Senin, 11 Juli 2016

Rintisan Buku Pelatihan Membaca Berbasis Penelitian Psikolinguistik: Mahir Membaca 1

Harwintha Y. Anjarningsih sudah menjadi dosen di program studi Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia sejak lulus program sarjana pada tahun 2003. Memfokuskan diri pada studi psiko- dan neurolinguistik, dia sangat tertarik pada isu-isu pemrosesan bahasa dan masalah bahasa baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya pada bidang afasiologi di Rijksuniversiteit Groningen, Belanda, Harwintha kembali ke Indonesia dan menekuni riset dan publikasi di bidang gangguan bahasa. Ketertarikan kepada pendidikan berkebutuhan khusus sudah dimilikinya sejak menyelesaikan disertasi mengenai tes skrining untuk disleksia perkembangan pada tahun 2006. Buku tulisannya adalah Jangan Kucilkan Aku karena Aku tidak Bisa Membaca: Pentingnya Identifikasi Dini Disleksia untuk Masa Depan Anak (2011) dan Otak dan Kemampuan Berbahasa (2011). Harwintha dapat dikontak di alamat email wintha_salyo@yahoo.com dan nomor telpon seluler 0812 860 60 584. Kumpulan tulisannya bisa diakses di harwintha.blogspot.com.


 Petunjuk penggunaan


Materi latihan membaca di dalam buku ini disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian oleh Grup Psikolinguistik, Laboratorium Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia yang dikembangkan oleh penulis dan para mahasiswanya. Sebagian besar kata-kata di dalam Mahir Membaca 1 adalah kata dengan dua suku kata yang merupakan kata-kata yang sangat sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari. Urutan materi latihan membaca diatur berdasarkan bangun suku kata yang lebih mudah untuk dikuasai oleh para pembaca pemula: kata sederhana (mis. bola), kata dengan diftong (mis. pulau), kata dengan digraf (mis. jagung), dan kata dengan gugus konsonan (mis. planet). Disarankan untuk membaca materi latihan secara berurutan (sederhana-diftong-digraf-gugus konsonan) dan pindah setelah tercapai akurasi minimal sebesar 75%. Jika orang tua atau guru ingin memberikan kata-kata lainnya, disarankan untuk memilih kata-kata dengan dua atau tiga suku kata dan bangun suku kata yang sesuai dengan materi yang sedang dibaca. Dengan kata lain, jika anak sedang berlatih dengan kata sederhana, jangan terlalu banyak melatihkan diftong atau digraf dulu. Kuatkanlah pemahaman anak atas kata-kata dengan susunan Konsonan-Vokal-Konsonan-Vokal terlebih dulu.

Penguasaan dengan akurasi minimal 90% atas materi membaca di Mahir Membaca 1 dan kata-kata dengan bangun suku kata sejenis lazimnya tercapai di akhir kelas 2 atau pertengahan kelas 3 Sekolah Dasar. Jika di akhir kelas 3 anak masih mengalami kesulitan yang besar, orang tua atau guru dapat mengecek lebih lanjut apakah ada kesulitan belajar, atau gangguan belajar dengan menghubungi ahli bahasa anak, ahli gangguan bahasa, psikolog anak, atau dokter spesialis anak. Dengan demikian, anak dapat diberi perhatian khusus yang sesuai dengan gaya belajarnya dengan tujuan untuk menguasai kemahiran membaca yang sangat penting untuk keberhasilan pendidikannya.

Kami ucapkan selamat berlatih.

                                                                                               Depok, 11 Juli 2016,


                                                                                       Harwintha Y. Anjarningsih, PhD



                                          






Kamis, 17 Maret 2016

Makalah Harwintha untuk KOLITA 14, 2016

http://adl.aptik.or.id/default.aspx?tabID=61&id=168146&src=a


Characterising the Reading Development of Indonesian Children

Harwintha Y. Anjarningsih
Linguistics Department, Faculty of Humanities, Universitas Indonesia
wintha_salyo@yahoo.com

To characterise the reading development of Indonesian children, a tool is currently developed. The tool builds on two important findings from previous literature: that the depth of a language’s orthography influences reading development (e.g., Seymore, Aro, & Erskine, 2003); and that reading development proceeds in phases (e.g., Ehri, 2005). In languages with deep orthography such as English, reading is made challenging by irregular words, such as ‘pint,’ which cannot be decoded successfully just by relying on phonological strategy. It does not work when children try to assemble the words based on the Grapheme-Phoneme Conversion that can be found in regular words, such as ‘mint.’ Furthermore,  in English, each grapheme or series of graphemes can be read differently in different words. For example, the graphemes <c> and <h> can be read as /ʃ/ in the word ‘moustache,’ /t ʃ/ in the word ‘chair,’ and /k/ in the word ‘choir.’ The work of Seymour, Aro, & Erskine (2003) shows that children reading English are not reading fluently about 50% of familiar words by the end of the first school year.  On the other hand, in languages with transparent orthographies, such as Italian, children have become accurate and fluent in reading simple, familiar words by the end of the first school year. In terms of orthography, Indonesian is transparent, much like Italian. It is interesting to ask how children’s reading proceeds in such a transparent orthography which has not been extensively investigated. In this research project, a tool that makes use of several variables of the written Indonesian words is developed and tested to uncover its suitability and reliability for nationwide application. One hundred disyllabic, frequent words (10,000 most frequent words based on the IndonesianWac corpus) are read by the participants and divided into four groups: (1) simple words; (2) words with diphthongs ; (3) words with digraphs; and (4) words with consonant clusters. Two groups of normally developing children have been tested: 16 pre-school children (mean age=5 years; 7 months); 17 grade 1 children (mean age=7 years). Answers are recorded digitally and written on answer sheets. Overall, by keeping number of syllables constant, it is possible to assess how syllable structure(s) affects the children’s reading development and how chronological age affects reading development.  Our preliminary findings are: (1) at the pre-school stage, (a) all four groups of words are difficult, (b) reading mistakes predominantly show visual errors which still show 50% of the graphemes in the target words, and (c) digraphs and consonant clusters presented the most difficult challege as evidenced by the percentages of mistakes made; (2) at the grade one level, (a) simple words and words with diphthongs are less difficult to read, (b) mistakes are also predominantly visual , although to a much smaller extent than that of the pre-schoolers, and (c) digraphs and consonant clusters still present the most difficult challenge at this level.


Reading Acquisition                               Reading Development                             Reading Disabilities                                Dyslexia

Minggu, 22 November 2015

Rintisan Pemetaan Milestones Performa Membaca pada anak-anak Indonesia (Seminar Volunteer Educators Network, 21 Nov 2015)

Disleksia perkembangan (developmental dyslexia) adalah sebuah kondisi kesulitan belajar yang termanifestasi secara perilaku dengan kesulitan untuk belajar membaca dan untuk menjadi pembaca yang mahir. Menurut teori fonologis (phonological theory of dyslexia), disleksia terjadi oleh karena adanya gangguan (impairment) di representasi kognitif dari bunyi-bunyi bahasa di benak seseorang (Stanovich, 1988 dan Snowling, 2000 dalam White, Milne, Hansen, Swettenham, Frith, dan Ramus, 2006). Kondisi seperti ini akan mengganggu kemahiran dalam memetakan grafem (huruf) dan bunyi-bunyi bahasa. Sebagai contoh, ketika kita membaca kata SAMA, kita harus memetakan bahwa grafem sederhana S mewakili bunyi fonem /s/, grafem sederhana A mewakili bunyi fonem /a/, dan grafem sederhana M mewakili bunyi fonem /m/. Pemetaan ini akan menjadi lebih kompleks untuk digraf (NG, NY, KH, SY) dan diftong (AI, AU, OI) karena dua grafem atau dua huruf dipetakan kepada satu bunyi. 

Identifikasi disleksia perkembangan di Indonesia masih sangat menantang dikarenakan oleh paling tidak dua hal. Pertama, ketiadaan tes-tes membaca yang ternorma dan terstandarisasi untuk dapat menilai performa membaca anak-anak. Idealnya, diagnosis disleksia ditegakkan setelah ada bukti yang valid bahwa performa membaca seorang anak ada di 1 Deviasi Standar di bawah rata-rata nilai akurasi membaca di dalam nilai performa yang sudah dinormakan (Sprenger-Charolles, Colé, Lacert, Serniclaes, 2000) sehingga dapat ditunjukkan bahwa dia memiliki performa yang jauh berada di bawah performa yang lazim menurut IQ, pengalaman sekolah, dan usia kronologis. Dengan adanya tes-tes ini, performa membaca anak akan dapat dilihat secara jelas pada berbagai jenis kata yang diatur berdasarkan bunyi-bunyi bahasa yang menyusunnya, bangun suku kata, jumlah suku kata, dan lain sebagainya. Hal kedua yang membuat identifikasi disleksia perkembangan masih sangat menantang di Indonesia adalah ketiadaan pemetaan performa membaca (reading milestones atau reading development) anak-anak Indonesia, dengan memperhitungkan usia kronologis, jenis-jenis dan kompleksitas kata, dan variabel-variabel lain seperti bahasa ibu, kondisi diglosia bahasa Indonesia (Bahasa Indonesia dianggap lebih tinggi prestisenya dibanding dengan bahasa daerah) dan status sosio-ekonomi. Dengan ketiadaan ini, sering kali kita tidak bisa menjawab pertanyaan “Apakah lazim anak saya atau murid saya pada usia sekian atau kelas sekian masih kesulitan membaca?” Tidak mudah dijawab karena kita belum tahu bagaimana proses belajar membaca yang lazim. Sebagai sebuah rintisan, makalah ini akan memaparkan temuan-temuan awal dari penelitian antar-universitas mengenai pemetaan performa membaca pada anak-anak Indonesia, baik yang berkembang dengan lazim atau yang sudah mengalami kesulitan membaca di sekolah. Data berasal dari penelitian-penelitian yang dilakukan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya.

Di mana:
S = Deviasi Standard
Σ = jumlah dari
X = nilai individual
M = nilai rata-rata dan n = jumlah sampel (jumlah nilai)
Rumus penghitungan Deviasi Standar (dikutip dari Anjarningsih, 2011, hlm. 11)


Pada sebuah penelitian yang sedang berjalan, Windiani Putri, Anjarningsih, dan Suhardijanto melihat performa membaca oleh anak-anak usia prasekolah (rata-rata 5 tahun 8 bulan) di sebuah lembaga kursus membaca di pinggiran Jakarta. Ada dua kelompok, yaitu kelompok A yang memulai kursus di tahun 2014 (durasi rata-rata 1 tahun 3 bulan, rentang 10 bulan-22 bulan), dan kelompok B yang memulai kursus di tahun 2015 (durasi kursus rata-rata 4 bulan, rentang 1 bulan-9 bulan). Kedua kelompok diminta membaca 100 kata-kata dwisilabik (mengandung dua suku kata) yang dimanipulasi bangun suku katanya. Pada jenis pertama, 25 kata-kata dwisilabik yang dibaca mempunyai bangun suku kata yang sederhana.

Pada kelompok A (durasi kursus rata-rata 1 tahun 3 bulan), ketika membaca jenis kata sederhana kesalahan-kesalahan yang ditemukan adalah kesalahan pengubahan, penghilangan, penambahan, visual, dan substitusi. Total ada 66 kesalahan dari 400 kata hasil bacaan (16,5 %).

A.    Pengubahan
bagi à /ba.yi/ /ba.di/
bila à /ba.la/ /bi.ba/
cara à /ca.la/ /ca.ri/
dari à /da.li/ /ba.ri/
data à /ba.ya/

B.     Penghilangan
guru à /ru/

C.    Penambahan
maka à /ma.kan/
kota à /ko.tak/
tahu à /ta.hun/
muda à /mu.dah/
bila à /bi.lam/

D.    Visual
bagi à /ba.ca/
hari à /ha.ya/

E.     Substitusi
juga à /do.a/


Pada kelompok B (durasi kursus rata-rata 4 bulan), jenis-jenis kesalahan baca yang dilakukan adalah kesalahan pengubahan, penghilangan, pembalikan, visual, dan substitusi. Ada 117 kesalahan dari 400 kata hasil bacaan (29,25 %).

A.    Pengubahan
demi /de.mi/
cara /ba.ra/
dari /ba.ri/,
data /ba.ta/
guru /bu.ru/
               
B.     Penghilangan
pula à /pu.a/
muda à /u.da/
bagi à /ba/
juga à /ju/
guru à /ru/
kota à /tak/

C.    Pembalikan

nama à /ma.na/

D.    Visual

bagi à /bi.ji/
demi à /be.mi/
demi à /da.ma/
kota à /ka.o/


E.     Substitusi
demi à /ba.li/ /de.na/ /ma.da/
dulu à /la.ut/
juga à /bi.ba/
juta à /ja.wu/
nama à /men.da/ /nu.pah/
tahu à /ka.wu/

Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa akurasi pemetaan antara fonem (bunyi) dan grafem (huruf) meningkat seiring dengan bertambahnya durasi belajar. Namun demikian, setelah satu tahun pun, akurasi dalam membaca kata-kata dwisilabik dengan bangun kata sederhana belum sempurna. Kemudian, perlu diingat juga bahwa para peserta dalam penelitian ini berusia kronologis di bawah 7 tahun yang merupakan usia minimal masuk sekolah di sekolah dasar negeri.

Anjarningsih (2006) meneliti performa membaca anak-anak di awal kelas 3 SD (usia rata-rata 8 tahun 3 bulan). Ada beberapa hal yang menarik di performa kelompok yang mendapatkan nilai akurasi membaca paling rendah (78,2 % berusia 8 tahun 11 bulan dan 74,56 % berusia 8 tahun 1 bulan). Di bawah ini adalah beberapa contoh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh kelompok ini:

A.    Regularisasi
kunyah à /ku.yah/
syura à /sa.yur/
syak à /sa.in/

B.     Substitusi
kalung à /ke.lu.ar.ga/
bunga à /bu.a.ya/

C.    Visual
skrup à /rup/


Kesalahan regularisasi menunjukkan kesulitan dengan digraph NY dan SY. Kesalahan visual juga menunjukkan kesulitan yang serupa, yaitu memproses klaster atau kumpulan bunyi konsonan, yaitu SK. Dari yang seharusnya memproduksi tiga bunyi bahasa atau fonem, yaitu /s/, /k/, dan /r/, hanya satu bunyi yang diproduksi, yaitu /r/. Sangat menarik untuk mengamati kesalahan substitusi yang ada, yaitu pembacaan kata-kata KALUNG, dan BUNGA sebagai KELUARGA dan BUAYA. Ini menunjukkan bahwa selain adanya kesulitan dengan digraf, terlihat juga adanya kerentanan terhadap pengaruh dari kata-kata lain di dalam leksikon anak-anak ini. Ketika mereka kesulitan dengan grafem sederhana dan digraf, mereka mencari kata apa di dalam leksikon mereka yang mereka anggap mirip dengan kata yang dibaca dan kemudian menyebutkan kata yang mirip tersebut.

Juga menarik untuk dilihat bahwa anak-anak pada Anjarningsih (2006) sudah belajar membaca paling sedikit selama 2 tahun di sekolah dasar. Bahkan setelah 2 tahun, masih terdapat kesulitan pemetaan fonem ke grafem yang mempengaruhi akurasi membaca mereka. Saya memiliki keyakinan bahwa jika kesulitan-kesulitan yang ditemui oleh Anjarningsih (2006) dan Windiani Putri, Anjarningsih, dan Suhardijanto (belum terbit) masih ditemui pada kelas 3 di awal semester kedua dan mengganggu performa akademik anak secara signifikan di sekolah, kita perlu mencurigai adanya disleksia atau kesulitan membaca spesifik.

Kirana (2011) merupakan salah satu dari sedikit skripsi yang membahas performa membaca anak yang memang sudah mengalami kesulitan membaca di sekolah. Metode yang digunakan salah satunya adalah melihat pola-pola kesalahan dalam membaca kata-kata dalam teks-teks bacaan yang ada di buku sekolah responden penelitian yang ketika itu berusia 11 tahun. Pola kesalahan yang ditemukan adalah beserta beberapa contoh adalah:


A.    Penambahan fonem
kesenian à /ke.se.ni.man/
pencegahan à /pən.cəŋ.ga.han/
kronis à /ko.ro.nis/

B.     Penambahan suku kata
penjajah à /pən.ja.jah.an/
keberanian à /kə.bə..ra.ni.an.ña/

C.    Penghilangan fonem
andil à /a.dil/
sarana à /sa.ran/
pendapa à /pə.da.pa/

D.    Pembalikan
pada à /da.pa/
alun-alun à /la.un.la.un/
bawah à /wa.bah/

E.     Kombinasi
dari à /da.rah/
masuk à /mak.sud/
organ à /o.raŋ/

Jika kita tertarik untuk mengetahui mengapa semua kesalahan ini dapat terjadi, the phonological theory of dyslexia dapat kita rujuk untuk memberikan penjelasan. Sama dengan yang sudah ditemukan di bahasa-bahasa lain, kemahiran membaca di bahasa Indonesia dilandasi dengan kesadaran fonologis bahwa kata-kata yang sudah diketahui para pembaca pemula semenjak mereka balita dapat dipetakan kepada huruf-huruf dan suku kata ketika ketika membaca. Gangguan dalam kesadaran fonologis ini dapat menyebabkan gangguan di dalam proses belajar membaca, yang dapat menyebabkan semua kesalahan yang sudah dipetakan di atas. Dengan memperhitungkan usia kronologis dan tahapan membaca, diharapkan dalam waktu yang tidak lama lagi kita akan mempunyai panduan dalam melakukan diagnosa disleksia. Kesalahan apa yang lazim diproduksi pada tahun pertama belajar membaca pada usia 6-7 tahun, misalnya, kemungkinan menjadi pertanda disleksia jika ditemukan pada anak berusia 8,5 tahun yang sudah belajar membaca selama 2 tahun lebih.  

Anjarningsih saat ini sedang melakukan penelitian intervensi dengan peserta seorang anak usia 10 tahun dengan kesulitan membaca.  Assessment awal menunjukkan responden masih mengeja apa yang dibaca dan mengalami kesulitan merangkai kata-kata yang mengandung digraf dan diftong, serta suku kata tertutup atau Konsonan Vokal Konsonan (misalnya maKAN). Langkah intervensi pertama adalah belajar menghitung jumlah suku kata (2 atau 3 suku kata per kata) dan menghitung jumlah bunyi bahasa di dalam setiap suku kata. Jumlah suku kata dihitung dengan tepukan dan jumlah bunyi bahasa dihitung dengan menaruh sebuah bola kecil play doh, satu untuk setiap bunyi bahasa. Salah satu temuan awal berkenaan dengan kesadaran fonologis adalah bahwa mengenali jumlah suku kata relatif lebih mudah dibanding dengan mengenali jumlah bunyi bahasa (sejalan dengan temuan Treiman, 1985), terutama mengenali konsonan kedua di dalam sebuah suku kata tertutup. Misalnya, suku kata KAN dikatakan hanya memiliki 2 bunyi bahasa yaitu /k/ dan /a/. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa apa yang tidak dibaca oleh anak yang menjadi responden ini adalah bunyi bahasa yang tidak disadari keberadaannya. Tugas seperti mengenali suku kata, membalik urutan suku kata, menghilangkan suku kata, dan tugas-tugas serupa pada tataran bunyi bahasa atau fonem bertujuan untuk meningkatkan sensitivitas kognitif kepada satuan-satuan bahasa ini yang pada waktunya akan memudahkan pemahaman kepada pemetaan fonem dan grafem.   

Paparan di dalam makalah singkat ini merupakan rintisan untuk dapat membuat pemetaan perkembangan kemampuan membaca anak-anak Indonesia. Kontribusi lembaga-lembaga dan peneliti-peneliti lain sangat diharapkan untuk dapat membuat gambaran yang utuh di dalam pemetaan ini mengingat bahwa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa, provinsi, bahasa daerah, dan variasi kondisi sosio-ekonomi yang sangat berpengaruh kepada performa membaca anak, pada khususnya dan performa akademis pada umumnya. Kontak dapat ditujukan ke nomor telpon seluler 0812 860 60 584 (sms / wa / telpon), pin BB 57A88D0C, dan alamat surat elektronik wintha_salyo@yahoo.com.


Daftar Pustaka

Anjarningsih, H.Y. (2006). Developmental Dyslexia in Bahasa Indonesia: Developing a Screening Test. Tesis magister Universitas Potsdam, Jerman.

Anjarningsih, H.Y. (2011). Jangan Kucilkan Aku karena Aku Tidak Mahir Membaca: Pentingnya Identifikasi Dini Disleksia untuk Masa Depan Anak. Pustaka Cendekia Press: Yogyakarta

Kirana, A. W. (2011). The Phonological Operation that Happens during the Reading Activity Of A Child Aged 11 Years Old with Dyslexia. Skripsi sarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Sprenger-Charolles, L., Colé, P., Lacert, P., & Serniclaes, W. (2000). On subtypes of developmental dyslexia: Evidence from processing time and accuracy score, di Canadian Journal of Experimental Psychology, Vol. 54, No. 2, hlm. 87-103.

Treiman, R. (1985). Onsets and rimes as units of spoken syllables: Evidence from children, di Journal of Experimental Child Psychology, Vol. 39, hlm. 261-181.

White, S., Milne, E., Rosen, S., Hansen, P., Swettenham, J., Frith, U., & Ramus, F. (2006) The role of sensorimotor impairments in dyslexia: a multiple case study of dyslexic children, di Developmental Science, Vol. 9, No. 3, hlm. 237–269.

Windiani Putri, A. Anjarningsih, H.Y., Suhardijanto, T. (belum terbit). Pengaruh Digraf, Diftong, dan Gugus Konsonan Terhadap Performa Membaca oleh Anak. Skripsi sarjana, Universitas Indonesia, Depok.