Senin, 01 September 2008

Dilema Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Tentang Pendidikan Formal Anak dengan Masalah Bahasa

Harwintha Y. Anjarningsih

Tahun baru 2008 baru saja kita lewati. Banyak harapan baru yang sudah diungkapkan, termasuk dalam pendidikan anak. Orang tua berharap dapat memasukkan anak ke sekolah yang dapat membantu mereka mengembangkan potensi diri mereka untuk mewujudkan masa depan yang baik. Banyak yang sudah menyiapkan dana dari jauh-jauh hari untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah swasta internasional atau all-day school karena mereka menyadari bahwa latar belakang pendidikan dan kemampuan anak secara akademis banyak menentukan tingkat mobilitas sosial secara horizontal. Namun banyak pula orang tua yang berkemampuan pas-pasan hanya dapat menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah negeri. Untuk anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal mungkin hal ini cukup untuk menyiapkan mereka menjemput masa depan yang cerah, tetapi untuk anak berkebutuhan khusus secara bahasa mungkin belum. Ada paling tidak tiga alasan yang menyebabkan hal ini: masalah atau kebutuhan khusus yang mereka miliki belum dikenal, masalah atau kebutuhan khusus mereka mungkin sudah dikenal tapi alat untuk mengidentifikasi dan melaksanakan terapi belum ada, dan belum adanya bank data mengenai perkembangan bahasa anak-anak yang bertumbuh kembang normal yang handal dan valid di Indonesia.
Masalah kognitif terutama sekali yang berhubungan dengan bahasa, seperti Masalah Bahasa Spesifik (SLI-Specific Language Impairment) dan disleksia, masih terdengar asing di masyarakat. Beralasan kiranya jika di sekolah-sekolah negeri belum ada kesadaran tentang hal ini. Masalah Bahasa Spesifik yang bisa dideteksi lewat beberapa hal seperti kelainan atau kelambatan pada kecepatan bicara anak, kurangnya kosa kata anak, kurang akuratnya tata bahasa anak, dan kesulitan membaca dan berhitung, belum banyak diketahui keberadaannya. Dikhawatirkan jika masalah bahasa ini tidak dideteksi secara dini, pendidikan dan relasi sosial anak akan terganggu. Anak yang merasa tidak diperhatikan dan dibantu, atau bahkan yang merasa diperlakukan sebagai anak bodoh dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya dapat mengembangkan strategi-strategi untuk dapat mendapat perhatian atau supaya guru tidak memperhatikan kekurangan mereka, seperti mengganggu teman-teman mereka atau guru.
Memang hal ini bukan murni salah sekolah-sekolah negeri atau para guru karena untuk mengurus anak-anak yang bertumbuh kembang secara normal mereka sudah kewalahan, boro-boro ikut seminar tentang masalah bahasa pada anak atau membaca buku mengenai hal ini. Banyak sekali guru di daerah terpencil yang berjuang mati-matian untuk menjalankan sekolah setiap hari dikarenakan kendala fasilitas, kondisi alam yang sulit, dan lain sebagainya. Tambahan lagi, bisa jadi tidak ada orang yang memperhatikan masalah anak-anak berkebutuhan khusus secara kognitif ini karena adanya pandangan bahwa jika anak sehat secara fisik dan dapat mengikuti kegiatan di kelas, itu sudah cukup. Kalau prestasi pas-pasan mungkin memang sudah kemampuannya sekian tanpa merasa perlu untuk mencari tahu secara detail profil kemampuan anak yang bersangkutan. Tetapi, sekali lagi, ketidaktahuan ini merugikan anak-anak dengan masalah bahasa dan bisa merusak masa depan mereka.
Alasan kedua yang mendukung pernyataan bahwa sekolah-sekolah negeri mungkin belum bisa membantu anak-anak bermasalah kognitif terutama bahasa untuk mengembangkan potensi mereka adalah kenyataan bahwa alat untuk mengidentifikasi masalah bahasa dan alat untuk melaksanakan terapi belum ada. Sebagai ilustrasi, katakanlah ada siswa kelas 3 SD yang mengulang kelas sebanyak dua kali padahal ia selalu rajin datang ke sekolah dan mengikuti pelajaran. Ia mengalami kesulitan membaca seperti membaca rumah sebagai ruma, kantong sebagai kanton, dan tendang dengan 'e' seperti di kata "lele" walaupun ia bukan orang Batak. Ia juga kurang memahami teks-teks pendek yang dibaca bersama di kelas walau IQ-nya normal. Guru kelas yang curiga tidak bisa menentukan apakah anak ini menderita disleksia atau tidak karena kita belum punya tes skrining disleksia.Yang kemudian menyusul adalah kebingungan apa langkah yang harus dilakukan supaya anak ini dapat terus berkembang secara optimal dan tidak tertinggal dari teman-teman sekelasnya. Logikanya langkah-langkah yang dilakukan harus berdasarkan diagnosa kekuatan dan kelemahan si anak dan langkah-langkah yang dilakukan kemungkinan besar tidak akan persis sama antara satu anak dengan yang lain.
Masih absennya alat identifikasi dan alat untuk melaksanakan terapi dapat dibuat lebih parah jika kemudian siswa yang menderita Masalah Bahasa Khusus atau disleksia mendapat cap negatif dari guru dan teman-temannya seperti pemalas, bodoh, atau yang lainnya. Jika kemudian prestasinya menjadi stagnan dan dia tidak bisa melanjutkan sekolah karena di-DO, siswa ini sangat dirugikan karena dia tidak diberi haknya untuk mengembangkan diri. Di negara-negara maju yang sudah menyadari pentingnya peran bahasa dalam kehidupan akademis siswa seperti Inggris ada unit khusus yang menangani siswa-siswa dengan masalah bahasa. Jadi, mereka tidak dicemooh dan diabaikan tetapi dibantu untuk berkembang secara optimal.
Secara umum, dua alasan pertama disebabkan oleh belum adanya data mengenai bagaimana perkembangan bahasa yang dapat disebut normal. Terutama sekali untuk Masalah Bahasa Spesifik, untuk anak-anak yang berbahasa ibu Bahasa Indonesia belum jelas tahapan-tahapan yang dilalui dan pada umur berapa umumnya anak-anak mengalami setiap tahap. Di masyarakat berkembang pandangan-pandangan kemampuan bahasa apa yang lazimnya dialami oleh anak-anak pada umur-umur tertentu tapi tentu saja hal ini tidak dapat dijadikan patokan. Bank data yang dibentuk harus berdasarkan riset dengan mengikutsertakan sebanyak mungkin anak yang berbahasa ibu Bahasa Indonesia. Barulah setelah bank data ini terbentuk, kita dapat mengkategorikan perkembangan bahasa seorang anak sebagai normal, terlambat, atau menyimpang. Riset untuk membentuk bank data ini merupakan langkah awal untuk dapat membantu anak-anak dengan masalah bahasa.
Karena pentingnya peran bahasa dalam transfer ilmu di sekolah dan di masa-masa selanjutnya ketika anak-anak beranjak dewasa dan harus bisa belajar mandiri dengan menyerap informasi dari lingkungan dan bacaan, kita harus mulai menyadari pentingnya identifikasi dan terapi untuk anak-anak usia sekolah dengan masalah bahasa. Akan lebih baik lagi jika sekolah-sekolah negeri yang menjadi tumpuan banyak orang tua dalam membantu anak mereka mengembangkan potensi mereka dapat menjadi peka terhadap masalah ini. Dengan dukungan riset dan niat baik untuk membantu semua anak berkembang secara optimal, besar kemungkinan tidak ada lagi anak yang masa depannya terganggu disebabkan oleh kendala-kendala yang sejatinya dapat dipecahkan bersama.

Penulis adalah dosen di Program
Studi Inggris, Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia dan
alumnus program Clinical Linguistics di Universität
Potsdam, Jerman