Minggu, 23 Agustus 2015

Teaser: Skripsi yang saya editori (Analisis Komparatif Kata dan Frasa Berbahasa Inggris di dalam Novel The Railway Children dan Terjemahannya, Pertiwi & Fahrudin, 2015)



Analisis Komparatif Kata dan Frasa Berbahasa Inggris di dalam Novel The Railway Children dan Terjemahannya

Rahma Riski Pertiwi dan Diding Fahrudin

Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia



Abstrak

Telah banyak penelitian yang membahas ketidaksepadanan antara kata-kata dan frasa berbahasa Inggris dan terjemahannya. Akan tetapi, tidak banyak penelitian yang menjelaskan ketidaksepadanan antara bahasa Inggris dan Indonesia, khususnya dalam konsep budaya. Dengan melakukan perbandingan komponen semantik antara kata-kata dan frasa yang mengandung unsur budaya Inggris dan terjemahannya menggunakan teori Lexical Relations, Componential Analysis (CA), dan Image Schema, akan dapat dilihat penyebab dari ketidaksepadanan. Kata-kata dan frasa dari novel The Railway Children karya E. Nesbit (1906) dan novel terjemahannya Anak-Anak Kereta Api yang dialihbahasakan oleh Widya Kirana (1991) dijadikan sumber data untuk melihat hubungan leksikal antara pasangan kata dan frasa serta representasi budaya Inggris di dalam novel terjemahan.

Kata kunci:
Bahasa Indonesia; bahasa Inggris; Componential Analysis (CA); Image Schema; ketidaksepadanan; konsep budaya; Lexical Relations; novel terjemahan


A Comparative Analysis of English Words and Phrases in The Railway Children Novel and its Translation

Abstract

A lot of research has explained the non-equivalence at word and phrase levels between English texts and their translation. However, only a few have explained the non-equivalence between English and Indonesian texts, particularly in culture-specific concepts. By comparing the semantic components of words and phrases in English and Indonesian using Lexical Relations, Componential Analysis (CA), and Image Schema, the cause of the non-equivalence can be shown. Using words and phrases containing British culture-specific concepts taken from The Railway Children novel by E. Nesbit (1906) and its translation Anak-Anak Kereta Api translated by Widya Kirana (1991), this research explains the lexical relations between English-Indonesian translation as well as the representation of British culture in this Indonesian translated novel.

Keywords:
Componential Analysis (CA); culture-specific concepts; English; Image Schema; Indonesian; Lexical Relations; non-equivalence; translated novel







Kamis, 06 Agustus 2015

Kumpulan Laporan Kunjungan ke Yayasan Wahana Inklusif Indonesia, Depok (Mei 2015)

Laporan Kunjungan Yayasan Wahana Inklusif Indonesia
“Setiap Anak Istimewa dengan Segala Kelebihan dan Kekurangannya”
oleh Dita Sabariah, NPM 1406516195

            Pada tanggal 26 Mei 2015, saya bersama mahasiswa linguistic FIB UI peminatan Bahasa dan Budaya, kelas Psikolinguistik, juga bersama Ibu Harwintha Y. Anjarningsih S. Hum., M. Sc berkunjung ke Yayasan Wahana Inklusif Indonesia. Yayasan ini merupakan tempat bimbingan belajar bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Terdapat anak berkebutuhan khusus yang bermacam-macam, misalnya anak ADHD, disleksia, tunagrahita, dan lain-lain. Yayasan ini berlokasi di daerah Beji, Depok, dengan alamat Jalan Jawa No. 159 RT. 04/07, Depok Utara. Setibanya di yayasan ini, kami disambut oleh tiga orang pengajar, salah satunya adalah Bapak Kosim, yang merupakan General Affair and Administration Coordinator.
            Pada kunjungan kali ini, kami dijelaskan oleh Bapak Kosim beserta dua orang guru lainnya mengenai Yayasan Wahana Inklusif, bagaimana proses belajar, kerjasama di sekolah-sekolah, anak-anak yang belajar di yayasan tersebut, dan banyak hal lain yang kami perbincangkan. Pada hari itu, saya juga berkesempatan mengobservasi langsung seorang anak berkebutuhan khusus bernama Ryan. Ryan merupakan anak tunagrahita yang sudah berada pada tingkat sekolah SMP, namun memiliki kemampuan setara dengan kelas 3 SD. Ketika saya mengobservasi langsung, Ryan sedang belajar mengisi soal-soal LKS PKN dan sedang didampingi oleh salah satu ibu guru.
            Beberapa kali saya berinteraksi dengannya, Ryan memperlihatkan bahwa ia adalah anak yang sopan, tekun, dan agak pendiam. Ketika ditanya nama dan kegiatannya, ia menjawab dengan baik. Ibu guru pendampingnya mengatakan bahwa ia hanya memiliki kekurangan di bidang akademis saja yang cenderung lambat. Namun, tidak pada kegiatan berkomunikasi.

            Melihat semangat Ryan, salah satu anak berkebutuhan khusus di yayasan ini membuat saya belajar bahwa semangat belajar tidak dibatasi pada bagaimanapun keadaan kita. Dari kunjungan tersebut saya juga belajar bahwa semangat belajar dan semangat untuk menggapai cita-cita dan kesuksesan tidak terbatas pada kemampuan setiap orang. Jika anak yang berkebutuhan khusus saja memiliki semangat yang sangat tinggi, apalagi anak normal. Setiap anak, baik anak normal atau anak berkebutuhan khusus adalah anak yang istimewa dengan segala kekurangan dan kelebihannya.


Yoga Mestika Putra
1406591390

Laporan Kunjungan ke Yayasan Wahana Inklusif Indonesia, Selasa 26 Mei 2015 pukul 11.00-13.00

            Wahana Inklusif Indonesia (WII) adalah sebuah lembaga Bimbingan Belajar yang menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Bimbingan Belajar Wahana Inklusif Indonesia berada di bawah naungan Yayasan Wahana Inklusif Indonesia (YWII). Yayasan ini didirikan pada 19 September 2013 oleh Bapak Tolhas, seorang penggiat yang sangat peduli akan pendidikan terutama bagi anak berkebutuhan khusus. Terbentuknya YWII berawal dari ditetapkannya kota Depok sebagai kota layak anak dan kota Inklusif, namun pada kenyataannya masih banyak anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan yang semestinya dan masih banyak diskriminasi terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil temuan di lapangan tersebut, Bapak Tolhas dan rekan-rekannya membentuk lembaga konsultasi pendidikan yang membantu anak-anak terutama yang berkebutuhan khusus supaya memperolah hak yang sama dalam pendidikan. Seiring dengan tingginya tingkat kebutuhan akan sebuah bimbingan belajar bagi anak berkebutuhan khusus maka WII kemudian ditetapkan sebagai sebuah Bimbingan Belajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus.
            Lembaga bimbingan Wahana Inklusif Indonesia yang beralamat di Jalan Jawa nomor 159 RT 0004/RW 007, Beji, Depok ini sekarang dikelola oleh ibu Fina. Lembaga Bimbingan Belajar ini melayani proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus seperti kesulitan belajar (Disleksia, Disgarphia, Discalculia), Autisme, Tunagrahita, Hambatan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktifitas (AD/HD), Lambat Belajar, dan gangguan mental lainnya. WII sekarang memiliki sekitar tiga puluh anak berkebutuhan khusus dengan tiga pengajar aktif. Metode yang diterapkan dalam mengajar adalah metode PPI (Program Pembelajaran Individual) yang memfokuskan pembelajaran setiap individu. Dengan metode ini diharapkan perkembangan siswa dapat lebih terarah karena setiap siswa benar-benar diperhatikan satu per satu. Jadwal belajar di WII berlangsung dari hari Senin sampai hari Sabtu dengan durasi per sesinya Sembilan puluh menit. Kehadiran lembaga WII dirasakan sangat bermanfaat bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
            Wahana Inklusif Indonesia memiliki visi mewujudkan masyarakat inklusif yang di dalamnya tercapai penghargaan martabat terhadap penyandang disabilitas; pemenuhan dan perlindungan hak-hak serta partisipasi penuh mereka dalam kegiatan masyarakat. Visi tersebut kemudian diwujudkan dalam beberapa program diantaranya menyediakan layanan konseling professional bagi siapa saja yang membutuhkannya, mengadakan pendidikan dan pelatihan ke sekolah-sekolah guna memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus di bidang pendidikan, mengadakan monitoring dan evaluasi internal maupun eksternal untuk mendapatkan gambaran tentang keterlaksanaan, pencapaian, hambatan, serta peluang dalam menjalankan sebuah program, dan melaksanakan kampanye pendidikan inklusif melalui penyuluhan kepada masyarakat, diskusi melalui radio dan televisi dan menggunakan media sosial lainnya supaya para penyandang disabilitas dapat diterima dan berpartisipasi dalam masyarakat. Dengan demikian, Wahana Inklusif Indonesia turut membantu pemerintah dalam mewujudkan kota Inklusif.

LAPORAN KUNJUNGAN KE WAHANA INKLUSIF INDONESIA
SUPRAYOGI/1406591384/S2 Linguistik Universitas Indonesia

A.    Wawancara dengan Pengelola
Diskusi dengan pengelola Wahana Inklusif Indonesia diarahkan pada pengenalan lembaga dan pengalaman tentang penanganan anak berkebutuhan khusus. Lembaga ini bertempat di Depok, didirikan pada tahun 2013 oleg Bapak Tolhas Damanik, M. Ed. Atas dasar cita-cita untuk mewujudkan masyarakat inklusif yang menghargai, melindungi, dan melibatkan anak berkebutuhan khusus dalam kegiatan masyarakat. Lembaga ini membuka bimbingan belajar secara privat untuk siswa berkebutuhan khusus, seperti low vision, autis, ADHD, down syndrome, slow learners, dan sebagainya.
Lembaga ini melakukan layanan konseling dan pelatihan serta melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan khusus, menjalin komunikasi dan berbagi pengalaman dengan guru tentang teknik belajar. Lembaga ini sering ditunjuk sebagai tim pembuat soal ujian nasional untuk anak berkebutuhan khusus. Soal dibuat dengan jumlah butir soal yang lebih sedikit dan dengan indicator pencapaian belajar yang tidak setinggi soal untuk anak-anak normal. Dalam proses advokasi, lembaga ini menghadapi tantangan memperjuangkan hak-hak mereka di sekolah formal seperti terbenturnya kebijakan sekolah dengan hak-hak anak, terbatasnya fasilitas, kurangnya pengetahuan guru, sikap mental masyarakat dengan “apapun bisa selesai dengan uang”, dan stigma masyarakat tentang anak berkebutuhan khusus.

B.     Observasi Kelas
Saya berkesempatan untuk melihat proses belajar dua orang siswa dengan ADHD dan dengan kesulitan belajar. Saya melihat bagaimana anak dengan ADHD sangat aktif bergerak dan berbicara banyak pada hal yang disukainya. Saat belajar, ia cenderung cepat teralihkan dengan sesuatu yang baru karena ia memiliki attention span yang lebih singkat dari anak normal. Maka dari itu, proses belajarnya lebih lama karena harus ada jeda istirahat agar konsentrasinya kembali lagi. Proses belajar dilakukan dengan bermain puzzle untuk membangun konsentrasi dan materi pengetahuan disisipkan saat mengobrol dengan anak, sehingga anak belajar secara implisit. Saya belajar bahwa guru secara intensif membangun komunikasi dengan merespon tuturan dan menanyakan hal-hal yang diketahui anak. Teknik ini digunakan untuk membangun ketrampilan komunikasi anak, karena anak dengan ADHD memiliki keterbatasan secara pragmatic atau sosial bahasa. Siswa yang kedua adalah siswa yang memiliki kesulitan belajar. Siswa ini telah duduk di bangku SMP, namun secara psikologis ia masih berada di kelas rendah Sekolah Dasar. Menghadapi siswa seperti ini, guru memberikan penjelasan dengan pelan, apalagi mengingat saat itu adalah materi Pendidikan Kewarganegaraan tentang saling menghargai yang merupakan pembahasan yang tidak konkret. Saat itu, siswa tampak belum mengerti apa itu konsep saling menghargai. Guru mencoba mengajak siswa untuk mencari contoh nyata sikap ini dalam kehidupan sehari-hari.

LAPORAN VISITASI
Tempat         : Wahana Inklusi, Beji, Depok, Jawa Barat
Mata kuliah : Psikolinguistik
Dosen           : Harwintha Yuhria Anjarningsih, S.Hum, M.Sc., Ph.D.
Mahasiswa   : Reno Risanti Amalia
NPM            : 1406591352

            Berkaitan dengan tugas mata kuliah Psikolinguistik untuk mengobservasi anak-anak berkebutuhan khusus dan permasalahan bahasa yang dialami, pada pagi hari Selasa, 26 Mei 2015 sekitar pukul 10.00 hingga 12.30, kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi salah satu tempat yang member pengajaran pada anak-anak tersebut, Wahana Inklusi.
            Hal yang saya dapat dari kunjungan tersebut adalah bahwa Wahana Inklusi yang didirikan oleh Bapak Tolhas pada 19 September 2013 adalah wujud dari kepedulian beliau sebagai salah satu penyandang disabilitas terhadap anak-anak berkebutuhan khusus di Kota Depok. Menurut penjabaran dari beberapa stafnya, yaitu Bapak Kosim dan Ibu Rosa, Kota Depok yang mengusung jargon peduli anak, ternyata mengabaikan pendidikan anak-anak jalanan. Anak-anak ini terabaikan dan banyak dari mereka yang memerlukan penanganan khusus, sehingga didirikanlah institusi ini untuk menjadi tempat pengajaran bagi mereka.
            Namun ternyata, anak berkebutuhan khusus tidak hanya berasal dari kalangan anak jalanan. Cukup banyak orang tua yang mengalami kesulitan atau ketidaksepahaman dengan sekolah mengenai tumbuh kembang anaknya. Anak-anak mereka dikategorikan secara langsung sebagai anak dengan pelabelan tertentu seperti autisme dan lain sebagainya.
            Oleh karenanya, Wahana Inklusi kembali berperan bukan hanya untuk menangani anak-anak jalanan, tetapi juga menerima pengajaran dan pendampingan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah, dan juga memberikan saran dan masukan bagi guru dan kepala sekolah untuk penanganan anak-anak tersebut. Agar anak-anak berkebutuhan khusus ini dapat bersekolah di sekolah umum yang terjangkau, baik pembiayaan maupun jaraknya, maka pihak sekolah diharapkan dapat bekerja sama dengan instansi terkait seperti POKJA Inklusi Kota Depok dan juga Wahana Inklusi untuk dapat memberikan pengajaran ataupun evaluasi belajar yang sesuai dengan kemampuan sang anak, alih-alih menyetarakan dengan kelompok umurnya.
            Anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah anak-anak terbelakang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan. Seperti pada kasus Said (7 tahun, 1 SD) yang memiliki gangguan konsentrasi, suka berinteraksi, sedikit hiperaktif dan mudah letih. Said sangat mudah berinteraksi dan penuh ekspresi saat berkomunikasi dengan orang lain. Imajinasinya pun jenaka dan memiliki referensi yang di luar ekspektasi. Pada masanya, dengan pendampingan dan pengarahan, Said mungkin bisa menjadi seseorang yang mampu berkreasi dengan imajinasinya, misalkan sebagai penulis naskah cerita fiksi sains.
            Yang menjadi perhatian saya adalah, mengapa diharuskan untuk memaksa anak-anak berkebutuhan khusus untuk berada di dalam satu kelas dengan anak-anak normal? Apakah tidak akan menimbulkan “pelecehan kecerdasan” yang malah akan menjatuhkan rasa percaya diri dan mengekang kemampuan sesungguhnya dari anak-anak tersebut? Saya rasa sudah menjadi tugas kita untuk berperan serta dan mendorong pemerintah untuk lebih memanusiakan anak-anak ini, dan memberikan pendampingan untuk memunculkan potensi mereka.
           

 Enggar Mulyajati
1406516213
Mata Kuliah Psikolinguistik
Program Magister Ilmu Linguistik

Laporan Kunjungan Yayasan Wahana Inklusif Indonesia
            Yayasan Wahana Inklusif Indonesia (YWII) didirikan pada tanggal 19 September 2013. Berdirinya yayasan ini dilatarbelakangi oleh slogan “Depok merupakan kota layak anak” yang ironisnya justru masih didapati masih banyak anak-anak yang mengamen di jalanan. Melihat keadaan tersebut beberapa pemerhati di bidang pengembangan penyandang disabilitas dan pendidikan inklusif membangun yayasan ini dengan tujuan menjadi wahana untuk belajar.
            Yayasan ini menyediakan layanan-layanan yang meliputi program konseling, asesmen dan evaluasi anak berkebutuhan khusus, dan program pendidikan individual (PPI). Dalam PPI ini anak berkebutuhan khusus diberikan nilai sesuai dengan kemampuannya sehingga tidak terlalu tertinggal dengan anak normal namun target belajarnya diturunkan karena disesuaikan dengan anak tersebut. Selain itu yayasan ini melakukan program kunjungan ke sekolah untuk memberikan konsultasi dengan guru yang mengalami hambatan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus dan membantu memberikan solusi. Kunjungan ini juga melakukan beberapa program seperti mengidentifikasi nilai anak yang lebih rendah dibanding yang lain dan membantu guru membuat butir-butir soal khusus tanpa menghilangkan peran guru. Setiap hari sabtu yayasan ini menyediakan konsultasi bagi orang tua yang ingin mengetahui perkembangan anaknya maupun orang tua yang mencari solusi atas masalah yang dihadapi anaknya.
            Anak-anak berkebutuhan khusus yang belajar di yayasan ini memiliki kelainan yang beragam, seperti ADHD (Attention Deficit Hypercativity Disorder), low vision, psikomotorik, tuna grahita, tuna netra, terlambat berbicara, kesulitan membaca, dan autis. Anak-anak belajar dengan target tertentu namun mereka belajar dalam suasana yang menyenangkan seperti bermain puzzle atau menggambar. Usia anak yang belajar di yayasan ini bervariasi dan usia tertua murid pada saat itu adalah delapan belas tahun.
            Guru-guru di yayasan ini secara terbuka berbagi tips mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Hal ini dikarenakan tiap anak memiliki karakter yang berbeda dan sistem belajar mereka tidak dapat disamakan dengan anak normal lainnya. Mereka menekankan bahwa setiap kegiatan belajar harus variatif dan soal diberikan sedikit demi sedikit sehingga anak tidak cepat bosan. Selain itu dalam proses belajar diberi jeda berupa kegiatan lain dan anak harus dapat menceritakan kegiatan yang mereka lakukan. Hal ini dilakukan untuk menekankan komunikasi dua arah antara guru dan murid.

Laporan Kunjungan Yayasan Wahana Inklusif Indonesia, 26 Mei 2015
Fina Andriani, 1406516232, Pascasarjana Linguistik, FIB Universitas Indonesia

            Yayasan Wahana Inklusif didirikan pada tanggal 19 September 2013. Di usia yang relatif masih muda, yayasan tersebut konsisten untuk membantu anak-anak “berkebutuhan khusus” yang pada umumnya mengalami kesulitan belajar di sekolah formal. Sekolah-sekolah di Indonesia, termasuk di Depok pada khususnya tempat Yayasan ini berada, belum banyak yang memberi perhatian pada anak yang memiliki kesulitan belajar karena latar belakang tertentu. Padahal jumlah anak-anak tersebut cukup banyak. Faktor yang melatarbelakangi kesulitan belajar mereka cukup beragam, di antaranya ADHD, low vision, tuna grahita, disleksia, autis ringan, dan sebagainya. Anak-anak tersebut kesulitan mendapat tempat untuk belajar dengan baik sesuai kemampuan mereka. Oleh sebab itu, yayasan tersebut berusaha membantu kesulitan mereka. Metode pengajaran yang ditawarkan yayasan tersebut mirip dengan metode bimbingan belajar personal. Sering kali anak dibimbing secara personal supaya perkembangannya lebih mudah dilihat. Selain itu, tidak hanya dalam kesulitan belajar, yayasan tersebut juga membantu anak supaya dapat melakukan tugas sehari-hari seperti membuat teh, mencuci gelas, dan meletakkan kembali gelas yang sudah dipakai ke tempatnya. Untuk anak yang berkembang secara “normal”, hal tersebut mungkin mudah untuk dilakukan, namun tidak untuk anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, yayasan tersebut berharap anak dapat terbantu dalam tidak hanya dalam pembelajaran formal, melainkan juga dalam kegiatan sehari-hari.
            Salah satu hal menarik dari yayasan tersebut adalah tersedianya para pengajar dari berbagai latar belakang bidang ilmu, salah satunya yaitu latar belakang PLB (Pendidikan Luar Biasa). Oleh sebab itu, mereka cukup paham bagaimana menangani anak dengan kebutuhan khusus, termasuk bagaimana membuat anak tertarik untuk mempelajari hal tertentu. Namun demikian, masih agak disayangkan bahwa bahan-bahan yang digunakan dalam pengajaran belum terlalu terencana. Oleh sebab itu, Yayasan Wahana Inklusif sangat membuka pandangan bagi orang-orang yang memiliki latar belakang linguistik atau latar belakang pendidikan, bahwa sebenarnya perlu dibuat bahan ajar yang sesuai dengan kemampuan mereka, namun dengan tetap memasukkan konten ilmu pengetahuan sebagaimana yang ditawarkan oleh sekolah formal. Mereka sebenarnya tetap dapat belajar dengan baik apabila mendapat arahan yang tepat. Permasalahan anak tersebut bukan milik anak dan orangtua saja, tetapi seharusnya menjadi milik semua pihak, baik para ahli bahasa, pendidikan, maupun pemerintah. Oleh sebab itu, perlu kerjasama yang baik dari berbagai pihak dalam menganalisis kesulitan mereka guna melahirkan bahan dan metode ajar yang benar-benar tepat untuk anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.