaran biasanya tertunda, yang membuat konsep-konsep baru sulit untuk
memahami dan mereka memerlukan banyak dukungan.
Untuk mengidentifikasi
masalah ini sedini mungkin adalah satu langkah yang besar untuk menghadapi
masalah ini. Menciptakan kesadaran di antara para guru serta orang tua terhadap
masalah ini adalah langkah besar dalam menangani masalah ini. Orang tua dan guru
harus mendidik dirinya sendiri bagaimana mereka menghadapi anak-anak slow
learner. Berikut adalah beberapa tips yang bisa digunakan untuk menghadapi
masalah ini.
Tips untuk orang tua:
·
Orangtua anak harus
membuat jadwal kegiatan sehari-hari anak dan kapan mereka harus melakukannya.
·
Mereka harus membantu
anak SL (Slow Learner) untuk menyelesaikan tugas yang dijadwalkan. Hal ini akan
membantu anak merasa diberdayakan.
·
Orang tua harus
mengidentifikasi minat dan aktivitas yang dia suka dan mendorong mereka untuk
mengambil bagian di dalamnya, baik di sekolah maupun di rumah.
Tips untuk guru:
·
Guru harus mendorong
anak untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang mereka sukai di sekolah, dan
menghargai mereka ketika hal itu dilakukan dengan baik.
·
Jangan menegur atau
merendahkan mereka ketika mereka tidak mampu menyelesaikan tugas, terutama di
depan seluruh kelas. Menjelaskan daerah kesalahan mereka di pengasingan adalah
cara terbaik untuk menjaga harga diri mereka.
·
Sangat penting bahwa
guru memahami bahwa mendorong anak SL adalah sangat penting. Seorang SL akan
selalu merasa tertekan karena mereka tidak akan mampu melakukan seperti yang
dilakukan rekan-rekan mereka, tetapi berfokus pada hal-hal yang mereka lakukan
baik adalah kunci untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka.
·
Mempertahankan
komunikasi terbuka dengan anak SL sangat penting untuk menciptakan hubungan
dengannya sehingga dia juga terbuka untuk menerima bantuan dari guru, orang tua
dan terapis.
·
Terakhir, mendorong
anak-anak lain untuk menangani anak dengan beberapa empati. Hal ini sangat
penting, karena sangat sedikit anak-anak akan bersedia untuk bermain atau
berinteraksi dengan lambat belajar, karena mereka mungkin tidak memiliki
kesabaran untuk menjelaskan aturan dan membantu mereka.
Akhirnya, adalah penting
bahwa kedua orang tua dan guru tidak melabel anak sebagai pembelajar yang
bodoh. Memperlakukan mereka tidak berbeda dari anak-anak lain, supaya hal ini
memungkinkan mereka untuk berkembang dan berkompetensi. Sebagai seorang
pengajar yang baru seperti saya, sangatlah penting untuk memahami
kesulitan-kesulitan yang sebenarnya dialami oleh muri-murid. Kuncinya adalah
tahu cara mengidentifikasi masalah tersebut dan tahu bagaimana menghadapinya.
Artikel
Daftar Acuan
Michael, F.A. (2000). A Study Guide DSM
IV. Washington DC : American Psychiatry
Shaw, S.R. (2010). Rescuing students
from the slow learner trap. Principal Leadership. Februari. 2010
Pynchon, Thomas. (2012). Slow Learner.
The Penguin Press. New York
Esa
Yolanda Putri
LAPORAN OBSERVASI KE POLITEKNIK NEGERI
JAKARTA (PNJ)
Kala
Anak Autis Memilih Kampus
Depok,
12 Desember 2014 – Dalam rangka mengetahui lebih jauh dan konkrit tentang language disorder khususnya autisme,
kami mahasiswa S2 Pengajaran Bahasa Universitas Indonesia mengunjungi kampus Politeknik
Negeri Jakarta (PNJ) untuk melakukan observasi.
Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) merupakan lembaga pendidikan formal
pertama dan satu-satunya yang diberi mandat oleh Dirjen Dikti untuk
menyelenggarakan Program Studi DIII Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara
Berkebutuhan Khusus (WNBK). Manajemen Pemasaran WNBK PNJ adalah pendidikan vocational yang akan melatih, mendidik
dan membekali mahasiswa untuk menguasai bidang yang sesuai kemampuan dan minat
masing-masing. Program studi ini akan melaksanakan individual educational program berdasarkan adapting thematic integrated curriculum.
Mahasiswa
boleh memilih empat konsentrasi utama, antara lain desain grafis, art and craft, seni, atau aplikasi
komputer. Kegiatan perkuliahan mereka ditempuh minimal selama 8 semester yang
terdiri atas kuliah praktek dan teori. Di jurusan Manajemen Pemasaran ini
terdapat tiga golongan kelas, yaitu mahasiswa penderita tuna rungu, slow learner, dan Autism Spectrum Disorder (ASD). Mahasiswa tuna rungu memiliki
kesulitan berkomunikasi, tetapi kemampuan kognitifnya sama dengan orang normal.
Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat atau membaca gerakan bibir.
Mahasiswa slow leaner tidak mengalami
masalah komunikasi, akan tetapi memiliki kemampuan kognitif yang kurang. Mereka
cenderung membeo dan tidak dapat mengembangkan materi kuliah seperti mahasiswa
tuna rungu. Mahasiswa ASD yang memiliki kemampuan sosial rendah sehingga banyak
menemukan masalah dalam proses belajar. Mahasiswa terkadang tantrum, menghilang
saat kuliah berlangsung, asik sendiri, atau mengganggu temannya.
Saya
masuk ke dalam kelas mahasiswa slow
learner disaat mereka telah selesai mata kuliah kuliner yang diajar oleh
Bapak Trio. Mereka membuat sari buah belimbing dan jambu karena dua buah
tersebut adalah ikon kota Depok. Mereka bahu membahu mengemasnya dengan menarik
agar laris dijual. Selain memproduksi, mereka pun harus bisa memasarkan produk
tersebut karena itu adalah ilmu untuk mereka nantinya masuk ke dalam dunia
kerja yang sesungguhnya. Saya pun juga berkenalan dengan salah satu mahasiswa
ASD disana, namanya Erhandi Deynez Safa. Dia masuk ke jurusan aplikasi komputer
yang menurutnya jurusan itu susah-susah gampang. Secara fisik memang dia sama
seperti orang normal lainnya, tapi terlihat berbeda ketika dia berbicara tidak
memandang saya dan tangannya pun tidak bisa diam. Diakhir kunjungan, saya
diberi oleh-oleh sari buah belimbing buatan mereka. Rasanya manis dan segar,
cukup komersil untuk dijual.
Saya
banyak mendapat ilmu dari kunjungan ini, antara lain program studi ini sangat
berguna untuk WNBK karena mereka dioptimalkan agar siap memasuki dunia kerja
dan mandiri serta mengetahui jenis pekerjaan apa yang cocok bagi mereka. mereka
mempunyai kemampuan dan bisa berkarya dengan baik bila diberikan kesempatan,
ditangani dengan tepat, dan dihargai secara positif oleh masyarakat umum.
Selain itu, hal ini pasti sangat menyejukkan hati orang tua mahasiswa tersebut
karena anak mereka diberikan wadah untuk menimba ilmu yang nantinya kelak akan
berguna untuk masa depannya. Dosen pun tidak kalah berperan penting, berkat
didikan yang ulet, sabar, dan optimal, mahasiswa ini dapat berkembang menjadi
jauh lebih baik. Saya pun belajar bersyukur melihat kondisi mereka, saya yang
normal harusnya bisa lebih giat dari mereka yang berkebutuhan khusus dan
mungkin suatu saat nanti saya ingin menyumbangkan ilmu saya kepada mahasiswa
berkebutuhan khusus ini. Karena ilmu akan bermanfaat dan berkah jika kita dapat
membaginya kepada orang lain, siapa pun itu.
Dokumentasi: