Laporan Kunjungan
Yayasan Wahana Inklusif Indonesia
“Setiap Anak Istimewa
dengan Segala Kelebihan dan Kekurangannya”
oleh Dita Sabariah, NPM
1406516195
Pada tanggal 26 Mei 2015, saya
bersama mahasiswa linguistic FIB UI peminatan Bahasa dan Budaya, kelas
Psikolinguistik, juga bersama Ibu Harwintha Y. Anjarningsih S. Hum., M. Sc
berkunjung ke Yayasan Wahana Inklusif Indonesia. Yayasan ini merupakan tempat
bimbingan belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Terdapat anak
berkebutuhan khusus yang bermacam-macam, misalnya anak ADHD, disleksia,
tunagrahita, dan lain-lain. Yayasan ini berlokasi di daerah Beji, Depok, dengan
alamat Jalan Jawa No. 159 RT. 04/07, Depok Utara. Setibanya di yayasan ini,
kami disambut oleh tiga orang pengajar, salah satunya adalah Bapak Kosim, yang
merupakan General Affair and
Administration Coordinator.
Pada kunjungan kali ini, kami
dijelaskan oleh Bapak Kosim beserta dua orang guru lainnya mengenai Yayasan
Wahana Inklusif, bagaimana proses belajar, kerjasama di sekolah-sekolah,
anak-anak yang belajar di yayasan tersebut, dan banyak hal lain yang kami
perbincangkan. Pada hari itu, saya juga berkesempatan mengobservasi langsung
seorang anak berkebutuhan khusus bernama Ryan. Ryan merupakan anak tunagrahita
yang sudah berada pada tingkat sekolah SMP, namun memiliki kemampuan setara
dengan kelas 3 SD. Ketika saya mengobservasi langsung, Ryan sedang belajar
mengisi soal-soal LKS PKN dan sedang didampingi oleh salah satu ibu guru.
Beberapa kali saya berinteraksi
dengannya, Ryan memperlihatkan bahwa ia adalah anak yang sopan, tekun, dan agak
pendiam. Ketika ditanya nama dan kegiatannya, ia menjawab dengan baik. Ibu guru
pendampingnya mengatakan bahwa ia hanya memiliki kekurangan di bidang akademis
saja yang cenderung lambat. Namun, tidak pada kegiatan berkomunikasi.
Melihat semangat Ryan, salah satu
anak berkebutuhan khusus di yayasan ini membuat saya belajar bahwa semangat
belajar tidak dibatasi pada bagaimanapun keadaan kita. Dari kunjungan tersebut
saya juga belajar bahwa semangat belajar dan semangat untuk menggapai cita-cita
dan kesuksesan tidak terbatas pada kemampuan setiap orang. Jika anak yang
berkebutuhan khusus saja memiliki semangat yang sangat tinggi, apalagi anak
normal. Setiap anak, baik anak normal atau anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang istimewa dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Yoga
Mestika Putra
1406591390
Laporan Kunjungan ke Yayasan Wahana
Inklusif Indonesia, Selasa 26 Mei 2015 pukul 11.00-13.00
Wahana Inklusif Indonesia (WII)
adalah sebuah lembaga Bimbingan Belajar yang menangani anak-anak berkebutuhan
khusus. Bimbingan Belajar Wahana Inklusif Indonesia berada di bawah naungan
Yayasan Wahana Inklusif Indonesia (YWII). Yayasan ini didirikan pada 19
September 2013 oleh Bapak Tolhas, seorang penggiat yang sangat peduli akan
pendidikan terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Terbentuknya YWII berawal
dari ditetapkannya kota Depok sebagai kota layak anak dan kota Inklusif, namun
pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan yang
semestinya dan masih banyak diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan
khusus. Berdasarkan hasil temuan di lapangan tersebut, Bapak Tolhas dan
rekan-rekannya membentuk lembaga konsultasi pendidikan yang membantu anak-anak
terutama yang berkebutuhan khusus supaya memperolah hak yang sama dalam
pendidikan. Seiring dengan tingginya tingkat kebutuhan akan sebuah bimbingan
belajar bagi anak berkebutuhan khusus maka WII kemudian ditetapkan sebagai
sebuah Bimbingan Belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Lembaga bimbingan Wahana Inklusif
Indonesia yang beralamat di Jalan Jawa nomor 159 RT 0004/RW 007, Beji, Depok
ini sekarang dikelola oleh ibu Fina. Lembaga Bimbingan Belajar ini melayani
proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti kesulitan
belajar (Disleksia, Disgarphia, Discalculia), Autisme, Tunagrahita, Hambatan
Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (AD/HD), Lambat Belajar, dan gangguan
mental lainnya. WII sekarang memiliki sekitar tiga puluh anak berkebutuhan
khusus dengan tiga pengajar aktif. Metode yang diterapkan dalam mengajar adalah
metode PPI (Program Pembelajaran Individual) yang memfokuskan pembelajaran
setiap individu. Dengan metode ini diharapkan perkembangan siswa dapat lebih
terarah karena setiap siswa benar-benar diperhatikan satu per satu. Jadwal
belajar di WII berlangsung dari hari Senin sampai hari Sabtu dengan durasi per
sesinya Sembilan puluh menit. Kehadiran lembaga WII dirasakan sangat bermanfaat
bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
Wahana Inklusif Indonesia memiliki
visi mewujudkan masyarakat inklusif yang di dalamnya tercapai penghargaan
martabat terhadap penyandang disabilitas; pemenuhan dan perlindungan hak-hak
serta partisipasi penuh mereka dalam kegiatan masyarakat. Visi tersebut
kemudian diwujudkan dalam beberapa program diantaranya menyediakan layanan
konseling professional bagi siapa saja yang membutuhkannya, mengadakan
pendidikan dan pelatihan ke sekolah-sekolah guna memenuhi hak-hak anak
berkebutuhan khusus di bidang pendidikan, mengadakan monitoring dan evaluasi
internal maupun eksternal untuk mendapatkan gambaran tentang keterlaksanaan,
pencapaian, hambatan, serta peluang dalam menjalankan sebuah program, dan
melaksanakan kampanye pendidikan inklusif melalui penyuluhan kepada masyarakat,
diskusi melalui radio dan televisi dan menggunakan media sosial lainnya supaya
para penyandang disabilitas dapat diterima dan berpartisipasi dalam masyarakat.
Dengan demikian, Wahana Inklusif Indonesia turut membantu pemerintah dalam
mewujudkan kota Inklusif.
LAPORAN KUNJUNGAN KE
WAHANA INKLUSIF INDONESIA
SUPRAYOGI/1406591384/S2
Linguistik Universitas Indonesia
A.
Wawancara
dengan Pengelola
Diskusi
dengan pengelola Wahana Inklusif Indonesia diarahkan pada pengenalan lembaga
dan pengalaman tentang penanganan anak berkebutuhan khusus. Lembaga ini
bertempat di Depok, didirikan pada tahun 2013 oleg Bapak Tolhas Damanik, M. Ed.
Atas dasar cita-cita untuk mewujudkan masyarakat inklusif yang menghargai,
melindungi, dan melibatkan anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan masyarakat.
Lembaga ini membuka bimbingan belajar secara privat untuk siswa berkebutuhan
khusus, seperti low vision, autis,
ADHD, down syndrome, slow learners, dan sebagainya.
Lembaga
ini melakukan layanan konseling dan pelatihan serta melakukan pendampingan ke
sekolah-sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan khusus, menjalin komunikasi
dan berbagi pengalaman dengan guru tentang teknik belajar. Lembaga ini sering
ditunjuk sebagai tim pembuat soal ujian nasional untuk anak berkebutuhan
khusus. Soal dibuat dengan jumlah butir soal yang lebih sedikit dan dengan
indicator pencapaian belajar yang tidak setinggi soal untuk anak-anak normal. Dalam
proses advokasi, lembaga ini menghadapi tantangan memperjuangkan hak-hak mereka
di sekolah formal seperti terbenturnya kebijakan sekolah dengan hak-hak anak,
terbatasnya fasilitas, kurangnya pengetahuan guru, sikap mental masyarakat
dengan “apapun bisa selesai dengan uang”, dan stigma masyarakat tentang anak
berkebutuhan khusus.
B.
Observasi
Kelas
Saya
berkesempatan untuk melihat proses belajar dua orang siswa dengan ADHD dan
dengan kesulitan belajar. Saya melihat bagaimana anak dengan ADHD sangat aktif
bergerak dan berbicara banyak pada hal yang disukainya. Saat belajar, ia
cenderung cepat teralihkan dengan sesuatu yang baru karena ia memiliki attention span yang lebih singkat dari
anak normal. Maka dari itu, proses belajarnya lebih lama karena harus ada jeda
istirahat agar konsentrasinya kembali lagi. Proses belajar dilakukan dengan
bermain puzzle untuk membangun
konsentrasi dan materi pengetahuan disisipkan saat mengobrol dengan anak,
sehingga anak belajar secara implisit. Saya belajar bahwa guru secara intensif
membangun komunikasi dengan merespon tuturan dan menanyakan hal-hal yang
diketahui anak. Teknik ini digunakan untuk membangun ketrampilan komunikasi
anak, karena anak dengan ADHD memiliki keterbatasan secara pragmatic atau
sosial bahasa. Siswa yang kedua adalah siswa yang memiliki kesulitan belajar.
Siswa ini telah duduk di bangku SMP, namun secara psikologis ia masih berada di
kelas rendah Sekolah Dasar. Menghadapi siswa seperti ini, guru memberikan
penjelasan dengan pelan, apalagi mengingat saat itu adalah materi Pendidikan
Kewarganegaraan tentang saling menghargai yang merupakan pembahasan yang tidak
konkret. Saat itu, siswa tampak belum mengerti apa itu konsep saling
menghargai. Guru mencoba mengajak siswa untuk mencari contoh nyata sikap ini
dalam kehidupan sehari-hari.
LAPORAN VISITASI
Tempat :
Wahana Inklusi, Beji, Depok, Jawa Barat
Mata kuliah :
Psikolinguistik
Dosen :
Harwintha Yuhria Anjarningsih, S.Hum, M.Sc., Ph.D.
Mahasiswa :
Reno Risanti Amalia
NPM :
1406591352
Berkaitan dengan tugas mata kuliah Psikolinguistik
untuk mengobservasi anak-anak berkebutuhan khusus dan permasalahan bahasa yang
dialami, pada pagi hari Selasa, 26 Mei 2015 sekitar pukul 10.00 hingga 12.30,
kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu tempat yang member
pengajaran pada anak-anak tersebut, Wahana Inklusi.
Hal yang saya dapat dari kunjungan
tersebut adalah bahwa Wahana Inklusi yang didirikan oleh Bapak Tolhas pada 19
September 2013 adalah wujud dari kepedulian beliau sebagai salah satu
penyandang disabilitas terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di Kota Depok.
Menurut penjabaran dari beberapa stafnya, yaitu Bapak Kosim dan Ibu Rosa, Kota
Depok yang mengusung jargon peduli anak, ternyata mengabaikan pendidikan
anak-anak jalanan. Anak-anak ini terabaikan dan banyak dari mereka yang
memerlukan penanganan khusus, sehingga didirikanlah institusi ini untuk menjadi
tempat pengajaran bagi mereka.
Namun ternyata, anak berkebutuhan
khusus tidak hanya berasal dari kalangan anak jalanan. Cukup banyak orang tua
yang mengalami kesulitan atau ketidaksepahaman dengan sekolah mengenai tumbuh
kembang anaknya. Anak-anak mereka dikategorikan secara langsung sebagai anak
dengan pelabelan tertentu seperti autisme dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, Wahana Inklusi
kembali berperan bukan hanya untuk menangani anak-anak jalanan, tetapi juga
menerima pengajaran dan pendampingan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah,
dan juga memberikan saran dan masukan bagi guru dan kepala sekolah untuk
penanganan anak-anak tersebut. Agar anak-anak berkebutuhan khusus ini dapat
bersekolah di sekolah umum yang terjangkau, baik pembiayaan maupun jaraknya,
maka pihak sekolah diharapkan dapat bekerja sama dengan instansi terkait
seperti POKJA Inklusi Kota Depok dan juga Wahana Inklusi untuk dapat memberikan
pengajaran ataupun evaluasi belajar yang sesuai dengan kemampuan sang anak,
alih-alih menyetarakan dengan kelompok umurnya.
Anak-anak berkebutuhan khusus
bukanlah anak-anak terbelakang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan.
Seperti pada kasus Said (7 tahun, 1 SD) yang memiliki gangguan konsentrasi,
suka berinteraksi, sedikit hiperaktif dan mudah letih. Said sangat mudah
berinteraksi dan penuh ekspresi saat berkomunikasi dengan orang lain.
Imajinasinya pun jenaka dan memiliki referensi yang di luar ekspektasi. Pada
masanya, dengan pendampingan dan pengarahan, Said mungkin bisa menjadi
seseorang yang mampu berkreasi dengan imajinasinya, misalkan sebagai penulis
naskah cerita fiksi sains.
Yang menjadi perhatian saya adalah,
mengapa diharuskan untuk memaksa anak-anak berkebutuhan khusus untuk berada di
dalam satu kelas dengan anak-anak normal? Apakah tidak akan menimbulkan
“pelecehan kecerdasan” yang malah akan menjatuhkan rasa percaya diri dan
mengekang kemampuan sesungguhnya dari anak-anak tersebut? Saya rasa sudah
menjadi tugas kita untuk berperan serta dan mendorong pemerintah untuk lebih
memanusiakan anak-anak ini, dan memberikan pendampingan untuk memunculkan
potensi mereka.
Enggar
Mulyajati
1406516213
Mata
Kuliah Psikolinguistik
Program
Magister Ilmu Linguistik
Laporan Kunjungan
Yayasan Wahana Inklusif Indonesia
Yayasan Wahana Inklusif Indonesia
(YWII) didirikan pada tanggal 19 September 2013. Berdirinya yayasan ini dilatarbelakangi
oleh slogan “Depok merupakan kota layak anak” yang ironisnya justru masih
didapati masih banyak anak-anak yang mengamen di jalanan. Melihat keadaan
tersebut beberapa pemerhati di bidang pengembangan penyandang disabilitas dan
pendidikan inklusif membangun yayasan ini dengan tujuan menjadi wahana untuk
belajar.
Yayasan ini menyediakan
layanan-layanan yang meliputi program konseling, asesmen dan evaluasi anak
berkebutuhan khusus, dan program pendidikan individual (PPI). Dalam PPI ini
anak berkebutuhan khusus diberikan nilai sesuai dengan kemampuannya sehingga
tidak terlalu tertinggal dengan anak normal namun target belajarnya diturunkan
karena disesuaikan dengan anak tersebut. Selain itu yayasan ini melakukan
program kunjungan ke sekolah untuk memberikan konsultasi dengan guru yang
mengalami hambatan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus dan membantu
memberikan solusi. Kunjungan ini juga melakukan beberapa program seperti
mengidentifikasi nilai anak yang lebih rendah dibanding yang lain dan membantu
guru membuat butir-butir soal khusus tanpa menghilangkan peran guru. Setiap
hari sabtu yayasan ini menyediakan konsultasi bagi orang tua yang ingin
mengetahui perkembangan anaknya maupun orang tua yang mencari solusi atas
masalah yang dihadapi anaknya.
Anak-anak berkebutuhan khusus yang
belajar di yayasan ini memiliki kelainan yang beragam, seperti ADHD (Attention Deficit Hypercativity Disorder),
low vision, psikomotorik, tuna
grahita, tuna netra, terlambat berbicara, kesulitan membaca, dan autis.
Anak-anak belajar dengan target tertentu namun mereka belajar dalam suasana
yang menyenangkan seperti bermain puzzle
atau menggambar. Usia anak yang belajar di yayasan ini bervariasi dan usia
tertua murid pada saat itu adalah delapan belas tahun.
Guru-guru di yayasan ini secara
terbuka berbagi tips mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini
dikarenakan tiap anak memiliki karakter yang berbeda dan sistem belajar mereka
tidak dapat disamakan dengan anak normal lainnya. Mereka menekankan bahwa
setiap kegiatan belajar harus variatif dan soal diberikan sedikit demi sedikit
sehingga anak tidak cepat bosan. Selain itu dalam proses belajar diberi jeda
berupa kegiatan lain dan anak harus dapat menceritakan kegiatan yang mereka
lakukan. Hal ini dilakukan untuk menekankan komunikasi dua arah antara guru dan
murid.
Laporan
Kunjungan Yayasan Wahana Inklusif Indonesia, 26 Mei 2015
Fina
Andriani, 1406516232, Pascasarjana Linguistik, FIB Universitas Indonesia
Yayasan Wahana Inklusif didirikan
pada tanggal 19 September 2013. Di usia yang relatif masih muda, yayasan tersebut
konsisten untuk membantu anak-anak “berkebutuhan khusus” yang pada umumnya
mengalami kesulitan belajar di sekolah formal. Sekolah-sekolah di Indonesia,
termasuk di Depok pada khususnya tempat Yayasan ini berada, belum banyak yang
memberi perhatian pada anak yang memiliki kesulitan belajar karena latar
belakang tertentu. Padahal jumlah anak-anak tersebut cukup banyak. Faktor yang
melatarbelakangi kesulitan belajar mereka cukup beragam, di antaranya ADHD, low
vision, tuna grahita, disleksia, autis ringan, dan sebagainya. Anak-anak
tersebut kesulitan mendapat tempat untuk belajar dengan baik sesuai kemampuan mereka.
Oleh sebab itu, yayasan tersebut berusaha membantu kesulitan mereka. Metode
pengajaran yang ditawarkan yayasan tersebut mirip dengan metode bimbingan
belajar personal. Sering kali anak dibimbing secara personal supaya
perkembangannya lebih mudah dilihat. Selain itu, tidak hanya dalam kesulitan
belajar, yayasan tersebut juga membantu anak supaya dapat melakukan tugas
sehari-hari seperti membuat teh, mencuci gelas, dan meletakkan kembali gelas
yang sudah dipakai ke tempatnya. Untuk anak yang berkembang secara “normal”,
hal tersebut mungkin mudah untuk dilakukan, namun tidak untuk anak berkebutuhan
khusus. Dengan demikian, yayasan tersebut berharap anak dapat terbantu dalam
tidak hanya dalam pembelajaran formal, melainkan juga dalam kegiatan
sehari-hari.
Salah satu hal menarik dari yayasan
tersebut adalah tersedianya para pengajar dari berbagai latar belakang bidang
ilmu, salah satunya yaitu latar belakang PLB (Pendidikan Luar Biasa). Oleh
sebab itu, mereka cukup paham bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus,
termasuk bagaimana membuat anak tertarik untuk mempelajari hal tertentu. Namun
demikian, masih agak disayangkan bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam
pengajaran belum terlalu terencana. Oleh sebab itu, Yayasan Wahana Inklusif
sangat membuka pandangan bagi orang-orang yang memiliki latar belakang
linguistik atau latar belakang pendidikan, bahwa sebenarnya perlu dibuat bahan
ajar yang sesuai dengan kemampuan mereka, namun dengan tetap memasukkan konten
ilmu pengetahuan sebagaimana yang ditawarkan oleh sekolah formal. Mereka
sebenarnya tetap dapat belajar dengan baik apabila mendapat arahan yang tepat.
Permasalahan anak tersebut bukan milik anak dan orangtua saja, tetapi
seharusnya menjadi milik semua pihak, baik para ahli bahasa, pendidikan, maupun
pemerintah. Oleh sebab itu, perlu kerjasama yang baik dari berbagai pihak dalam
menganalisis kesulitan mereka guna melahirkan bahan dan metode ajar yang
benar-benar tepat untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.