Parenting
Media Kawasan Juli 2013
Jangan Keburu Gusar Bila Si Kecil Bicara Kasar
Salah satu fase dalam tumbuh-kembang anak adalah
ketika si kecil mulai belajar bicara. Namun, bagaimana jika dari mulut mungilnya
terlontar kata-kata kasar? Alih-alih marah, baca dulu artikel berikut.
*
Pada jam istirahat di suatu sekolah dasar, seorang
guru menonton sekelompok siswa bermain
bola di lapangan. Namun, alangkah terkejutnya sang guru ketika mendengar
anak-anak tersebut kemudian saling menyerukan kata-kata kasar tanpa sungkan. Dengan
enteng, mereka meneriakkan kata-kata yang diambil dari koleksi kebun binatang maupun
makian yang tidak pantas keluar dari mulut mereka.
Tentu saja, tidak
ada orangtua atau guru yang ingin anak mereka berkata-kata kasar. Semua orangtua
ingin anak mereka berbicara dengan baik dan sopan. Namun, ada kalanya orangtua
“kecolongan” dan mendengar buah hati mereka melontarkan kata-kata yang tidak
sopan. Kondisi ini mungkin terjadi karena berbagai faktor, mulai dari pengaruh
lingkungan dan pergaulan, sampai contoh yang didapat anak dari orang dewasa di
sekitar mereka.
“Ketika
kemampuan bicara anak mulai lancar, anak mulai mencontoh lingkungannya. Ketika
itulah, kecenderungan bicara kasar mulai terjadi,” ujar Katarina Ira Puspita, M.Psi., psikolog dari Kassandra Associates, kepada Media
Kawasan.
*
Menurut Katarina, ada berbagai alasan seorang
anak bicara kasar. Pertama, anak sebenarnya hanya menirukan apa yang ia dengar
dari orangtua, teman, atau tayangan di televisi. Bisa jadi, ia mengucapkan
kata-kata kasar itu tanpa memahami artinya.
Hal ini
ditegaskan pula oleh Harwintha Yuhria
Anjarningsih, Ph.D., staf pengajar Departemen
Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. “Pada usia
1,5 tahun, anak masih berada pada fase imitasi atau mencoba-coba, karena alat
ucapnya juga baru berkembang. Jadi, kalau anak usia sekian berbicara kasar,
belum tentu mereka paham maknanya,” jelas Harwintha kepada Media Kawasan.
Kalau sudah
begini, reaksi terbaik yang bisa diberikan orangtua adalah bersikap tenang dan
jangan berlebihan. “Tanyakan baik-baik maksud kata-kata kasar yang diucapkan
anak Anda. Kalau anak ternyata tidak paham arti kata kasar yang diucapkan, beri
tahu arti yang sebenarnya dan jelaskan mengapa kata tersebut tidak boleh digunakan.
Jelaskan bahwa itu tidak sopan. Misalnya, jelaskan bahwa anjing itu hewan, masa
orang dibilang hewan, itu kan tidak baik,” saran Katarina.
Bila ditelisik
dari kacamata psikologi linguistik, ada dua variable
yang memengaruhi penyimpanan dan pengambilan kata-kata, yaitu frekuensi dan
age of acquisition. Jadi, kata-kata
yang kita dapat saat masih kecil lalu sering dipakai akan cenderung lebih
‘menempel.’ Frekuensi juga menentukan, yakni bagaimana kata-kata yang lebih
sering diucapkan akan lebih sering teringat.
“Karena itu, kalau
kata-kata kasar tidak diulang-ulang, maka frekuensinya akan menjadi semakin
rendah. Ditambah lagi dengan membangun kosakata yang baik, pasti kebiasaan anak
berbicara kasar akan berkurang,” tegas Harwintha.
*
Tidak ada orangtua yang secara sengaja
mengajarkan berbicara kasar pada anaknya. Tapi jangan lupa, kendati di rumah
tidak diajarkan, anak sudah mulai berinteraksi dengan dunia luar. Ketika anak
mulai berinteraksi dengan orang lain dan bersosialisasi dengan teman-teman,
biasanya pada usia empat tahun ke atas, ia akan mulai terpengaruh.
Menurut Harwintha,
normal saja kalau anak terpapar bahasa dari lingkungan. Problemnya adalah kalau
isi bahasa tersebut kurang pantas dan tidak sopan. “Karena itu, kita harus kembali
ke lingkungan, ya orangtua, ya pengasuh, dan orang dewasa lain yang benar-benar
berinteraksi dengan anak. Sedapat mungkin, minimalisir paparan kosakata yang
tidak baik, termasuk dari pergaulan anak dan juga dari televisi,” katanya.
Dalam hal ini, peran
orangtua sangatlah penting, karena ada penelitian yang menyebutkan seberapa
banyak orangtua bicara pada anak akan memengaruhi besarnya kosakata anak pada
usia SD.
“Dalam kondisi
ideal, 10-20 persen dari besarnya kosakata seorang anak merupakan andil
orangtua. Ini memang tidak terlalu besar, tapi kita bisa menganalisis dari sisi
yang berbeda, bahwa ketika ada faktor dari luar, orangtua tidak harus kecil
hati, karena mereka masih bisa melakukan sesuatu. Toh, orangtualah yang
sebenarnya berinteraksi lebih intensif dengan anak saat anak berada di rumah,” papar
Harwintha.
*
Selain hanya menirukan apa yang pernah didengar tanpa
memahami artinya, alasan lain seorang anak berbicara kasar adalah untuk mencari
perhatian. “Ini pun jangan dimarahi, sebab anak malah akan semakin mengulangi
perbuatannya,” ujar Katarina. “Reaksi emosional orangtua akan membuat anak
merasa tidak nyaman dan sedih.”
“Yang pasti, orangtua harus mencari tahu apa
motivasi anak mengucapkan kata-kata kasar. Apakah karena ia tidak paham
artinya, atau sedang cari perhatian?” ungkap Katarina. Selain mengingatkan
anak, orangtua juga harus memberikan contoh yang baik, karena bagaimanapun
seorang anak akan belajar dari orangtuanya.
Poin penting
yang harus digarisbawahi, menurut Harwintha, adalah bahwa anak-anak, baik yang
berkembang normal ataupun tidak, memiilki potensi mendapatkan bahasa, dan apa
yang mereka dapatkan tergantung dari apa yang ada di lingkungan.
“Kita harus berhati-hati,
karena bisa jadi anak hanya mengolah input
yang dia dapat dari lingkungan. Sebagai orangtua, kita harus bisa mengatur dan
mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dengan anak, bagaimana agar dari
segi bahasa bisa menjaga sopan santun. Sekali lagi, seorang anak sangat punya
potensi belajar dari lingkungan,” Harwintha mengingatkan.
*
“Saran saya, ketika sudah kadung anak Anda yang masih
kecil berbicara kasar, para orangtua jangan lagi mengucapkan kata-kata tersebut
di rumah, tapi timpali dengan kata-kata yang baik, sehingga presentase paparan
yang tidak baik menjadi lebih kecil,” pesan Harwintha.
Sementara itu,
untuk anak usia 3-4 tahun yang secara kognitif dan psikologis sudah lebih maju,
sudah bisa diberikan penjelasan. Bagaimana dengan anak yang lebih besar? Orangtua
perlu tahu bahwa bahasa digunakan untuk mengindentifikasi seseorang dengan
lingkungan sebagai bagian dari kelompok tertentu. Dalam hal ini, orangtua harus
bisa mengatur dan memonitor bagaimana anaknya bergaul, karena kalau anak sudah
mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok, akan lebih sulit
menanganinya.
“Yang paling
penting di sini adalah konsistensi orangtua. Secara psikologis, orangtua harus
menjadi panutan dengan bicara yang baik. Metode juga berpengaruh. Orangtua
harus tahu bagaimana cara terbaik berkomunikasi dengan anaknya,” tandas Harwintha.