Senin, 12 Januari 2015

Kumpulan Laporan Observasi di Program D3 Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus, Politeknik Negeri Jakarta


Kumpulan Laporan Observasi
di Program D3 Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus,
Politeknik Negeri Jakarta



Oleh: Mahasiswa Mata Kuliah Psikolinguistik dan
Linguistik Edukasional
Program Pascasarjana Linguistik, Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Semester Ganjil 2014-2015



Dosen Pengampu: Harwintha Y. Anjarningsih, PhD
(0812 860 60 584)




Asrie Rahmiatie

NPM: 1406516163

Refleksi Kunjungan Ke Kelas Mahasiswa Berkebutuhan Khusus
di Jurusan Manajemen Pemasaran Politeknik Negeri Jakarta

Individu dengan keterbatasan fisik dan mental, masih dapat belajar meskipun kecepatan belajarnya tidak sama dengan orang normal. Diperlukan program khusus, serta guru-guru yang terampil dan sabar dalam memfasilitasi kebutuhan belajar mereka.  Hal tersebut terlihat ketika saya dan rekan-rekan mengunjungi kelas untuk mahasiswa berkebutuhan khusus di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
Di Jurusan Manajemen Pemasaran (PNJ) , terdapat 3 golongan kelas yang menerima mahasiswa dari penderita tuna rungu, slow learner,  dan autism. Tentu tiga golongan ini memiliki tantangan belajarnya masing-masing. Penderita tuna rungu, memilik kemampuan kognitif yang sama dengan orang normal, hanya saja mereka memiliki kesulitan berkomunikasi.Komunikasi dilakukan denga bahasa isyarat atau membaca gerakan bibir. Maka dosen harus bisa memahami bahasa isyarat dan berbicara dengan jelas di depan mahasiswa, sehingga mereka bisa memahami materi kuliah dan mengembangkannya dalam melaksanakan tugas kuliah. Penderita slow learner tidak mangalami masalah komunikasi, akan tetapi memiliki kemampuan kognitif yang kurang, maka dosen harus memberikan materi secara berulang untuk memastikan mahasiswanya paham dan ingat. Mahasiswa ini cenderung membeo dan tidak dapat mengembangkan materi kuliah seperti mahasiswa tuna rungu. Jenis mahasiswa ketiga adalah mahasiswa dengan autism yang memiliki kemampuan sosial rendah sehingga kerap menimbuklan masalah dalam proses belajar. Mahasiswa kadang tantrum, menghilang saat kuliah berlangsung, atau mengganggu temannya. Diperluka kesabaran ekstra dari dosen untuk mengajar mereka. Program ini adalah program D-3, akan tetapi ditempuh minimal selama 8 semester untuk menyesuaikan kemampuan kognitif mereka.
Saya merasa terharu bahwa para mahasiswa ini diberikan kesempatan belajar yang sama sebagai warga negara Indonesia. Saya yakin adanya program ini sangat menggembirakan hari orang tua mahasiswa tersebut karena anak mereka diberi kesempatan belajar untuk lebih mandiri sehingga kelak bisa hidup di masyarakat. Saya pun salut dengan kesabaran para dosen dalam menghadapi mahasiswanya. Salut terbesar saya terhadap para mahasiswa itu sendiri, karena dibalik keterbatasan mereka, masih ada semangat mereka untuk belajar. Saya berharap program ini akan terus berlanjut dan muungkin suatu hari saya dapat berkontribusi dalam mendidik siswa berkebutuhan khusus.

Angga Rosma Pramodhawardhani
Linguistik – Pengajaran Bahasa
1406516144


Laporan Kunjungan ke PNJ
“Anak ASD Juga Bisa Duduk di Bangku Kuliah”

Kata Autis berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Istilah autis pertama kali dikenalkan oleh Leo Kanner pada 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan dalam Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguitics, autis adalah ganguan pada orang yang merusak komunikasi dan interaksi sosial. Jadi, kata ini merujuk kepada seseorang yang suka menyendiri dan seakan-akan memiliki dunianya sendiri.
Kelainan ini sering dikenal dengan Autism Spectrum Disorder (ASD). Penyebab dari ASD ini masih sulit ditemukan namun dugaan sementara adalah faktor genetik dan faktor lingkungan. Ciri-ciri anak pengidap ASD ialah tidak memiliki kontak mata terhadap lawan tuturnya dan sering menyendiri.
Kebanyakan anak ASD bersekolah di sekolah luar biasa dan tidak banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Lain halnya dengan anak-anak pengidap ASD yang berkuliah di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Anak-anak ini melanjutkan sekolahnya hingga ke perguruan tinggi (PNJ). Akan tetapi, mereka dapat duduk dibangku perkuliah bukan tanpa syarat. Ada persyaratan yang harus mereka penuhi agar bisa menjadi mahasiswa di PNJ. Salah satunya adalah lulus SMA.
Saya melakukan perbincangan dengan salah satu mahasiswa PNJ yang mengidap ASD. Dari hasil perbincangan tersebut, diketahui bahwa ia merupakan lulusan Sekolah Global Mandiri. Sekolah ini merupakan sekolah swasta yang cukup baik dikawasan Cibubur. Selain itu, selama interaksi berlangsung tidak terlalu terlihat berbedaan yang mencolok. Ia menggunakan bahasa yang baik dan benar namun sedikit terlalu formal. Pada saat perbincangan berlangsung, kontak mata terjadi namun tidak terlalu sering. Di akhir perbincangan pun ia sempat meminta nomor telepon untuk bisa saling berinteraksi dikemudian hari. Hal ini saya tanggapi dengan positif dengan bertukar nomor telepon.
Dari perbincangan tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa dengan penanganan yang tepat, anak dengan ASD juga dapat melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Selain itu, dengan kemauan yang besar dan tekad yang kuat dari sang anak, melanjutkan sekolah hingga bangku kuliah adalah bukan hal yang mustahil. Tentunya hal ini tidak lepas dari peran serta orang tua yang menerima keadaan anaknya dan melakukan penanganan dini dan instensif sehingga kelainan ASD dapat berkurang.


 Narno (1306499074)
Wiwit Fitriyana (1306499143)

Laporan Kuliah Lapangan Mahasiswa Berkebutuhan Khusus
di Politeknik Negeri Jakarta

Tanggal
Waktu
Kegiatan
Selasa, 4 November 2014
10.00-12.30 Wib
Observasi secara umum dan perkenalan
Senin, 24 November 2014
09.00 – 13.00 Wib
Observasi performa bahasa pada mahasiswa berkebutuhan khusus.

Kunjungan yang kami lakukan di Politeknik Negeri Jakarta ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada hari  Selasa, 4 November 2014. Tahap pertama ini untuk observasi secara umum mengenai mahasiswa berkebuthuan khusus. Kami disambut oleh ibu Dewi Akbar selaku ketua Program Politeknik Non Reguler (berkebutuhan khusus). Setelah mendapat pengarahan dari beliau, kami mengetahui bahwa mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus di Politeknik ini didominasi oleh penyandang autisme.
Pada kunjungan pertama ini, Ibu Dewi Akbar memberikan saran agar kami terlebih dahulu memahami cara berkomunikasi dengan para mahasiswa penyandang autisme. Hal ini perlu dilakukan agar ketika melakukan pengamatan mengenai performa bahasa yang mereka gunakan, kami mendapatkan info secara maksimal.
Kemudian, beberapa mahasiswa berkebutuhan khusus ini diminta untuk berbagi pengalaman mereka kepada kami. Secara umum, terlihat mereka menggunakan performa bahasa yang tidak biasa seperti menjawab perkataan yang tidak sinkron dari yang ditanyakan. Kejadian waktu itu adalah seorang mahasiswa bernama Adi, secara fisik ia terlihat tidak memiliki kekurangan. Akan tetapi, ketika Ibu Debar bertanya pada Adi, di mana ia tinggal, ia justru bercerita mengenai sebuah film yang akan tayang secara serentak di negara-negara maju di Asia.
Mahasiswa kedua yang diminta oleh Ibu Dewi adalah Ega, seorang mahasiswa yang pernah memenangkan lomba desain. Hal yang membanggakan adalah, bahwa perlombaan ini diikuti oleh seluruh mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, baik reguler maupun non-reguler (berkebutuhan khusus). Dengan kata lain, Ega mengalahkan lawan-lawannya yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Secara komunikasi,  Ega mampu berkomunikasi dengan baik dengan kami, dalam arti, ia dapat menjawab pertanyaan sesuai dengan hal yang kami tanyakan.
Terdapat pengalaman yang menarik yang pernah dialami oleh salah satu mahasiswa berkebutuhan khusus bernama Orisa. Dia bercerita, ketika di stasiun Manggarai, tas yang dia bawa ditarik oleh orang yang tak dikenal. Kemudian ia mengejar penjambret tersebut, namun sangat disayangkan, ia berhasil lolos dengan menaiki taksi yang kebetulan melintas di sekitar stasiun Manggarai. Orisa merasa harus mendapatkan kembali tasnya, karena di dalam tasnya terdapat banyak barang berharga, seperti laptop dan dompet. Dengan datar ia bercerita, melalui telepon pintar yang ia miliki, ia mencari nomor telepon taksi yang telah membawa pencuri tasnya. Setelah menemukan nomor telepon, kemudian ia menelepon pusat layanan informasi taksi tersebut, dan menginformasikan kepadanya bahwa taksi dengan nomor polisi B xxxx xxx penumpang di dalamnya adalah pencuri yang telah mencuri tasnya. Kemudian dia bertanya di mana lokasi taksi tersebut, dan meminta agar supir taksi membawa penumpang di dalamnya ke kantor polisi. Setelah berkomunikasi dengan petugas taksi melalui telepon, kemudian diketahui lokasi keberadaan taksi tersebut. Orisa segera menuju lokasi yang dikabarkan, menggunakan transportasi umum, kereta listrik dan bus Kopaja. Pada akhirnya, dia mendapatkan kembali tas miliknya di dalam taksi, namun pencuri tas berhasil melarikan diri ketika supir taksi berhenti di kantor polisi. Bagi kami yang mendengarkan cerita ini secara langsung sangat terkagum-kagum dengan kemampuannya menganalisa dan kecepatan bertindak. Bahkan, menurut kami, belum tentu bagi kami yang normal dapat melakukan tindakan yang sama jika hal tersebut terjadi pada kami. Orisa memiliki ingatan yang sangat baik, ia dapat mengingat dengan baik nomor polisi taksi yang membawa pencuri tasnya.
Banyak hal yang kami dapatkan hari itu, di balik keterbatasan yang dimiliki oleh teman-teman di Politeknik Negeri Jakarta tersebut, Tuhan tetap memberikan kelebihan-kelebihan lain. Seringkali mereka dianggap aneh atau tidak normal, namun kami menilai bahwa mereka hanya sedikit berbeda. Jika mendapatkan penanganan yang baik, mereka dapat tumbuh dan bermanfaat bagi diri dan orang-orang di sekitarnya serta dapat hidup mandiri.
Pada tahap kedua, kami berkunjung pada Senin, 24 November 2014. Pada tahap ini, kami memiliki tujuan mengamati performa bahasa pada mahasiswa berkebutuhan khusus secara umum, tidak hanya autisme. Kami mengamati tiga orang mahasiswa berkebutuhan khusus, mereka adalah Tania, Aldi dan Eldwin.
Ketika kami berbincang-bincang dengan Tania, kami merasakan perbedaan secara menonjol dalam hal irama atau nada yang ia gunakan ketika berbicara. Ia berbicara dengan nada turun di setiap kata, dan dengan suara yang lantang atau suara yang tinggi jika dibandingkan dengan orang normal seusianya ketika berbicara. Menurut Cohen (1997), pada penyandang autisme, pola perkembangan bahasa dan penggunaan bahasa yang mereka gunakan  merupakan pola yang sangat tidak biasa. Pertama, terdapat keanehan pada nada dan modulasi tuturan. Irama tuturan normal sering hilang shingga suara akan terdengar monoton dan putus-putus meskipun jelas. Anak dapat berbicara terlalu keras atau bahkan bicara terlalu pelan, serta mereka memiliki aksen bicara yang cukup berbeda dengan keluarga atau teman sebayanya. Pada kasus ini, Tania berbicara terlalu keras jika dibandingkan dengan orang yang berusia sama dengannya ketika berbicara santai atau dalam konteks non-formal.
Setelah itu, kami bertemu dengan orangtua dari Tania yang saat itu sedang menjemputnya. Orangtua Tania bercerita mengenai masa kecil Tania, ketika usia dua tahun ia divonis oleh dokter menderita autisme dengan jenis ADHD.  Sesuai dengan pendapat Cohen (1997) yang mengatakan bahwa, pada anak-anak penyandang autisme, mengalami keterlambatan dalam pemerolehan kata pertama atau frase. Meskipun dalam beberapa kasus khususnya bagi mereka yang kemampuan kognitifnya tinggi, akan sama dengan anak  normal lainnya. Sekitar 25% anak penderita autisme, pemerolehan katanya terjadi pada usia 12 atau 18 bulan (Cohen: 1997). Pada kasus Tania, kemungkinan besar dokter memiliki kecurigaan ketika Tania berusia dua tahun dan belum mengalami perkembangan bahasa layaknya anak-anak seusianya, yang sudah memiliki kemampuan berbahasa lebih baik. Oleh karena itu, Tania baru dinyatkan autis ketika menginjak usia dua tahun.
Berdasarkan kriteria dari DSM-IV, anak penderita autisme mengalami gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) keterlambatan atau kekurangan secara menyeluruh dalam berbahasa lisan (tidak disertai usaha untuk mengimbanginya dengan penggunaan gestur atau mimik muka sebagai cara alternatif dalam berkomunikasi), (2) ciri gangguan yang jelas pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan sederhana, (3) penggunaan bahasa yang repetitif (diulang-ulang), streotip (meniru) atau bersifat aneh, (4) kurang beragamnya spontanitas dalam permainan pura-pura atau meniru orang lain yang sesuai dengan tingkat perkembangannya (Peeters: 2).
Pada kasus Tania, hal yang paling menonjol adalah poin (2), gangguan pada kemampuan untuk memulai atau melanjutkan pembicaraan dengan orang lain meskipun dalam percakapan yang sederhana. Setelah kami berbincang-bincang kurang lebih selama lima menit, Tania tiba-tiba pergi dan masuk ke dalam ruang kelas, ketika masih jam istirahat. Menurut informasi yang kami dapat dari dosen Bahasa Indonesia, Tania sering meninggalkan kelas ketika jam pelajaran masih berlangsung. Tidak hanya pada Tania saja, pada umumnya mahasiswa dengan autisme, akan meninggalkan kelas ketika pelajaran masih berlangsung. Secara umum, terlihat bahwa para mahasiswa autis cenderung tidak ingin melanjutkan pembicaraan dengan orang lain. Atau bisa dikatakan tidak dapat fokus pada satu objek.  Untuk permasalahan ini, dosen sering mengingatkan mahasiswanya melalui peringatan yang ditulis di papan tulis, “Tidak boleh meninggalkan kelas, sebelum pelajaran berakhir!”.
Informan yang kedua adalah Aldi, seorang mahasiswa penyandang autisme muslim, namun sangat senang menyanyikan lagu-lagu rohani Kristen. Berdasarkan infomasi dari Ibu Dewi Akbar, Aldi pernah diajak oleh seorang kristian mengikuti kebaktian di gereja. Aldi dimanfaatkan karena keluguannya. Hingga kini, Aldi masih mengingat lagu-lagu yang dinyanyikannya saat di gereja. Hal ini yang paling menonjol ketika kami berbincang-bincang dengannya. Ketika kami bertanya tentang hal-hal yang mendasar, Aldi justru menjawab dengan bernyanyi, bahkan saat pertanyaan dari kami belum selesai. Hal lain yang menonjol dari Aldi adalah, sering mengulang pertanyaan yang diajukan dan bukan menjawab pertanyaan dari kami. Seperti waktu itu, kami bertanya, “Aldi rumahnya di mana?” Aldi justru mengikuti pertanyaan tersebut, “Haaa....rumahnya di mana”. Kemudian, kami mengambil inisiatif, bertanya kembali, “Rumahnya di Depok ya?”, Aldi menjawab, “Iya”. Fenomena mengulang pertanyaan ini disebut dengan echolalia atau ekolali (Peeters: 58).
Menurut Rydell dan Mirenda (1994), ekolali akan meningkat saat anak merasa gelisah, khawatir, sedih yang menandakan mereka mengalami tekanan yang tidak semestinya. Pada kasus perbincangan kami dengan Aldi, ia sangat sering menggunakan ekolali ini. Asumsi kami, alasan Aldi sering menggunakan ekolali ini adalah, karena ia merasa tertekan atau tegang ketika berbincang-bincang dengan kami, orang yang baru dikenalnya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penderita autisme akan mengulangi pertanyaan yang diajukan ke mereka daripada menjawabnya. Menurut Rydell dan Mirenda (1994) sebenarnya hal ini dapat diatasi dengan cara memberikan petunjuk (prompt) pada mereka misalnya daripada bertanya ‘Kamu ingin apa?’ lebih baik mengatakan ‘Saya ingin sebuah bola’ sehingga anak tersebut akan menirukannya. Saran lama-lama akan hilang sampai anak dapat menjawab pertanyaan dengan tepat tanpa pengulangan. Saran tersebut sudah kami lakukan ketika kami berkata, “Aldi, Aldi nggak boleh nyanyi Tuhan Yesus, kan Aldi ke masjid, bukan ke gereja.” Kemudian Aldi menjawab dengan, “Haa..tidak boleh nyanyi Yesus? Aldi ke masjid.” “Iya, Aldi kan Muslim”, kemudian ia menirukan, “Aldi Muslim.”
Menurut Howlin (1998: 7) pola perkembangan bahasa dan penggunaan bahasa pada penyandang autisme akan sangat tidak biasa. Salah satunya adalah adanya perbedaan kesalahan semantik seperti adanya neologisme dan penggunaan kata ganti yang terbalik. Pada informan kami yang ketiga, bernama Eldwin. Kami tidak banyak berkomunikasi decara langsung dengannya, tetapi kami mengamati peristiwa yang sedang terjadi pada Eldwin. Ketika itu, kami tengah melihat Eldwin sedang menulis surat untuk pacarnya yang juga penyandang autisme di kelas yang sama dengannya, Tika namanya.
Berdasarkan surat yang dibuat oleh Eldwin, terdapat kesalahan semantik seperti yang disebutkan oleh Howlin (1998: 7). Berikut ini kutipan dari surat tersebut, “Tika temanku, aku minta maaf karena membuat aku tersinggung dan sedih.” Kesalahan yang terjadi dalam konteks ini adalah Eldwin menyebut kata ‘kamu’ menjadi ‘aku’. Namun, hal itu terjadi hanya satu kali dalam suratnya. Jika dilihat dari pilihan kata yang digunakan, memang sedikit berbeda dari mahasiswa seusianya. Seperti pemakaian kata sifat baik, sedih, nakal dan berdosa. Kata-kata tersebut kemungkinan tidak akan dipakai oleh orang seusianya jika menghadapi permasalahan yang sama. Jika dilihat dari kalimat yang digunakan pun, pengungkapan perasaan yang digunakan oleh Eldwin cenderung lugas, sederhana dan tidak ada makna konotasi dalam kalimat-kalimatnya. Menurut Rydell dan Mirenda (1994), penyandang autisme akan kesulitan ketika memahami kata-kata yang bermakna konotasi, seperti ungkapan, metafora dan peribahasa. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Eldwin menulis surat dengan bahasa yang lugas dan tidak terdapat makna konotasi sedikitpun di dalamnya.


Dian Natashia (1306499042)
Raihanah Permata Sari (1306499093)

Laporan Kunjungan Observasi Politeknik Negeri Jakarta tanggal 24
November 2014

Dalam laporan ini, kami akan membahas tentang gangguan bahasa yang teridentifikasi
melalui tuturan salah satu mahasiswa D3 Politeknik Negeri Jakarta berkebutuhan khusus.
1.        Latar Belakang
       Perkembangan manusia merupakan perubahan yang progresif dan berlangsung terus
menerus dan berkelanjutan. Akan tetapi, tidak semua anak mengalami perkembangan normal.Banyak di antara mereka yang perkembangannya mengalami gangguan, hambatan,
kelambatan, atau memiliki faktor-faktor resiko yang akhirnya membutuhkan penanganan
khusus untuk mencapai perkembangan optimal. Kelompok inilah yang kemudian dikenal
sebagai anak berkebutuhan khusus.
       Salah satu tipe gangguan perkembangan yang termasuk dalam karakteristik anak yang
berkebutuhan khusus adalah ASD atau Autistic Spectrum Disorder. Anak-anak yang
menderita ASD mulai menunjukkan gejala keterlambatan perkembangannya sejak usia dini,
seperti tidak berusaha melakukan imitasi gerakan orang lain atau tidak merespon dengan baiksaat diajak berbicara sebagaimana yang dilakukan anak bayi pada normalnya, yang
menyebabkan keterlambatan menggunakan gestur dan keterampilan dasar (vokalisasi dan
pemerolehan bahasa), sedangkan peran gestur sangat penting dalam pemerolehan bahasa
anak pada masa pra-bahasa (Caroll, 2008 : 258). Pernyataan inilah yang menimbulkan rasa
keingintahuan kami akan gangguan bahasa yang dimiliki oleh anak ASD.
       Dalam penelitian ini, kami mengambil satu sampel anak berkebutuhan khusus yang
terindikasi termasuk anak ASD, yang kami ajak berbicara saat mengunjungi Politeknik
Negeri Jakarta. Responden bernama Ega yang terindikasi memiliki ASD high function dan
seorang slow learner[1]. Ketertarikan kami untuk mengambil Ega sebagai responden karena
kami melihat Ega tidak terlalu jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya. Dengan
demikian, kami tertarik untuk menemukan karakteristik anak ASD yang ada padanya dengan melihat dari tuturannya. Kami akan menganalisis tuturan responden untuk melihat berbagai
aspek kebahasaan yang mengalami gangguan. Tuturan kami dapatkan dengan metode
wawancara dan dalam analisis, kami menggunakan metode deskriptif kualitatif.   
 
2.        Tinjauan Pustaka
2.1 Autistic Spectrum Disorders
Autistic Spectrum Disorders atau ASD merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang ditunjukkan melalui kelemahan dalam keterampilan interaksi sosial dua arah dan
keterampilan komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, dan tingkah laku berulang (Lubetsky, Handen dan McGonigle, 2011:4). ASD umumnya mencakup lima gangguan
perkembangan masa kanak-kanak, yaitu autistic disorder, Rett’s disorder, childhood
disintegrative disorder, pervasive developmental disorder-NOS (PDD-NOS), dan Asperger’s syndrome menurut DSM-IV 1994 (Muma dan Cloud, dalam Damico, Muller dan Ball, 2010:155).  Anak autis pertama ditemukan pada tahun 1700 dan pada tahun 1940-an autis
dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan (schizophrenia). Kata autism atau autistic berakar dari kata Yunani, autos yang bermakna sendiri sehingga pada awalnya istilah ini mengacu
pada penarikan diri dari kehidupan sosial. Gangguan ini terlihat semenjak kecil.
            Pendekatan ilmiah mengenai autis mengalami titik temu pada tahun 1943. Leo Kanner menerbitkan Autistic Disturbances of Affective Conduct yang mendeskripsikan ciri anak
autis dari 11 anak yang ia teliti. Terdapat empat ciri yang dipaparkan oleh Kanner, yaitu
gangguan pemerolehan ujaran, mayoritas anak berjenis kelamin laki-laki, kehadiran
macrochephaly dan keseluruhan anak tidak mampu membentuk kontak afektif dengan orang
lain secara alamiah (Lubetsky, Handen dan McGonigle, 2011:6). Kemudian pada tahun 1956, Eisenberg dan Kanner memaparkan dua kriteria penting untuk mendiagnosis gangguan ini
dari kecil, yaitu ketidakmampuan anak untuk menghubungkan antara orang dengan situasi
dan ketidakmampuan anak belajar berbicara atau menyampaikan makna sebagai salah satu
makna dari bahasa. Kedua pendekatan ini berhasil memberikan gambaran sekilas mengenai
autis pada tahun tersebut. Pada tahun 1952, Mahler memaparkan bahwa anak autis tidak bisa membedakan ibunya dengan benda mati sehingga mereka tidak memiliki ikatan batin dengan orang lain.
            Akan tetapi faktor kurangnya peran orang tua sebagai penyebab anak menderita autis mulai bergeser dan etiologi psikogenik terhadap autis diperkenalkan oleh Michael Rutter.
Rutter (1979) menerbitkan penelitian mengenai perbedaan anak autis dan anak disfasia
menunjukkan tidak ada perbedaan antara kedua tipe anak tersebut, baik dari intensitas dan
frekuensi interaksi positif, kualitas interaksi keluarga dan derajat interaksi ibu-anak. Pendapat Rutter diperkuat dengan temuan Rimland (1964) mengenai penyebab autis terletak pada sifat biologis dan neurologis yang terganggu.
     
2.1.1 Karakteristik anak ASD dilihat dari bahasa
            Kesulitan berkomunikasi yang dihadapi oleh anak ASD pada umumnya, yaitu mereka mengalami keterlambatan memproduksi bahasa. Pada masa kanak-kanak, ASD susah
diidentifikasi namun patut dicurigai ketika anak masih melakukan babbling pada tahun
pertama. Menurut Brazelton (1991) colic (mulas) merupakan produk dari stimulus berlebihanpada hari sebelumnya. Hal ini terjadi karena sistem saraf pusat bayi belum bisa memproses
stimulasi tersebut di hari sebelumnya sehingga colic tersebut diproduksi pada malam hari
untuk melepaskan tekanan kognisi dari stimulus. Dengan kata lain, anak yang mengalami
colic berlebihan patut dicurigai mengidap ASD walaupun hipotesis ini perlu diteliti lebih
mendalam.
            Keterampilan bahasa verbal dan komunikasi anak ASD merupakan proses
berkelanjutan, mencakup dari tidak pernah mengembangkan bahasa verbal sampai lancar
dalam menggunakan bahasa verbal namun kurang komunikatif ketika berinteraksi dengan
orang lain. Dalam komunikasi verbal, anak ASD mengalami kesulitan memproduksi ujaran
dari segi prosodi, semantik, sintaksis dan pragmatik (Bogdashina, 2005:170). Menurut
karakteristik diagnosis gangguan kualitatif yang digunakan di DSM-IV (APA 1994) dan
ICD-10 (WHO 1992), anak ASD dapat dilihat dari pengembangan bahasa lisan yang
terlambat atau kurang sama sekali; kurangnya pemahaman bahasa sebagai alat komunikasi;
kurangnya tanggapan dalam komunikasi dua arah; bahasa yang tidak biasa (ekolalia dan
penggunaan bahasa literal); kurangnya penggunaan dan pemahaman bahasa tubuh dan
intonasi sebagai alat penyampaian informasi; gangguan imitasi sosial; dan kurangnya reaksi
emosional terhadap pendekatan verbal dan non-verbal dari orang lain.

2.2 Gangguan Perkembangan dari Aspek Kebahasaan
            Seperti yang dijelaskan sebelumnya, anak ASD mengalami gangguan perkembangan dalam aspek kebahasaan, umumnya pada aspek fonologi, sintaktis, semantik dan pragmatik. Dibandingkan anak non-ASD, anak ASD mengalami gangguan pada penggunaan prosodi
yang digunakan hingga dewasa dan tidak tergantung pada tingkatan fungsi verbal (Kanner,
1971 dalam Bogdashina, 2005). Gangguan ini mengakibatkan ketidakmampuan anak ASD
untuk membaca kode sinyal kebahasaan sekaligus tidak dapat memproduksi fungsi pragmatikyang berbeda. Pada aspek sintaksis, Tager-Flusberg (1989) menyimpulkan anak ASD yang
tidak mengalami keterlambatan dalam pemerolehan pembendaharaan kata tidak akan
mengalami kesulitan dalam sintaksis namun apabila anak tersebut mengalami keterlambatan, mereka akan cenderung menggunakan bentuk sintaksis sederhana. Selain itu mereka
cenderung memakai ekolalia atau pengulangan. Pada aspek semantik, Tager-Flusberg (1989) menjelaskan bahwa anak ASD dengan low-function akan mengalami kesulitan pada
konseptualisasi namun lain halnya dengan anak ASD dengan high-function. Pada anak ASD dengan high-function memang memiliki keterampilan untuk menyusun pengetahuan
konseptual atas kategori objek konkrit  namun mereka memiliki strategi kognisi yang berbeda, dimulai dari barang konkrit terlebih dahulu lalu konseptualisasi. Pada aspek terakhir, anak
ASD mengalami kesulitan dalam keterampilan pragmatik, seperti salam, inisiasi topik,
pembagian topik, pengembangan topik, penggunaan deiksis, anaphora dan penutup
pembicaraan (Damico, Muller, dan Ball, 2010:157).

3.        Pembahasan
Pada esai ini, kami akan membahas hasil temuan kami mengenai gangguan bahasa yang dialami anak ASD. Gangguan bahasa yang kami bahas hanya pada aspek sintaktis dan
pragmatik sedangkan aspek lainnya tidak kami temukan pada tuturan sampel penelitian.

3.1 Gangguan bahasa pada aspek sintaktis
Dari data yang ditemukan dari tuturan sampel, ada kecenderungan sampel melakukan
kesalahan pada bentuk kata perangkai dan mengulang kata sebelumnya ia ucapkan.
(12)E: Ada temen-temennya, pengiringnya belakangnya
Data diatas menunjukkan adanya kesalahan dalam sintaktis; bahasa Indonesia memiliki
bentuk sintaktis S-P-O-K namun pada tuturan (12) kata kerja digantikan kata benda dengan
imbuhan -nya dan sebelum keterangan tempat memerlukan kata depan. Pada kasus ini,
belakangnya tidak disertai kata depan. Hal ini sering muncul pada anak ASD, terutama pada kata perangkai dieksis (ini atau itu). Sifat relativitas kata perangkai ini yang membuat anak
ASD kesulitan menentukan kapan harus menggunakannya (Bogdashina, 2004:181)
(14)E: Aku nyanyinya..nyanyi sendiri tapi dibantu penari-penari latar
(27)E: Ceritanya temennya…temennya ini dari Jepang atau mana itu tersesat di Tibet nemuin…nemuin petulangan…eh nemuin temennya…
(35)E: Yeti itu adalah suatu makhluk…makhluk fiksi sebenarnya..belum ditemukan seutuhnya..makhluk kayak setengah manusia dan beruang gitu..manusia raksasalah
Tuturan (14), (27) dan (35) memiliki pola yang sama; mengulangi kata yang sebelum ia
ucapkan. Pola ini terlihat seperti ekolalia namun kecenderungan ini disebabkan oleh
pemrosesan yang terlambat. Pemrosesan tuturan ini dapat terjadi pada anak ASD, terutama
ketika ia mengakses kembali leksikonnya. Pada kasus Ega, pengaksesan leksikal sederhana
cenderung lebih sulit, seperti kata nyanyi, temennya dan makhluk.  

3.2 Gangguan bahasa pada aspek pragmatik
Pragmatik melihat tuturan dan konteks yang menyertainya. Pada kasus Ega, ditemukan
adanya perbedaan relevansi antara tuturan penutur dengan tuturan mitra tutur. Asumsi
penutur D dan R pada konteks tertentu berbeda dengan Ega.
(3)D: Baik, nanti kelas kamu apa?
(4)E: Nanti aku latihan untuk acara di sini…di gedung direktur
Pada tuturan (3), D bertanya tentang kelas mata kuliah apa yang akan Ega ikuti nanti ;
walaupun tuturan D tidak mengunakan bentuk sintaksis yang benar, namun implikatur tuturantersebut mampu dimengerti oleh Ega. Karena mengalami gangguan pada aspek pragmatik,
Ega tidak dapat menangkap makna tuturan D. Inferensi Ega terhadap tuturan D ialah penutur D menanyakan apa yang akan Ega lakukan nanti. Kata ‘kelas’ pada tuturan D seakan
diabaikan oleh Ega sehingga tuturan tersebut dimaknai berbeda oleh Ega.
            Berikut ini merupakan tuturan kedua yang diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan yang menguatkan dugaan bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
(17)D: Oh gitu, jadi hari ini gak sekolah dong?
(18)E: kuliah biasanya…
Tuturan (17) masih mengikuti konteks sebelumnya. Tuturan (3) hingga (17) masih seputar
kegiatan responden yang akan ia lakukan sesuai wawancara ini, yaitu mengikuti latihan
menyanyi untuk acara yang akan diadakan pihak kamus di gedung direktur. Tuturan (17)
bermaksud untuk menegaskan kembali apakah setelah wawancara ini responden akan
mengikuti kelas mata kuliah selanjutnya atau kegiatan belajar mengajar ditiadakan seiring
diadakannya sesi latihan. Tuturan tentang ada kelas atau tidaknya pada tuturan (17)
menunjukkan bahwa D belum puas mendapatkan jawaban dari responden mengenai kelas
yang responden ikuti karena pada tuturan (4), responden tidak menjawab ada tidaknya, tetapi menjawab kegiatan lain yang akan ia lakukan usai jam istrirahat. Tuturan (17) menggunakan bentuk penegasan karena D memiliki asumsi dari tuturan responden sebelumnya bahwa ia
tidak akan mengikuti kelas berikutnya karena diganti dengan sesi latihan menyanyi. Akan
tetapi, responden tidak menjawab 'ya' atau 'tidak' seperti yang tertulis pada tuturan (18) dan
menjawab dengan pernyataan lain yang mengundang asumsi lagi. Walaupun kelihatannya
tuturan (18) tidak relevan dengan tuturan (17), tetapi tuturan (18) masih relevan dengan
tuturan (17), hanya saja untuk melihat relevansinya, dibutuhkan asumsi hasil interpretasi
tuturan (18). Dari tuturan (18) dapat diasumsikan bahwa biasanya responden mengikuti
kegiatan belajar mengajar setelah jam istrirahat, tetapi karena ada acara dan ia terlibat di
dalamnya, kegiatan kuliah akan ia ganti dengan sesi latihan. Hal yang menarik pada tuturan
(18) adalah responden menjawab tuturan (17) yang semantik dengan tuturan pragmatik.
            Berikut ini merupakan tuturan ketiga yang diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan yang menguatkan dugaan bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
            (21)R: Gamenya.. game apa? FES?
(22)E: FES bisa, mainan game Tintin mau..baca buku tintin kebanyakan
Pada tuturan (19)[2], penutur R menanyakan kegiatan apa yang disukai oleh Ega. Ega
menjawab bermain game. Untuk memancing percakapan, penutur R memilih game FES,
salah satu permainan yang disukai oleh anak laki-laki. Pada awal dimulainya percakapan
antara Ega dengan penutur D dan R, Ega melihat kaos bergambar Tintin yang dipakai oleh
penutur D. Setelah mendapat stimulus sebelumnya, konteks mengenai Tintin dibangun pada
tuturan (22). Yang menarik pada tuturan (22) ialah adanya pergantian topik dari bermain
game Tintin menjadi membaca buku Tintin. Salah satu karakteristik anak ASD ialah mereka
sulit fokus pada satu topik pembicaraan dan lebih memilih topik pembicaraan yang mereka
sukai.
            Berikut ini merupakan tuturan keempat yang diidentifikasi termasuk tuturan tidak
relevan yang menguatkan opini bahwa responden memiliki gangguan aspek pragmatik.
(27)E: Ceritanya temennya…temennya ini dari Jepang atau mana itu tersesat di Tibet             nemuin…nemuin petulangan…eh nemuin temennya…
(28)D: Oh nemuin temennya?
(29)E: Jadi susah payah…
Pada tuturan ini, konteks yang mengelilingi adalah responden sedang bercerita tentang
seri Tintin yang paling disukainya, yaitu petualangan Tintin di Tibet. Jadi, tuturan (27)
menunjukkan tuturan bagaimana responden sedang bercerita tentang petualangan Tintin yangpaling berkesan untuknya. Setelah responden menghentikan tuturannya dengan intonasi yang turun dan jeda yang cukup lama, D merespon tuturan responden seperti yang terlihat pada
tuturan (28). Akan tetapi, tuturan (29), yang harusnya merupakan jawaban untuk tuturan (28),seperti relevan untuk tuturan (27). Jika melihat tuturan (29), responden seakan-akan sedang
melanjutkan ceritanya yang belum selesai dengan mengacuhkan pertanyaan pada tuturan (28. Hal ini merujuk pada salah satu karakteristik anak ASD di mana mereka sulit fokus pada satu topik pembicaraan dan lebih memilih topik pembicaraan yang mereka sukai. Pada konteks
tuturan ini, responden terlihat semangat saat sedang menceritakan hal yang ia sukai sampai
menghiraukan pertanyaan lain jika ia belum menyelesaikan ceritanya.

4.  Kesimpulan
Awal ketertarikan kami dengan menjadikan Ega responden adalah tuturannya yang, jika
tidak diselidiki lebih dalam, terlihat tidak jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Akan
tetapi, setelah menganalisis tuturan Ega, kami menemukan beberapa karakteristik ASD pada
tuturannya dan menguatkan asumsi kami bahwa ASD memiliki gangguan pada bahasanya.
Karena Ega termasuk ASD high function,  dari wawancara singkat yang kami lakukan dengan Ega, kami menduga bahwa Ega memiliki gangguan bahasa pada aspek sintaksis dan
pragmatik. Kami tidak menemukan gangguan aspek semantik karena selama wawancara, Egamenunjukkan kemampuan semantik yang baik karena dapat mengikuti tiap topik dalam
wawancara dengan baik. Pada aspek sintaksis, kami menemukan bahwa Ega kesulitan
memakai deiksis, memakai ekolalia, sulit mengakses kembali leksikonnya, dan memakai
bentuk sintaksis yang sederhana. Pada aspek pragmatik, kami menemukan bahwa Ega
cenderung untuk menjawab dengan pernyataan yang kurang informasinya, sehingga seakan-
akan tidak memahami isi pertanyaan yang diajukan kepadanya. Tidak hanya itu, Ega juga
menunjukkan karakteristik tidak fokus pada satu topik pembicaraan dan lebih memilih topik yang ia sukai. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Ega, sebagai anak ASD high
function, mengalami gangguan aspek bahasa tidak pada seluruh aspek, tetapi hanya aspek
sintaksis dan pragmatik.
    
4.      Daftar Acuan

Bogdashina, Olga. 2005. Communication issues in autism and Asperger syndrome: do we
speak the same language?. London: Jessica Kingsley Publishers
Carroll, David W. 2008. Psychology of language. United States of America: Thomson
Wadsworth
Damico, Jack S, Nicole Muller dan Martin J. Ball. 2010. The handbook of language and   
speech disorders. Wiley-Blackwell
Lubetsky, Martin J, Benjamin L. Handen dan John J. McGonigle. 2011. Autism spectrum
disorder. Oxford University Press
Tager-Flusberg, H. 1989. A psycholinguistic perspective on language development in the
autistic child, dalam G. Dawson Autism: Nature, diagnosis and treatment. New York:       TheGuilford Press  
5.      Lampiran
6.       
Transkrip Rekaman Ega pada kunjungan ke Politeknik Negeri Jakarta tanggal 24 November
2014
(D: Dian Natasha; E: Ega; R: Raihanah)
(1)D: Ega, gimana hari ini?
(2)E: Baik..
(3)D: Baik, nanti kelas kamu apa?
(4)E: Nanti aku latihan untuk acara di sini…di gedung direktur
(5)D: Latihan ngapain?
(6)E: Latihan itu apa…nyanyi…
(7)D: Nyanyi? Nyanyi apa?
(8)E: Ondel-ondel, lagu betawi-betawi gitu deh
(9)D: Terus nanti lomba?
(10)E: Gak, bukan lomba. Acara doang
(11)D: Oh nanti Ega ikutan nyanyi sama temen2nya apa nyanyi sendiri?
(12)E: Ada temen-temennya, pengiringnya belakangnya
(13)D: Temennya cowo? Jadi nyanyi sendirian?
(14)E: Aku nyanyinya..nyanyi sendiri tapi dibantu penari-penari latar
(15)D: oh..dari jam berapa tuh?
(16)E: nanti abis ini istirahat
(17)D: Oh gitu, jadi hari ini gak sekolah dong?
(18)E: kuliah biasanya…
(19)R: Ega, sukanya apa sih?
(20)E: Aaa…baca buku, mainan game, mainan apa juga gapapa
(21)R: Gamenya.. game apa? PES?
(22)E: PES bisa, mainan game Tintin mau..baca buku tintin kebanyakan
(23)R: Seri yang mana Ega suka?
(24)E: Tintin in Tibet
(25)R: Oh yang di Tibet?
(26)D: Ceritanya gimana tuh?
(27)E: Ceritanya temennya…temennya ini dari Jepang atau mana itu tersesat di Tibet nemuin…nemuin petulangan…eh nemuin temennya…
(28)D: Oh nemuin temennya?
(29)E: Jadi susah payah…
(30)D: Oh jadi nemuin temennya. Terus yang menarik dari cerita Tibet itu apa menurut Ega?
(31)E: Yang menarik….karena ada legendanya disitu
(32)R: Legendanya apa?
(33)E: Yeti..
(34)D: Yeti? Yeti itu apa sih?
(35)E: Yeti itu adalah suatu makhluk…makhluk fiksi sebenarnya..belum ditemukan seutuhnya..makhluk kayak setengah manusia dan beruang gitu..manusia raksasalah
(36)R: Hidupnya kalo Yeti dimana?
(37)E: Yeti…biasanya hidup di pa..es
(38)D: Es?
(39)E: Di gunung-gunung
(40)D: Nanti ceritanya si Tintin ketemu Yeti ndak?
(41)E: Ketemu


LAPORAN HASIL PENGAMATAN ANAK-ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS MANAJEMEN PEMASARAN
 POLITEKNIK NEGERI JAKARTA


1.      PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Pengamatan
            Psikolinguistik merupakan sebuah kajian yang memiliki fokus terhadap hubungan antara bahasa dengan otak manusia. Menurut Dharmowijono (2009) psikolingustik merupakan bidang-bidang lingusitik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa. Faktor tersebut dapat berbentuk seperti hubungannya dengan otak manusia. Proses bahasa terjadi di dalam otak dan terjadi dengan normal. Namun, ternyata pada sebagian individu, proses berbahasa ini tidak selalu terjadi dengan normal, karena pada kenyataannya terdapat beberapa gangguan pada proses tersebut. Hal ini dapat diamati pada salah satunya dalam kasus anak-anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu, saya dan rekan-rekan Pascasarjana kelas Psikolinguistik Universitas Indonesia, mencoba mengamati gangguan bahasa yang terjadi pada anak-anak berkebutuhan khusus kelas D3 Manajemen Pemasaran yang berlokasi di gedung Arsip Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
B.     Tujuan Pengamatan          
            Pengamatan berlangsung sebanyak dua kali, yaitu pertama dilakukan pada hari Selasa, 11  November 2014 dan yang kedua dilakukan pada hari Senin, 24 November 2014. Observasi ini bertujuan untuk mengetahui apa saja tipe-tipe anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), bagaimana karakteristik anak dengan autisme dan Retardasi Mental, bagaimana permasalahan dalam bahasa yang sering dihadapi oleh tim pengajar anak dengan autisme dan retardasi mental (retardasi mental).
C.     Kegunaan Pengamatan
            Pengamatan ini diharapkan bermanfaat untuk mengetahui bagaimana gangguan bahasa yang terjadi pada anak-anak dengan autisme dan retardasi mental (keterbelakangan mental). Selanjutnya diharapkan dengan mengetahui permasalahan yang terjadi pada anak-anak dengan tipe tersebut laporan ini sedikit banyak dapat membantu mengentaskan permasalahan bahasanya.

2.      GANGGUAN BAHASA PADA ANAK AUTISME DAN RETARDASI MENTAL
           
            Pada kunjungan pertama, seluruh mahasiswa mata kuliah psikolinguistik melakukan perkenalan dengan satu persatu anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan hasil pengamatan, beberapa tipe anak-anak berkebutuhan khusus di sini seperti autisme, downsindrome, retardasi mental, tuna rungu, asperger, dan slowlearner. Namun laporan ini khusus membahas tentang anak-anak autisme dan anak dengan retardasi mental.
            Autisme merupakan gejala keterbatasan gangguan perkembangan. Secara umum anak-anak dengan autisme itu aktif, mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dan sedikit berbeda dengan anak-anak lainya. Menurut Tager-Flusberg dalam jurnalnya Language and Communication in Autism (2005), individu dengan autisme dibedakan atas dua tipe yaitu, high fuctioning dan low functioning. High functioning (HFA) berarti seorang individu tersebut menunjukkan beberapa gejala autisme, tetapi nilai IQ-nya berada pada tingkat rata-rata atau lebih. Individu dengan gejala seperti ini biasanya cenderung mampu melakukan interaksi sosial, tetapi tidak mampu memulai percakapan atau melanjutkan percakapan dalam waktu lama.
             Anak Autisme dengan tipe seperti ini bisa disebut dengan Asperger Syndrome (AS). Dalam kasus seperti ini, pada jurusan manajemen pemasaran di PNJ, saya mengamati anak bernama Osca yang dapat digolongkan sebagai penyandang Asperger Syndrome (AS). Bukti dari hal tersebut adalah ketika Osca bercerita bahwa pada suatu hari ia mengalami musibah, tasnya dicuri oleh seseorang di stasiun kereta api. Kepintaran Osca dapat dilihat saat ia mencoba menangani kasusnya sendiri sewaktu tasnya yang berisi dompet dan laptop dicuri dan dibawa lari ke dalam sebuah taxi oleh seorang pelaku kriminal. Osca dengan cepat tanggap menghafalkan plat nomor taxi yang membawa lari pencuri tasnya, mencari data-data taxi lewat internet kemudian menelpon pihak yang berwajib. Pada akhirnya Osca mendapatkan kembali tas yang dimilikinya. Kejadian seperti ini sangat menarik untuk diamati, karena menunjukan bahwa seorang anak autis dapat berpikir dengan cepat tanggap yang mana anak normalpun belum tentu dapat melakukan hal yang sama. Namun, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, saat mencoba berkomunikasi dengan Osca, saya merasakan sedikit kesulitan, karena Osca tidak mampu memulai percakapan terlebih dahulu dan melakukan percakapan dalam waktu yang lama.
            Sementara itu, anak dengan low functioning kebanyakan memiliki intelegensi atau IQ yang rendah. Individu dengan low functioning sering bertingkah laku aneh, memiliki kebiasaan-kebiasaan aneh, gerakan-gerakan aneh yang berbeda dengan yang lainnya serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan. Mereka terkadang sering melukai diri sendiri, banyak diantara mereka yang memiliki masalah dalam mengingat, sukar untuk mengingat nama orang atau hal, dan kesulitan dalam berbahasa.
            Tager-Flusberg (2005:344) menambahkan bahwa sekitar 25% dari anak-anak dengan autisme digambarkan oleh orang tuanya sudah memiliki kemampuan berbicara sejak usia 12 hingga 18 bulan namun kata-kata yang diperoleh hilang begitu cepat. Hilangnya kosakata ini terjadi pada anak-anak ketika mereka masih berada di usia yang relatif kecil sebelum mampu menghasilkan banyak kosakata. Kemudian saat mulai beranjak dewasa, seorang anak Autis biasanya mulai melakukan kegiatan dengan pola yang berulang, sehingga kosakatanyapun mulai bertambah dan melekat dalam pikiran. Walaupun demikian, saat beranjak dewasa, penggunaan kosakata sering memperlihatkan ketidaksamaan dengan anak-anak normal lainya. Anak autisme memiliki kesulitan khususnya mendeskripsikan frase maupun kata berimbuhan. Masalah seperti ini juga saya temukan pada Osca. Menurut Bu Nino, selaku tim pengajar, Osca memiliki kemampuan yang baik dalam tulis-menulis, hanya saja ia memiliki kesulitan dalam menggunakan kata penghubung yang tepat dalam setiap kalimat pada tulisannya. Osca kesulitan memahami perbedaan kata hubung yang bersifat mempertentangkan  dengan kata hubung yang bersifat menyamakan. Paul, Fischer dan Cohen (1988) menemukan bahwa walaupun anak-anak dengan autisme dapat menggunakan strategi yang sama dalam penguasaan kalimat dengan anak-anak lainya, namun mereka selalu tampil kurang kompeten. Anak-anak dengan autisme tidak hanya memiliki keterbatasan untuk meningkatkan input bahasa dengan pengetahuan tentang apa yang ada di dunia nyata, akan tetapi juga dalam beberapa kasus cenderung kekurangan pengetahuan tentang peristiwa sosial untuk menunjang kemampuan bahasa dan memperoleh kemajuan dalam struktur bahasa.
            Masalah gangguan bahasa yang dapat diamati dari seorang anak autis dapat diamati dengan jelas pada tataran semantis. Anak-anak autis memiliki kesulitan dalam memahami makna suatu ujaran, sehingga komunikasi hanya akan terjadi satu arah. Saya mengamati kasus seorang anak autis yang bernama “Aldi” di mana ketika saya menanyakan namanya, anak tersebut hanya bergumam dan bernyanyi. Aldi tidak memahami maksud dari pertanyaan saya dengan baik, sebagai tambahan, Aldi juga tidak pernah menatap lawan bicaranya saat berbicara.
            Kemudian, pada pertemuan selanjutnya, saya bertemu seorang anak dengan Retardasi Mental (keterbelakangan mental) yang bernama Karis. Retardasi Mental adalah kondisi yang tertuju pada sekelompok kelainan fungsi intelektual (intelegensi rendah) dan kurangnya kemampuan adaptif. Drg. Siti Salmiah (2010) mengelompokkan karakteristik dari seorang anak dengan retardasi mental ke dalam tiga hal yang dapat diamati sejak dini. Pertama, fungsi intelektual umum berada di bawah normal, terdapat kendala dalam perilaku adaptif sosial,  gejalanya timbul dalam masa perkembangan yaitu pada usia di bawah 18 tahun.
            Gangguan bahasa pada Karis dapat di lihat dari intuisi relevansi tuturannya yang lemah. Sebagaimana anak-anak dengan kebutuhan khusus lainnya, seorang anak dengan retardasi mental juga memiliki gangguan terhadap perkembangan bahasa tertentu (specific language impairment). Gangguan ini dapat teramati khususnya dalam tataran pragmatis. Karis dapat berkomunikasi dengan baik dan membangun komunikasi dua arah dengan kawan tuturnya, hanya saja dalam setiap percakapan selalu ditemukan kelemahan intuisi relevansi dari tuturannya. Karis sebagaimana disebutkan pada bagian sebelumnya, memiliki kendala dalam beradaptasi dan memahami kondisi dan situasi. Ia juga sulit memahami konteks tuturan, sehingga topik pembicaraan akan melebar ke mana-mana. Sebagai contoh, berikut saya kutip tuturan langsung saya, Neneng dan Karis, yang berhasil saya rekam saat pertemuan kedua berlangsung :
(percakapan 1)
Neansy                : oh..ini... Karis suka baca cerita-cerita ngga?
Karis                   : Suka..nonton film
Neansy                : oh, Film? Oh..kalau baca cerita-cerita gitu  misalnya
   dongeng atau cerita rakyat gitu, suka ngga?
Karis                    : Ngga begitu sih. Sukanya film action gitu.
Neneng                : action? Jackie chan?
Karis                   : iya
Neansy                : Yang paling suka film apa?
Karis                    The Fast and the Furious.
Neansy dan Neneng: oh.... The Fast and the Furious
Neansy                : oh kalau ngga salah, kan ada berapa seri tuh? The Fast and the  Furious? kalau engga salah lima yah?
Karis                   : mau ada yang ke tujuh
Neansy               : oh..ada yang ke tujuh ya? Saya suka juga sih, cerita itu.. tapi saya lupa-lupa ingat ceritanya.
Karis                   : Katanya ada yang meninggal, siapa? Paul Walker
Neneng               : iya...katanya dia ketabrak gitu kan? Trus kecelakaan. kasian     banget
Karis                   : iya, Kukira dia mabok
Neneng               : Engga, dia disupirin sama orang, trus kecelakaan, meninggal
Karis                   : Bintang favorit aku tu,
Neansy               : Itu meninggalnya beneran, apa dalam film aja?

              Pada percakapan di atas, terlihat saya yang memberikan pertanyaan mengenai apakah Karis suka membaca buku cerita atau tidak, Karis menjawab dengan mengatakan bahwa ia lebih menyukai menonton film, yang berarti ia tidak terlalu suka membaca. Lalu, kembali Karis menjelaskan bahwa ia lebih menyukai film dengan genre action. Percakapan ini kemudian memancing penjabaran Karis mengenai film yang ia sukai secara khusus, yaitu The Fast and the Furious. Dari sini lah terlihat bahwa Karis memiliki intuisi relevansi yang lemah, karena ia tiba-tiba berbicara mengenai isu terbaru terkait film tersebut yaitu, salah satu bintang pada film tersebut (Paul Walker) yang baru saja meninggal dunia. Keterhubungan antara pernyataan Karis dengan pernyataan yang saya ajukan sangat jauh. Pada saat itu saya menyatakan bahwa saya juga menyukai film itu, namun saya lupa bagaimana jalan ceritanya, dengan harapan agar dapat memancing respon Karis memahami makna tuturan saya yang sebenarnya berniat memintanya untuk menceritakan kembali alur film tersebut.
(percakapan 2),

Neneng                         : Kamu suka Jackie Chen ngga?
Karis                             : Jackie chan? Suka. Aku pingin banget jadi aktor.
Neneng                         : oh ya, kenapa ngga ikutan teater aja? Jadi producer gitu.
Neansy                         : Kalau dalam fast and furious itu, kamu sukanya siapa?
Karis                             : Paul Walker.

Percakapan di atas juga mengindikasikan hal yang sama dari ketidakrelevanan tuturan Karis dengan pertanyaan rekan saya, Neneng. Neneng bertanya apakah Karis menyukai Jeckie Chen atau tidak. Karis memang menjawab bahwa ia menyukai Jeckie Chen, namun setelah itu ia menyebutkan bahwa ia juga sangat ingin menjadi seorang aktor, seperti jeckie Chen. Tuturan-tuturan Karis memperlihatkan gangguan pada sistem komunikasi yang dimilikinya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Tila F Ruser (2006) dalam tulisannya ‘Communicative Competence in Parents of Children with Autism and Parents of Children with Specific Language Impairment’, bahwa anak-anak dengan retardasi mental memiliki gangguan sistem bahasa di mana mereka mengalami kemampuan implisit untuk menyimpulkan pikiran dan motif orang lain. Oleh sebab itu, kesulitan tersebut membuat tuturan menjadi panjang dan keluar dari topik seharusnya.
3.      KESIMPULAN
Beberapa pengamatan yang telah saya lakukan ini akhirnya membawa saya kepada kesimpulan bahwa sesungguhnya memang anak dengan autisme (Kasus pada Osca) dan anak dengan retardasi mental (khususnya pada Karis) memiliki kekurangan khususnya dalam segi berbahasa. Gangguan pada bahasa ini sangat menghalangi terjalinnya komunikasi yang baik antara mereka dan lawan bicaranya. Namun kekurangan ini sebenarnya bukanlah hal yang sangat besar yang dapat menghalangi prestasi mereka untuk dapat sejajar dengan anak-anak normal. Sebagai seorang linguis sebenarnya kita dapat berkontribusi membantu mereka dengan kesulitan berbahasa tersebut, seperti misalnya dengan memberikan terapi bahasa tertentu sehingga mereka tidak akan merasa disisihkan dalam masyarakat.


DAFTAR ACUAN

Dharmowijono, Widjajanti dan I Nyoman Suparwa. 2009.  Psikolinguistik: Teori
Kemampuan Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Udayana University Press: Bali.
Flusberg, Helen T., Paul, Rhea., & Lord, Catherine. (2005). Language and
Communication in Autism.
Leonard L (1998) Children with specific language impairment. Philadelphia, PA: MIT Press.
Ruser, Tila F., et al . (2006). Communicative Competence in Parents of Children
with Autism and Parents of Children with Specific Language Impairment. Boston: Department of Psychiatry, Tufts-New England Medical Center.
Salmiah, Siti. (2010). Retardasi Mental. Medan : Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak,
            Fakultas Kedokteran Gigi, USU.



 Johannes Anggara M P
                         

Pada hari Jumat, 28 November 2014, saya bersama teman-teman saya berkunjung ke PNJ (Politeknik Negeri Jakarta), Jakarta. Kami berkunjung untuk mengobservasi bagaimana proses belajar mengajar yang terjadi di dalam institusi tersebut. Yang menarik dari institusi tersebut adalah murid-muridnya. Sekilas murid-murid tersebut sama seperti kita pada umumnya, namun sebenarnya mereka adalah murid-murid dengan kerterbutuhan khusus.
Suasana yang saya pribadi rasakan saat pertama datang ke tempat tersebut adalah perasaan mencekam. Entah apa yang saya takutkan, mungkin pengalaman saya dengan orang-orang ini masih sangat minim dan paradigma yang tercipta di otak saya tentang orang ini masih sangat negatif. Kami datang pada pukul 09.00 pagi. Bermula dari halaman parkir tempat itu, kami melihat salah satu murid-murid tersebut, Dia terlihat sangat aktif, namun tanpa arah. Berkepala plontos dan kurus, ia terlihat sangat antusias melihat kedatangan kami. Mungkin ini cara mereka menyambut kami. Tapi yang saya rasakan pada saat itu adalah kengerian, mungkin teman-teman saya juga merasakan hal yang sama. Kami sempat bertatap muka dan terlihat seperti merendahkan si murid tersebut. Pada saat itu merasa sedikit terintimidasi oleh kelakuan mereka yang unpredictable.
Pada saat kami akan memasuki gedung yang terlihat seperti penajara tersebut, hampir semua dari kita yang ada menghela nafas yang cukup panjang dan berat. Kami benar-benar tak memiliki sedikit gambaran apa yang ada di dalam gedung tersebut. Dengan langkah yang penuh keraguan, kami masuk dan menuju ruang guru yang berada di lantai satu untuk menanyakan dimana kita dapat menemui ibu wiwin dosen kami. Merekapun menjawab dengan ramah pertanyaan kami, seakan mereka tau mengapa kami semua bertanya untuk mencari wajah yang familiar di mata kami sendiri. Setelah mendapat informasi bahwa Ibu dosen kami berada lantai dasar, kamipun bergegas menuju tempat beliau. Kami sangat lega ketika kami melihat wajah yang familiar di tempat yang asing. Dan disanalah, kami melihat satu lorong yang penuh akan murid-murid special.
Sesampainya di sana, Bu Wiwin langsung memberikan tugas untuk mewancarai dan mengobservasi salah satu murid-murid yang ada di dalam kelas tersebut. Di dalam tugas ini, saya berpasangan dengan saudara Rifki. Lalu sesegeranya, kami masuk ke dalam salah satu kelas dan bertemu dengan Usman, 20 tahun. Dia adalah seorang tunarunggu, terlihat dari alat bantu yang terpasang di telinganya. Dia menjawab secara lancar semua pertanyaan kami tanpa masalah, hanya kami sedikit kesusahan mendengar apa yang ia bicarakan, karena suara yang dihasilkannya sangat kecil. Yang menarik di sini adalah saudara Rifki. Ia seolah menghadapi anak kecil. Rifki sering kali menghasilkan respon-respon yang diperuntukan untuk anak kecil, seperti,”oh hebat ya” atau “wah keren”. Seolah narasumber kami berada satu level di bawah kami. Namun, terlihat Usman tidak mempersoalkan tingkah laku Rifki. Mungkin karena hampir semua respon yang ia terima pada umumnya seperti itu juga.   
Setelah kami selesai mewawancarai Usman, kami beranjak ke lorong tersebut untuk mengamati lebih banyak lagi tingkah laku yang ada. Di sana, kami bertemu lebih banyak lagi murid-murid ditempat tersebut karena kami datang tepat pada saat jam istirahat.Lalu saya berkenalan dengan Casandra, 19 tahun. Ia langsung ingin berkenalan degan saya dengan menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Yang menarik adalah saat ia tak mau melepaskan genggaman tangannya dari tangan saya. Saya sedikit panik. Saya mencari alasan untuk pergi ke toilet untuk melepaskan tangannya. Pada saat diberi penjelasan oleh pengajar di sana, akhirnya saya tau bahwa Casandra memiliki ketertarikan  terhadap saya. Hal ini juga terjadi pada teman saya yang dikejar-kejar oleh salah satu murid yang ada di sana. Hal ini juga menunjukan bahwa perkembangan seksualitas mereka tak terganggu.
Lalu datanglah Fauzi, murid yang kita tunggu-tunggu, karena ia adalah seorang Autis. Tingkah lakunya sangat menarik untuk diperhatikan. Tubuhnya besar, sering tersenyum sendiri, dan bernyanyi sendiri. Namun yang membuat saya berkesan adalah sikap pengajar di sana terhadap Fauzi yang sangat sabar namun tetap memberi hukuman jika Fauzi bertingkah terlalu jauh. Hukuman ang biasanya mereka berika kepada murid-murid Autis adalah berupa pengambilan barang atau sesuatu yang mereka senangi. Dengan hal ini, mereka diharapkan dapat belajar tentang tingkah laku mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dialkukan. Sempat Fauzi membuat kami sedikit takut, karena ia tiba-tiba berlari dan membuka sedikit bajunya. Saya pribadi sangat kagum terhadap kesabaran yang dimiliki oleh pengajar-pengajar yang ada di sana karena mereka harus menghadapi hal-hal yang tak dapat diprediksi seperti itu  setiap hari.
Dengan berfoto bersama dengan murid-murid dan pengajar yang ada disana, kami mengakhiri kunjungan kami di PNJ. Kami belajar bahwa tujuan institusi tersebut bukanlah hanya untuk memberikan ilmu untuk murid-murid tersebut tetapi juga untuk memberikan skill untuk mereka gunakan di dalam pergaulan mereka sehari-hari di dalam masyarakat. Saya pribadi mendapat mendapat pelajaran tentang pentingnya kesabaran dan kasih sayang. Saya pribadi sering mengeluh tentang nakalnya anak murid saya yang tergolong “normal”. Setelah kunjungan ini, saya sadar bahwa apa yang saya hadapi tiap hari bukanlah apa-apa dibanding dengan pengajar yang ada dalam institusi tersebut. Saya juga mendapat pandangan baru tentang anak-anak berkebutuhan khusus, bahwa mereka sangat spesial. Mereka mungkin sedikit aneh dalam kacamata orang awam, namun pada dasarnya mereka juga dapat dan ingin berkembang layaknya anak-anak yang lain.
Pada saat kami berjalan menuju mobil kami, salah satu teman kami menyebut kata “Autis” sebagai bahan candaan. Sesegeranya saya dan satu lagi teman saya menghentikan candaan tersebut. Kami berdua telah sadar bahwa tidaklah elok dan adil bagi kita-kita menyebutkan kata “Autis” untuk mereka yang mengalami kondisi tersebut karena bisa jadi mereka lebih hebat daripada kita yang menyebut dirinya “normal”

 Zulhendri

Laporan Kunjungan Ke Politiknik Negeri Jakarta (PNJ)

Salah satu tugas yang diberikan dari mata kuliah linguistik edukasional adalah mengadakan kunjungan ke Politiknik Negeri Jakarta (PNJ) untuk mengamati belajar mahasiswa dengan kebutuhan khusus. Di sana, saya mendapati hal-hal tentang mahasiswa berkebutuhan khusus. Pertama, mereka menyambut kami dengan baik dan antusias. Pada saat kami sampai di lorong tempat ruang-ruang kelas mereka berada, mereka langsung mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan kami dan langsung memperkenalkan diri. Kedua, mereka mampu menjawab pertanyaan kami tentang dirinya, seperti nama, alamat, jurusan, dan cara mereka berangkat atau pulang kuliah. Ketiga,  mereka dapat bersosialisasi dengan teman-teman mereka. Pada saat kami sampai di sana, kami mendapati mereka sedang istirahat dari perkuliahan dan duduk duduk di suatu meja dengan berkelompoek. Terakhir, mereka memiliki keunikan masing-masing. Yang menarik perhatian saya adalah seorang mahasiswa yang menyebut namanya dengan nama artis mancanegara. Selain itu, ada juga yang bersikap jahil dan usil, bersikap misterius dengan pendiamnya, dan banyak lagi keunikan dari mereka. Saya merasa senang dengan kunjungan ini karena saya dapat mengetahui bagaimana mahasiswa berkebutuhan khusus di kampusnya dan keunikan mereka masing-masing.


LAPORAN HASIL OBSERVASI
GANGGUAN BERBAHASA PADA ANAK AUTIS

Nama  : Neneng Nurjanah

Pendahuluan
Observasi ini merupakan pengamatan terhadap mahasiswa Program Studi Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus, Politeknik Negeri Jakarta.  Program ini dibuka pada tahun  2013 dan diketuai Dewi Akbar SE. MM. Menurut Abdillah, Direktur PNJ, pada tahun 2013, program ini menerima mahasiswa berkebutuhan khusus, di antaranya 20 mahasiswa slow learner. Dia pun menambahkan, sejak tahun 2010-2011, PNJ sudah menyelenggakan program bagi mahasiswa berkebutuhan khusus pada program D-2. Jadi dapat dikatakan bahwa sejak 3 tahun lalu, PNJ membuka peluang bagi mahasiswa berkebutuhan khusus untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang tinggi. 
Mahasiswa berkebutuhan khusus yang terdaftar di program pemasaran memiliki beberapa kondisi di antaranya autis, slow learner, disleksia, tunarungu, dan sebagainya. Namun, observasi ini dikhususkan kepada mahasiswa dengan kondisi autis di lingkungan PNJ tergolong banyak.  Berdasarkan wawancara dengan Nino, Dosen bahasa Indonesia. Dari satu kelas yang berjumlah 10 orang, 60% diantaraya mahasiswa autis.
Tujuan observasi ini untuk mengetahui tingkah laku, pola komunikasi, dan metode belajar mahasiswa autis secara umum. Untuk mengetahui prilaku mahasiswa autis, dilakukan pengamatan prilaku ketika mereka beristirahat. Sementara itu, untuk mengetahui pola komunikasi anak autis, dilakukan wawancara sederhana yang dilakukan di koridor kelas.  Selain itu, untuk mengetahui metode pembelajaran bahasa, peneliti melakukan wawancara dengan dosen bahasa Indonesia.
Pengamatan yang dilakukan sebanyak  tiga kali, yaitu pada tanggal 3 dan 23 November 2014, dan 11 Desember 2014 pada pukul 10.00 s.d 12.00.  Sementara itu, wawancara dengan dosen bahasa Indonesia, dilakukan pada tanggal 23 November 2014  dan 11 Desember 2014 yang dilakukan di ruang kelas dan di kantin PNJ.  Beberapa subjek yang diamati di antaranya Tanya, Arya dan Osa, mahasiswa angkatan 2013 Program Studi Manajemen Pemasaran. Adapun dosen yang diwawancarai adalah Nino, pengajar bahasa Indonesia yang sudah setahun mengajar di jurusan tersebut.
Pola Komunikasi
Menurut National Institute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) autis atau autism spectrum disorder (ASD) merupakan gangguan perkembangan saraf yang kompleks. Beberapa ahli menaksir bahwa satu diantara 88 anak, mengidap autis dan laki-laki berpotensi 4 kali lebih besar mengidap autis dibanding perempuan. 
Berdasarkan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) Anak-anak atau orang dewasa dengan autis memiliki  beberapa ciri khas. Salah satu di antaranya adalah memiliki kesulitan dalam komunikasi verbal dan nonverbal. Kesulitan komunikasi ini bisa dirinci menjadi kesulitan untuk membangun komunikasi sosial, seperti berkumpul, berbagi informasi; kesulitan untuk mengikuti konteks tuturan; kesulitan untuk mengikuti aturan berkomunikasi atau bercerita; kesulitan untuk memahami tuturan yang tersirat, humor serta kalimat  atau kata bermakna ganda.  Ciri khas lain dari anak atau orang dewasa dengan autis adalah sulitnya menjalin dalam membangun emosi saat melakukan komunikasi dengan orang lain, seperti menimbulkan keharuan dalam percakapan;  menjalin kontak mata; memanfaatkan gestur dan ekspresi wajah.
Beberapa ciri tersebut muncul dalam observasi terhadap subjek yang diobservasi. Salah satunya adalah Tanya. Mahasiswa  Jurusan Pemasaran ini menurut keterangan Ibunya mengidap autis dengan tipe ADHD (attention deficit hyperactivity disorder). Orang dengan ADHD menurut Dr. dr. Dwidjo Saputro Sp.KJ memiliki beberapa ciri, di antaranya sulitnya memberikan perhatian, melakukan aktivitas berlebihan, dan berprilaku impulsif.   Ketiga hal itu ada pada Tanya.
Saat pertama kali diajak untuk berkomunikasi, Tanya terlihat ragu, menundukan kepala sambil memegang kotak makanan berisi buah mangga, dan tidak mau melakukan kontak mata dengan peneliti. Dia pun menggerakan kepalanya dari atas ke bawah sambil memasukan potongan mangga ke dalam mulutnya. Peneliti akhirnya mengajukan beberapa pertanyaan sederhana seperti nama, aktivitas perkuliahan, dan hobi. Beberapa pertanyaan dijawab dengan baik meskipun terdengar ragu-ragu. Setelah wawancara berjalan sekira 4 menit, Tanya mengemasi tasnya dan langsung menemui temannya. Hal ini menunjukan bahwa Tanya memiliki kesulitan  menjalin komunikasi sosial dengan orang lain, terutama dengan orang yang baru dikenal serta memiliki rentang waktu yang pendek dalam berkomunikasi. Selain itu, sebagai orang dengan ADHD, Tanya terlihat tidak bisa diam. Berdasarkan pengamatan peneliti, Tanya hanya mampu melakukan komunikasi dalam waktu kurang dari 4 menit dan dia  tergerak untuk melakukan aktivitas lainnya.
Kesulitan komunikasi yang sama dialami oleh Arya, mahasiswa Jurusan Pemasaran angkatan 2013. Arya terlihat spesial karena dia memiliki kemampuan yang baik dalam bernyanyi. Dia adalah vokalis  band Star, yaitu band yang beranggotakan 4 mahasiswa autis. Arya juga seorang aktor dalam film I’m Star. Film ini bercerita tentang pendidikan inklusi pada remaja autis di Indonesia. Sebagai mahasiswa dengan autis, Arya memiliki kemampuan yang cukup baik dalam berkomunikasi. Dia mampu mengawali pembicaraan dengan peneliti, dengan beberapa kalimat yang runut, “Kali ini kita kedatangan teman-teman dari UI. Ini dengan Mbak siapa?” kemudian dia menyapa satu per satu beberapa peneliti yang melakukan observasi. Namun, sebagai mahasiswa dengan kondisi autis, Arya pun memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Rentang komunikasinya pendek, dengan kata lain dia tidak betah berlama-lama untuk berbicara kepada peneliti. Kurang lebih setelah 4 menit berbicara, Arya berlalu sambil bergumam sendiri.  Salah satu yang cukup penting, Arya agak sulit membedakan penyebutan waktu. Menurut keterangan  Nino, dosen bahasa Indonesia, Arya beberapa kali melakukan kesalahan dalam menyebutkan kalimat sapaan. Dalam sebuah pertemuan, Arya menyapa hadirin dengan, “Selamat pagi !” yang semestinya dia mengatakan “Selamat siang !” karena saat itu acara dimulai pukul 2 siang.
Berdasarkan DSM-5, anak dengan autis memiliki kesulitan untuk menceritakan sesuatu. Namun hal tersebut tidak terjadi pada Osa, mahasiswa Program Studi Pemasaran angkatan 2013.  Pada hari pertama observasi, Osa diminta bercerita mengenai musibah pencopetan yang dialaminya di Manggarai. Dengan runut Osa bercerita tentang kejadian itu, dimulai dengan perjalanannya menuju Stasiun Manggarai, lalu dilanjutkan dengan kejadian penjambretan tas, dan tindakan pengejaran serta tindakannya yang mencoba menghubungi perusahaan taksi yang membawa tasnya pergi, hingga akhirnya dia menjeput  tasnya di kantor polisi yang terletak di dekat Stasiun Juanda. Kemampuan bercerita yang baik dan runut menjadi kemampuan yang jarang ditemui pada anak autis. menurut keterangan Bu Nino, Osa termasuk mahasiswa yang cerdas karena kualitas komunikasinya lebih baik dibanding teman-temannya, dia mampu menduplikasi dokumen, seperti surat dengan baik dan rapi dan memperhatikan dengan jeli tata letak, bentuk garis, dan ukuran huruf. Namun, salah satu ciri khas yang memperlihatkan dia sebagai mahasiswa autis adalah ketidakmampuannya dalam menggunakan gestur. Saat bercerita, matanya bergerak dari atas ke bawah. Dia  pun tidak memperlihatkan rasa takut, gembira, senang, atau sedih ketika bercerita.
Berdasarkan observasi terhadap tiga mahasiswa dengan autis, beberapa hal bisa disimpulkan.
a.       Setiap mahasiswa autis memiliki ciri khas yang menjadi kelebihan dan kekurangan, sehingga kita tidak bisa membuat generalisasi terhadap mahasiswa dengan autis;
b.      Berdasarkan DSM-5 kita bisa melihat kekhasan orang dengan autis sehingga kita bisa melakukan diagnosa awal terhadap mahasiswa dengan autis. Jika melihat ketiga mahasiswa autis di atas, terdapat beberapa kesamaan, seperti sulitnya melakukan komunikasi dengan rentang waktu yang panjang dan sulitnya memanfaatkan emosi serta gestur.

Pengajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah mata kuliah yang wajib dipelajari oleh mahasiswa Program Studi Pemasaran. Berdasarkan arahan Ketua  Prodi, Bu Dewi Akbar materi yang diajarkan oleh dosen bahasa Indonesia adalah materi mengenai tata bahasa terutama mengenai ejaan yang disempurnakan. Sebelum pengajaran bahasa dimulai, dosen diberikan pengantar berupa aturan-aturan selama di kelas, misalnya tidak boleh keluar kelas selama belajar. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi mahasiswa yang keluar masuk selama perkuliahan. Mulanya mahasiswa autis tidak mampu mencerna maksud pengajar. Untuk menanggulanginya, dosen memberikan intruksi agar mahasiswa autis mengulangi peraturan secara lisan dan  peraturan tersebut dituliskan di papan tulis sebagai pengingat.
Salah satu kesulitan dalam mengajarkan materi bahasa Indonesia adalah meraih perhatian mahasiswa autis. salah satu tindakan yang dilakukan oleh Nino adalah dengan mendatangi mahasiswa tersebut satu demi satu, menepuk tanganya pelan dan penatap matanya, sambil bertanya, “Kamu ke sini mau apa?”  Mahasiswa itu menjawab “Belajar dengan Bu Nino” Nino pun menegaskan “ Oke, kita belajar! Kalau belajar tidak boleh keluar kelas tanpa izin ya! Coba ulangi!” “ Kalau belajar tidak boleh keluar kelas tanpa izin” Akhirnya dosen tersebut mendapat perhatian dari mahasiswa  dan memulai perkuliahan. 
Pengajaran terhadap mahasiswa autis mesti  dilakukan berkali-kali. Materi yang diajarkan tidak cukup sekali diberikan kepada mahasiswa dengan autis. Dalam pengajaran di kelas, Nino dibantu oleh mahasiswa slow learner untuk membantunya dalam mengulang materi kepada  mahasiswa autis. Dengan pengajaran yang berulang, mahasiswa autis mampu mengingatnya dengan baik.
Ketika mahasiswa autis kehilangan konsentrasi dan mulai tidak betah di kelas. Dosen akan menghampiri mahasiswa tersebut, menjalin kontak mata sambil menepuk tanganya dan berkata, “kamu di sini mau apa?” mahasiswa pun menjawab, “Belajar dengan Bu Nino.” “ Ya sudah kita belajar lagi ya”. Setelah itu perkuliahan pun diteruskan. 
Salah satu materi yang sulit dipahami oleh mahasiswa autis adalah  tanda baca, seperti penematan titik, koma, tanda tanya dan tanda seru. Selain itu, mereka kesulitan untuk menempat huruf kapital di awal kalimat. Seperti yang dialami oleh Osa. Osa mengalami kesulitan untuk menempatkan huruf kapital yang harusnya diterakan di awal kalimat, untuk nama hari, tempat, orang, judul buku dan sebagainya. Untuk mengatasinya, dosen biasanya akan mengulang  pelajaran tersebut sampai mahasiswa autis memahaminya.
Mahasiswa autis juga memiliki kesulitan dalam menulis karangan dengan tema tertentu. Satu kali Nino menugaskan mahasiswa untuk menulis kegiatannya di akhir pekan. Hasil karangan dari mahasiswa autis memperlihatkan kesulitan mereka dalam mengarang termasuk karangan Tanya. Dalam karangannya, Tanya hanya menuliskan kalimat berikut:
Bercerita
kegiatan ku sehari-hari
nama ku : Tanya
usiaku : Aku Berulang Tahun Pada
Aku 2 bersaudara, aku memiliki.....
kegiatanku sehari-hari.

Karangan Tanya memperlihatkan bahwa dia tidak memahami tema yang diberikan oleh dosen dan  tidak mampu menguraikan tema dalam bentuk karangan. Beberapa karangan mahasiswa lain juga tidak memperlihatkan pemahaman mereka mengenai menuliskan cerita berdasarkan tema tertentu.
Simpulan
Berdasarkan observasi ini dapat diambil beberapa simpulan. Pertama bahwa kondisi  mahasiswa dengan autis berbeda-beda. Setiap mahasiswa dengan autis memiliki kondisi yang khas, sehingga agak sulit untuk melakukan generalisasi terhadap semua mahasiswa dengan autis di PNJ. Namun, salah satu karakteristik yang bisa diambil dari mahasiswa dengan autis di PNJ adalah kesulitan untuk memberikan perhatian, kesulitan berkomunikasi, rentang waktu perhatian yang pendek, kesulitan memahami materi pelajaran bahasa dengan cepat.
Dengan observasi seperti ini membuka  berbagai kemungkinan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut  kesulitan berbagasa pada mahasiswa autis, misalnya leksikal akses pada mahasiswa dengan autis, pemahaman terhadap  wacana, kemampuan bercerita, dan metode pembelajaran untuk mahasiswa dengan autis.  dengan penelitian semacam ini tentu akan membantu pihak kampus dan orang tua untuk mempelajari lebih jauh kondisi anaknya dan memberikan solusi yang baik untuk pembelajaran selanjutnya.


Rujukan


Novietri    1306353934

LAPORAN OBSERVASI
“MAHASISWA AUTISME DI POLIKTEKNIK NEGERI JAKARTA”
                        

1.      Pendahuluan

Psikolinguistik merupakan ilmu yang membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memproses dan mengkomunikasikan bahasa. Keberlangsungan dalam proses berbahasa tersebut adalah tugasnya otak manusia. Hal yang penting dipahami adalah bagaimana otak bekerja untuk memproses pengolahan bahasa agar berwujud satuan-satuan yang bermakna dan bagaimana proses pengolahan satuan ujaran yang dikirim oleh pembicara sehingga dapat dimengerti oleh pendengar.
Tuhan sudah mengatur sedemikian hebatnya manusia dapat mempelajari bahasa. Secara bertahap, manusia belajar memahami lalu menguasai bahasa agar dapat saling berkomunikasi. Bahkan, manusia sudah memperoleh bahasa sejak dalam kandungan. Kent dan Miolo mengatakan bahwa anak telah terekspos pada bahasa manusia ketika dia masih janin melalui saluran intrauterine (Dardjowidjojo, 2003:268). Kata-kata dari ibunya tertanam pada janin anak. Setelah anak lahir, bahasa ibu menjadi bahasa yang pertama kali dipelajari. Hal ini menjadikan orang tua menjadi faktor penentu awal pemerolehan bahasa seorang anak. Selanjutnya, anak akan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Semakin sering anak diajak berkomunikasi, semakin cepat pula perkembangan bahasanya. Namun, jika dalam prosesnya bahasa anak tidak berkembang sesuai dengan tingkat usiaya, anak tersebut dapat dikategorikan mengalami gangguan bahasa. Orang tua perlu memperhatikan apakah gangguan yang dialami hanya karena faktor kurangnya pendidikan untuk anak, kondisi fisik, mental, atau keterlambatan jaringan otaknya. Saat ini telah banyak diketahui berbagai gangguan bahasa yang dapat terjadi pada anak-anak, seperti tunarungu, tunawicara, disleksia, disgrafia, afasia, autisme, down syndrome dan slow learner. Anak-anak yang mengalami gangguan seperti ini perlu ditangani secara khusus agar dapat bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana cara anak-anak tersebut dapat melakukannya? Bagaimana cara pengajar membantu mereka berkomunikasi?
Berikut ini adalah observasi penulis pada anak-anak yang mengalami gangguan bahasa. Observasi dilakukan di Politeknik Negeri Jakarta yang membuka kelas D3 Manajemen Pemasaran untuk anak inklusi (warga negara berkebutuhan khusus). Penulis mengamati ada beberapa anak inklusi yang menempuh pendidikan di tempat tersebut, di antaranya tunarungu, disleksia, autisme dan slow learner. Namun, faktor keterbatasan waktu dan tempat membuat observasi ini hanya difokuskan pada anak penyandang autisme.

2.      Tujuan dan Manfaat
Tujuan observasi ini adalah untuk mengetahui bagaimana anak-anak penyandang autisme belajar bahasa dan mengkomunikasikan bahasa. Selain itu, observasi ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai strategi yang digunakan anak autisme dalam menyampaikan maksud atau berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk orang tua, pendidik, atau mahasiswa linguistik untuk menangani dan memahami anak-anak penyandang autisme.

3.      Lokasi dan Waktu Kunjungan
Lokasi kunjungan observasi dilakukan di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang terdapat di areal kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Lingkup observasi adalah mahasiswa program D3 Manajemen Pemasaran untuk warga negara berkebutuhan khusus (inklusi). Pada awalnya jadwal kunjungan yang diberikan adalah tanggal 3-14 November 2014 untuk melihat perkuliahan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Namun, saat penulis berkunjung tanggal 4 November 2014, terdapat perubahan jadwal dan rencana observasi dari pihak bersangkutan karena beberapa hal. Meskipun begitu, penulis sempat sempat mengamati dan dikenalkan kepada beberapa mahasiswa penyandang autisme di sana. Selanjutnya, observasi dilakukan sebulan kemudian.


Berikut ini waktu kunjungan yang telah dilakukan:
No.
Waktu
Keterangan
1.


2.


3.

4.
4 November 2014


3 Desember 2014


12 Desember 2014

16 Desember 2014
Pengamatan awal, berkenalan dengan beberapa mahasiswa autisme, mengamati situasi kondisi lingkungan.
Pengamatan lanjutan, berdiskusi dengan beberapa mahasiswa autisme dan staf pengajar, melihat kondisi kelas dan kegiatan belajar mengajar.
Pengamatan lanjutan, berdiskusi dengan staf pengajar bahasa Indonesia.
Pengamatan akhir, melihat karangan mahasiswa autisme, melihat contoh materi dan soal untuk mahasiswa autisme.

4.      Autisme
Istilah autisme sudah dikenal sejak 60 tahun lalu. Di Indonesia, gangguan ini mulai banyak dibicarakan sekitar tahun 2008 (Indah, 2011:88). Banyaknya kasus anak yang mengalami autisme di Indonesia menjadi perhatian para ahli dan pendidik untuk menemukan penanganan dan penyembuhan yang tepat.
Secara umum, penyandang autisme memiliki masalah neurologis yang memengaruhi pikiran, persepsi, dan perhatiannya yang kemudian memengaruhi perilaku. Simtom yang ada akan menghambat dan mengganggu signal pancaindra, sampai membatasi perkembangan anak dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan berimajinasi. Kemampuan anak terhadap lingkungan dan sosioempirik pun melemah atau bahkan nyaris tidak ada sama sekali (Indah, 2011:89).
Gangguan komunikasi yang dapat terjadi pada penyandang autisme menurut Mangunsong (2008:172) adalah anak tidak memiliki perhatian untuk berkomunikasi atau tidak ingin berkomunikasi untuk tujuan sosial, sering tidak memahami ucapan yang ditujukan, sering menggunakan kata-kata aneh  atau  kiasan, mengulangi pertanyaan walaupun sudah mengetahui jawabannya atau memperpanjang pembicaraan mengenai topik yang ia sukai tanpa peduli dengan lawan bicaranya.
Serupa dengan Mangunsong, secara linguistik, Indah (2011:91) menjelaskan  perkembangan kemampuan anak autis sebagai berikut:
a.       Kemampuan fonologis: artikulasinya cukup jelas meskipun sering muncul beragam kesalahan dalam penyebutan obyek. Intonasinya cenderung datar dan salah dalam membuat penekanan ucapan. 
b.      Kemampuan morfologis: sering memunculkan kesalahan, misalnya substitusi (menyebut dengan kata lain), elipsis (menghilangkan kata tertentu), asimilasi dengan kata lain, menambah dengan suku kata yang salah.
c.       Kemampuan sintaksis: sangat lamban karena sering muncul kalimat peniruan atau ekolalia, yaitu mengulang-ulang kalimat yang tidak relevan dengan konteks.
d.      Kemampuan semantik: lamban, sulit membedakan makna kalimat.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat begitu banyaknya perbedaan antara anak autisme dan anak normal. Namun, masing-masing penyandang autisme memiliki perbedaan kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Kita tidak dapat mengatakan perilaku dan gangguan berkomunikasi setiap penyandang autisme sama persis. Masing-masing penyandang autisme perlu dilihat dan dipahami secara individual.

5.      Kondisi Kelas                
Penulis mengamati tidak banyak kelas yang disediakan untuk mahasiswa berkebutuhan khusus. Satu kelas dapat diisi sekitar 5-15 mahasiswa. Awalnya penulis berpikir bahwa satu kelas untuk satu penyandang inklusi. Ternyata satu kelas dapat ditempati lebih dari itu, seperti kelas anak autisme digabung dengan down syndrome atau anak tunarungu digabung dengan slow learner. Padahal, mereka memiliki gangguan bahasa yang berbeda. Untuk beberapa materi ajar mungkin mereka dapat digabung, tetapi beberapa lainnya tidak bisa digabung. Gangguan bahasa yang berbeda memerlukan penanganan yang berbeda pula. Ini dikhawatirkan pembelajaran menjadi tidak maksimal.
Penulis pernah bertanya kepada beberapa siswa tingkat XII menengah atas yang berkebutuhan khusus yaitu siswa tunarungu mengenai keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Ada yang tertarik untuk berkuliah di PNJ, ada yang tidak. Alasan ketidaktertarikan siswa tersebut dikarenakan disamakannya anak yang mengalami beberapa gangguan bahasa dalam satu kelas. Mungkin karena sosialisasi atau keterhambatan dalam menyerap materi yang menjadi alasan anak tersebut. 
Penulis memerhatikan hal ini disebabkan kekurangan kelas dan staf pengajar. Selain itu, program anak berkebutuhan khusus ini adalah jurusan yang baru beberapa tahun dibuka dan masih dalam tahap pengembangan. Oleh karena itu, wajarlah jika dalam prosesnya pembelajaran belum terlalu maksimal. Namun, hal tersebut patut diapresiasi mengingat tidak banyak perguruan tinggi yang berani membuka program pendidikan ini.
Berdasarkan perbincangan dengan staf pengajar di sana, kondisi kelas seperti ini memerlukan strategi penanganan yang tepat. Jika dalam satu kelas terdapat beberapa jenis penyandang gangguan bahasa, maka pengajar mencari strategi dengan memanfaatkan masing-masing mahasiswa untuk saling membantu. Sebagai contoh, kelas tersebut terdapat mahasiswa autisme dan slow learner. Mahasiswa autisme memiliki gangguan berkomunikasi, bersosialisasi, hiperaktif. Mahasiswa slow learner memiliki keterlambatan memahami pelajaran dan kelemahan intelektual. Pengajar membaginya menjadi dua kelompok. Kelompok autisme perlu diajarkan berulang-ulang mengenai materi. Mereka sulit memahami, tetapi jika sudah paham, mereka akan mudah mengingatnya. Beberapa penyandang autisme memiliki daya ingat yang tinggi. Kelompok slow learner memiliki daya berpikir yang lambat dan mudah lupa. Oleh karena itu, setelah diberikan materi ke semua mahasiwa, pengajar meminta kelompok slow learner untuk mengajarkan teman-teman kelompok autisme secara berulang-ulang. Masing-masing kelompok berusaha untuk mengingat dan memahami materi secara berulang-ulang sehingga mereka mendapat manfaatnya.
 Kondisi kelas penyandang autisme berbeda dengan anak normal. Anak normal dapat diarahkan untuk memahami aturan. Anak autisme sangat berbeda. Berdasarkan pengamatan penulis kepada mahasiswa autisme di PNJ, ada saja satu atau dua mahasiswa yang keluar kelas, berjalan-jalan, atau mengganggu teman lainnya. Seperti diketahui, penyandang autisme sulit memfokuskan kepada pelajaran. Mangunsong (2008:176) menjelaskan bahwa anak autisme sulit mengontrol diri dan sulit memusatkan perhatian sehingga terus-menerus terdistraksi. Oleh karena itu, pengajar harus selalu mengingatkan dan membimbing perilaku mereka. Bahkan, salah satu pengajar di PNJ mengungkapkan bahwa dia harus mengingatkan para mahasiswanya secara berulang-ulang dengan menulis di papan tulis kalimat bahwa mereka tidak boleh ke luar kelas tanpa izin. Mahasiswa diminta untuk membacanya secara berulang agar ingat. 

6.      Penggunaan Bahasa
Penulis mengamati komunikasi beberapa mahasiswa autisme. Ketika pertemuan pertama berada di sana, penulis didampingi oleh salah satu pengajar. Beberapa mahasiswa autisme dipanggil lalu dikenalkan kepada penulis. Tidak disangka, hampir setiap mahasiswa yang dikenalkan tampak antusias untuk bertemu, berkenalan, dan berbincang-bincang. Ada mahasiswa yang setelah berkenalan langsung pergi dengan menatap heran. Namun, ada yang senang berbicara. Beberapa di antaranya menjelaskan pengalaman unik yang pernah terjadi. Penulis mengamati tidak banyak yang melakukan ekolalia. Mereka lancar bercerita, bahkan ada yang berbicara dengan bahasa yang formal dan koheren. Hanya pada kunjungan ketiga, penulis bertemu dengan satu mahasiswa yang berulang kali melewati penulis dan bertanya nama penulis. Penulis berusaha sabar dan tersenyum menjawabnya.
Berdasarkan informasi, mahasiswa yang diterima di kampus ini adalah salah satunya melalui tes stimulus gambar. Calon mahasiswa diminta untuk melihat satu gambar, kemudian ia menceritakan isi gambar tersebut. Jika ia mampu menceritakan isi gambar, berarti dia mampu berkomunikasi. Terlepas apakah isi komunikasinya koheren atau tidak. Jadi, tidak heran jika mahasiswa yang penulis amati justru banyak yang lancar berkomunikasi.
Salah satu mahasiswa yang menarik diamati penulis pada kunjugan pertama adalah dia dapat bercerita dengan lancar, formal, dan mampu mengingat semua kejadian dengan sangat detail. Dia menceritakan bahwa ketika itu dia mengalami penjambretan tas yang dia bawa. Penjambret tersebut lari membawa tasnya dengan menaiki taksi. Hal yang dilakukan mahasiswa tersebut adalah mengingat jenis dan nomor taksi, mencari tahu nomor perusahaan taksi tersebut, lalu melaporkan penjambretan yang ia alami. Hasilnya, dia mendapatkan kembali tas yang dijambret tadi. Hal ini menggambarkan kemampuan penyandang autisme dalam kemampuan daya ingat dan tindakan yang terstruktur dibandingan dengan anak normal. 
Dalam hal menulis, pengajar berusaha mengingatkan mereka untuk menulis dengan huruf besar dan rapi. Pengajar menegur mahasiswa yang menulis dengan huruf-huruf kecil. Menurut grafologi, ilmu membaca rahasia sifat seseorang dari tulisan tangan, tulisan yang berukuran kecil menunjukkan sifat pendiam, sering menyendiri, tetapi punya otak yang cemerlang dan pikirannya selalu ilmiah (www.mediametafisika.com). Penyandang autisme cenderung sulit berinteraksi dengan sekitarnya. Mereka perlu dibimbing untuk mau bergaul, tidak pemalu dan tidak menyendiri. Oleh karena itu, pengajar menyarankan agar mahasiswa autisme menulis dengan tulisan huruf berukuran besar.
Materi bahasa Indonesia yang diberikan kepada mahasiswa autisme adalah tata bahasa Indonesia yang sederhana, seperti imbuhan, ejaan, penulisan huruf kapital, penulisan preposisi di dan tanda baca. Selain itu, terdapat materi membaca paragraf, memahami isi paragraf, menulis kalimat, pengalaman, kegiatan sehari-hari, dan menulis surat.
Penulis berhasil mendapatkan beberapa tulisan tangan yang dibuat oleh mahasiswa-mahasiswa autisme. Jika melihat hasil tulisan mereka, tidak semua dapat menulis dengan baik. Umumnya tulisan yang dihasilkan seperti tulisan kanak-kanak yang baru belajar menulis. Ada tulisan yang tidak mudah dibaca. Saat itu mahasiswa diminta untuk menuliskan pengalamannya. Dari beberapa tulisan, ada tiga tulisan mahasiswa yang penulis amati yaitu hasil karangan Heryandi Haikal, Alvino, dan Muhamad Padi.
Pada tulisan Heryandi Haikal, judul yang dibuatnya adalah Jalan-Jalan di Bekasi. Haikal menceritakan lokasi perjalanan yang ia tempuh dan orang-orang yang menyertainya. Bentuk tulisan terlalu rapat, tetapi masih mudah dibaca. Dia memahami penggunaan tanda baca dan simbol “&” sebagai penggati kata “dan”. Hal yang menarik dari isi tulisan karangan Haikal adalah dia menyebutkan detail jenis mobil yang dinaikinya. Berikut contoh kalimatnya:
Haikal & keluarganya, pergi dari Bogor ke Bekasi, naik mobil Toyota Kijang Innova, type 6, berwarna hitam, no.poli F 1359DT, plat mobil dari Bogor, membawa tas ransel, Haikal perjalanan menuju jalan tol Jagorawi, Pasar Rebo, & Bekasi Barat, menuju Talento Center & Komple Perumahan Bukit Unggul.

Kalimat tersebut cukup panjang, tetapi Haikal menulisnya menjadi satu kalimat. Penggunaan huruf kapital tampak pada menuliskan nama kota. Dia banyak menggunakan tanda koma. Pengungkapan antarklausa kurang berhubungan. Haikal terfokus pada menceritakan jenis mobil dan lokasi perjalanan yang ia tempuh. Pada satu kalimat selanjutnya, Haikal menyebutkan nama-nama orang yang menyertai perjalanannya di Bekasi dan kembali menuliskan tipe mobil yang dia naiki.
            Pada tulisan Alvino, tidak terdapat judul. Dia menuliskan pengalaman tahun baru ke Malaysia bersama seseorang yang disebutnya Kak Asti. Pada tulisan ini tampak Alvino mampu menggunakan pronomina saya, tetapi tidak menggunakan pronomina kami. Ketika referensi yang ditujukanya adalah saya dan Kak Asti, kalimat selanjutnya sebaiknya dapat diganti dengan penggunaan pronomina kami. Alvino hanya menuliskan kembali dengan frasa saya dan kak Asti. Berikut contoh kalimatnya:  
Tahun baru itu saya pergi ke Malaysia bersama Kak Asti. Di sini, saya dan Kak Asti membeli tiket pesawat dan naik pesawat Malaysia Airlines itu terbang dalam beberapa jam. Setelah saya dan Kak Asti mendarat di Malaysia, rencanaku pergi ke manara Petronas sama Kak Asti untuk menginap selama 2 malam.

Alvino dapat menggunakan tanda baca titik sebagai akhir kalimat. Selain itu, dia juga mampu menggunakan huruf kapital pada nama tempat dan nama orang. Namun, dia kurang mampu menggunakan pronomina kami dan tidak konsisten pada penggunaan pronomina saya dan aku dalam satu kalimat. Kesulitan membedakan penggunaan pronomina ini sesuai dengan Tager-Flusberg (2005:345) yang menyatakan bahwa anak autisme sulit membedakan dan cenderung mengabaikan pronomina.
Pada tulisan Muhamad Padi, penulis mengalami kesulitan membacanya. Hasil karangannya tampak seperti anak-anak yang baru belajar menulis. Tidak ada penggunaan tanda baca. Kalimat disusun bukan berbentuk paragraf, tetapi berbentuk larik seperti puisi. Isi karangan yang ditulisnya mengenai jalan-jalan ke puncak. Dia menulis kata mama dan papa dengan menambah huruf h menjadi mamah dan papah. Penulis melampirkan contoh-contohnya pada lampiran di akhir tulisan observasi ini.
Persamaan ketiga tulisan mahasiswa autisme tersebut adalah mereka kurang mampu bercerita dengan kalimat yang lengkap dan tidak koheren. Penulis tidak melihat adanya poin penting yang ingin disampaikan berdasarkan karangannya. Walaupun isinya masih cukup sesuai dengan judul karangan yang diberikan, isinya tidak menunjukkan informasi yang berarti mengenai pengalamannya. Hal ini menunjukkan mereka kurang memahami menulis sebuah cerita pengalaman. Ini berbeda ketika penulis mengamati satu mahasiswa autisme lain yang dapat berbicara dan bercerita dengan lancar. Hal ini membuktikan pula bahwa masing-masing penyandang autisme memiliki kesulitan atau kekurangan yang berbeda-beda dalam berbahasa.
            Pada ujian akhir pelajaran bahasa Indonesia, guru memberikan empat tipe soal dengan memberikan kemudahan mahasiswa. Tipe pertama berupa penggunaan huruf kapital. Pengajar memberikan contoh tulisan huruf dari a-z huruf kecil dan huruf besar. Menurut pengajar, masih banyak mahasiswa yang belum mampu membedakan dan menuliskannya. Selain contoh tulisan huruf, pengajar memberikan informasi berupa penggunaan huruf kapital beserta contoh kalimatnya. Kemudian baru pengajar memberikan 5 soal kalimat yang harus mahasiswa tuliskan kembali dengan menggunakan huruf kaliptal yang benar. Hal ini berguna bagi mahasiswa autisme yang tidak mengingat penggunaan huruf kapital.
            Soal tipe kedua adalah pengembangan pengetahuan/kata. Soal berupa pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda. Ada 5 pertanyaan yaitu memberikan saran, pendapat, tanggapan, ekspresi percakapan, dan imbuhan ber-. Soal tipe ketiga adalah 5 soal pengalaman sehari-hari dengan jawaban pilihan ganda. Materi pertanyaan berupa sinonim, antonim, dialog, kalimat, dan huruf kapital. Soal tipe keempat adalah penulisan kata depan di. Sebelumnya pengajar memberikan penjelasan mengenai maksud dan contoh penulisan di tersebut barulah kemudian pengajar memberikan 5 soal latihan dengan menuliskan B (Benar) dan S (Salah) pada contoh kalimat yang diberikan. Semua soal ini pengajar berikan dalam satu waktu pertemuan sekitar 1,5 jam. Menurut pengajar, walaupun soal sudah diberikan kemudahan, mahasiswa autisme tetap sulit menjawabnya dengan benar.

7.      Kesimpulan dan Saran
Kunjungan observasi mahasiswa autisme yang singkat di Politeknik Negeri Jakarta ini dapat memberikan gambaran kepada penulis mengenai penyandang autisme. Penulis mengetahui bagaimana penggunaan bahasa dan cara berkomunikasi yang baik dengan penyandang autisme. Penulis menyimpulkan bahwa masing-masing autisme memiliki karakteristik yang berbeda. Kita tidak dapat begitu saja menganggap perilaku bahasa penyandang autisme yang satu sama dengan penyandang autisme lainnya. Namun, dapat dipastikan bahwa mereka memiliki perbedaan kelemahan dan kelebihan berbahasa dibandingkan dengan anak normal umumnya.
Penulis menyadari bahwa hasil observasi ini hanya sebagian kecil contoh penyandang autisme sehingga tulisan ini masih banyak kekurangan. Saran yang dapat penulis berikan pada observasi selanjutnya adalah penulis lain dapat mengontrol kriteria latar belakang penyandang autisme yang akan diobservasi. Selain itu, disarankan juga untuk melakukan kunjungan lebih banyak dan mengamati berbagai materi pelajaran.


Daftar Acuan

Dardjowidjojo, Soenjono. (2003). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Indah, Rohmai Nur. (2011). Gangguan Berbahasa: Kajian Pengantar. Malang: UIN-Maliki Press.
Mangunsong, Frieda. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: LPSP3 UI.

Media Metafisika. 24 November 2013. “Grafologi: Membaca Rahasia Sifat Seseorang dari Tulisan Tangan” dalam www.mediametafisika.com.
Tager-Flusberg, Helen, Rhea Paul, dan Catherine Lord. 2005. “Language and Communication in Autism” dalam Handbook of Autism, hlm. 335- 364.

Lampiran
20141231_042746.jpg
20141231_042800.jpg
20141231_042812.jpg
 

 Roswita Sianipar  (0606053)
Laporan Hasil Kunjungan Ke Program Mahasiswa Berkebutuhan Khusus di PNJ

Tepat pada Jumat, jam 7 pagi, kami Mahasiswa Pasca Sarjana Linguistik mengunjungi kampus DIII manajemen pemasaran PNJ untuk mahasiswa berkebutuhan khusus. Setibanya di sana, kami disapa langsung dan diajak berkenalan oleh beberapa mahasiswa berkebutuhan khusus. Sekilas secara fisik mereka tampak seperti mahasiswa biasa lainnya, saya tidak menduga mereka mahasiswa berkebutuhan khusus. Akan tetapi setelah ngobrol dan saling berkenalan, terlihat perbedaan dari bahasa yang mereka gunakan. Mahasiswa berkebutuhan khusus ini ada berbagai tipe. Ada yang autis, soto syndrom, keterbelakangan mental, slow learner, disleksia, dan lain-lain. Sebagai orang awam, sulit bagi saya membedakan mereka pada perkenalan pertama.
Saya sempat masuk ke dalam ruangan kelas untuk menyaksikan langsung cara belajar mereka. Kebetulan mereka sedang belajar mata kuliah menghitung keuntungan dan pendapatan. Dari pegamatan saya, yang saya lihat adalah mereka sedang belajar penghitungan penjumlahan dan pengurangan menurun seperti yang biasa dilakukan di sekolah dasar normal. Ketika saya masuk dan duduk di bangku paling  belakang, saya melihat seorang anak sedang berusaha keras menyelesaikan sebuah soal penjumlahan di depan papan tulis, ada anak yang ngobrol sendiri, ada yang tampak serius belajar, ada yang main HP, ada yang asik keluar masuk ruangan dan tidak bisa tenang atau diam. Sedangkan sang guru asik bertelepon. Sebenarnya, suasana di kelas tidak tampak terlalu berbeda dengan kelas di sekolah normal baik dari segi susunan bangku dan desain kelas, hanya saja anak-anaknya tampak lebih ribut. Ketika bel hampir berbunyi dan anak yang mengerjakan soal di depan papan tulis belum selesai mengerjakan soalnya, tiba-tiba sebagian besar murid maju ke depan dan mencoba membantu temannya. Lalu mereka tiba-tiba datang ke saya dan meminta berkenalan. Dari sini saya menyimpulkan bahwa mereka memiliki kepekaan sosial yang tinggi di antara mereka dan berani utuk berintaksi dengan orang baru secara sopan.
Saya juga sempat meminta beberapa anak untuk menuliskan identitas mereka. Di sini saya agak terkejut karena, walaupun mereka sudah D3, sebagian besar dari mereka kesulitan menulis. Bahkan hanya untuk menuliskan nama saja mereka membutuhkan waktu yang cukup lama. Akan tetapi tulisan mereka sangat rapi. Hal ini menjadi pertanyan bagi saya, mengapa mereka jauh lebih sulit untuk menulis daripada berbicara? Apakah kesulitan ini berlaku secara umum pada anak autis lainnya? Mungkin untuk menjawabnya dibutuhkan penelitan lebih lanjut.


 Johanes Anggara M.P.
“Mengidentifikasi dan Menghadapi Slow Learner”

Sebagai seorang pengajar, saya telah melihat berbagai macam karakter murid-murid. Saya pribadi menggolongkannya pada dua kelompok dasar, kelompok yang pintar dan kelompok yang bodoh. Namun, setelah mengikuti kelas Bu Wiwin, saya sadar mungkin sebagian dari murid-murid yang saya anggap bodoh, bukanlah salah mereka. Seringkali saya melihat murid-murid yang saya anggap bodoh ini terlihat tekun dan memperhatikan semua pelajaran yang saya berikan. Ini menandakan bahwa, mungkin, mereka termasuk murid keterbutuhan khusus, dalam hal ini slow learner.
Saya tertarik untuk membahas slow learner setelah saya berkunjung ke PNJ. Di sana, saya bertemu dengan Casandra, seorang slow learner. Saya tertarik untuk mencari tau penyebabnya dan bagaimana menghadapi mereka di dalam kelas. Oleh karena itu, sesuai arahan Ibu Wiwin saya mencari 5 artikel tentang slow learner dan merangkumnya dalam tugas UAS ini.
Pembahasan
Seorang slow learner dapat digambarkan sebagai seorang murid yang memiliki kemampuan untuk mempelajari keterampilan akademis, tetapi pada tingkat dan kedalaman bawah rata-rata bila dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Dalam rangka untuk memahami konsep-konsep baru, seorang slow learner membutuhkan lebih banyak waktu, sejumlah pengulangan, kesabaran dan sering lebih banyak sumber daya dari guru untuk menjadi sukses. Pada anak-anak dengan kondisi ini, kemampuan penalaran biasanya tertunda, yang membuat konsep-konsep baru yang sulit untuk dipelajari dan dipahami oleh mereka.
Hal ini penting untuk dipahami bahwa peserta didik yang lambat tidak perlu pendidikan khusus karena tidak ada bukti bahwa mereka memiliki masalah medis. Mereka hanya tidak melakukannya dengan baik di sekolah atau proyek tertentu.
Kebanyakan slow learner mengalami kesulitan dalam mempertahankan interaksi sosial dan keterampilan sosial karena tingkat IQ yang lebih rendah. IQ yang rendah juga menjadi salah satu alasan bagi slow learner biasanya tidak memahami aturan keterlibatan sosial. Ketidakdewasaan ini belum tentu karena kemampuan mental yang lebih rendah, tetapi juga kurangnya pengalaman, kesehatan yang buruk atau kebiasaan berbicara yang rendah sehingga menghambat pertumbuhannya. Anak-anak ini senang berbicara dengan orang lain, tetapi tidak mampu menjadi yang pertama untuk memulai percakapan, karena mereka pemalu, sebagian besar karena kepercayaan diri yang rendah. Mereka kadang-kadang memunculkan sifat dewasanya dalam hubungan interpersonal. Mereka juga mungkin sulit untuk menemukan dan mempertahankan persahabatan dan sering kali tidak memahami keterampilan sederhana seperti bergiliran saat melakukan tugas.
Seorang "slow learner" bukan merupakan kategori orang yang sakit. Seorang pelajar yang lambat secara tradisional diidentifikasikan sebagai orang dengan IQ yang berada di bawah rata-rata, tetapi tidak serendah dua standar deviasi di bawah rata-rata. Jika penilaian kognitif (tes IQ) memiliki mean (rata-rata) dari 100, maka sebagian besar siswa akan berada dalam satu standar deviasi dari 100. Itu berarti bahwa sebagian besar siswa memiliki IQ 85 sampai 115. Mereka yang jatuh dua standar deviasi di bawah mean sering diidentifikasi sebagai Intellectual Disability (Keterbelakangan Mental) (IQ di bawah 70). Seorang SL tidak memenuhi kriteria untuk Intellectual Disability. Namun, ia belajar lebih lambat dari rata-rata siswa dan akan membutuhkan bantuan tambahan untuk berhasil.
Perbedaan antara slow learner dengan seorang pelajar yang tidak mau belajar adalah motivasinya. Seorang slow learner pada awalnya ingin belajar, namun memiliki masalah dengan proses tersebut. Slow learner biasanya tidak termotivasi dan juga dapat menjadi agresif secara pasif. Hali ini menciptakan lebih banyak masalah bagi guru dan orang tua. Peserta didik seperti ini jarang memiliki ketidakmampuan belajar.
Masalah utama untuk kebanyakan peserta didik yang lambat mengalami kesulitan merencanakan tujuan jangka panjang dan menyelesaikan tugas dalam kerangka waktu tertentu. Hal ini terjadi karena anak akan terganggu dengan mudah dan tidak memiliki strategi internal untuk menyelesaikan tugas. Karena ini mereka kadang-kadang bekerja sangat lambat dan mengalami kesulitan mengambil beberapa instruksi. Kemampuan penalaran biasanya tertunda, yang membuat konsep-konsep baru sulit untuk memahami dan mereka memerlukan banyak dukungan.
Untuk mengidentifikasi masalah ini sedini mungkin adalah satu langkah yang besar untuk menghadapi masalah ini. Menciptakan kesadaran di antara para guru serta orang tua terhadap masalah ini adalah langkah besar dalam menangani masalah ini. Orang tua dan guru harus mendidik dirinya sendiri bagaimana mereka menghadapi anak-anak slow learner. Berikut adalah beberapa tips yang bisa digunakan untuk menghadapi masalah ini.
Tips untuk orang tua:
·         Orangtua anak harus membuat jadwal kegiatan sehari-hari anak dan kapan mereka harus melakukannya.
·         Mereka harus membantu anak SL (Slow Learner) untuk menyelesaikan tugas yang dijadwalkan. Hal ini akan membantu anak merasa diberdayakan.
·         Orang tua harus mengidentifikasi minat dan aktivitas yang dia suka dan mendorong mereka untuk mengambil bagian di dalamnya, baik di sekolah maupun di rumah.
Tips untuk guru:
·         Guru harus mendorong anak untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang mereka sukai di sekolah, dan menghargai mereka ketika hal itu dilakukan dengan baik.
·         Jangan menegur atau merendahkan mereka ketika mereka tidak mampu menyelesaikan tugas, terutama di depan seluruh kelas. Menjelaskan daerah kesalahan mereka di pengasingan adalah cara terbaik untuk menjaga harga diri mereka.
·         Sangat penting bahwa guru memahami bahwa mendorong anak SL adalah sangat penting. Seorang SL akan selalu merasa tertekan karena mereka tidak akan mampu melakukan seperti yang dilakukan rekan-rekan mereka, tetapi berfokus pada hal-hal yang mereka lakukan baik adalah kunci untuk meningkatkan kepercayaan diri mereka.
·         Mempertahankan komunikasi terbuka dengan anak SL sangat penting untuk menciptakan hubungan dengannya sehingga dia juga terbuka untuk menerima bantuan dari guru, orang tua dan terapis.
·         Terakhir, mendorong anak-anak lain untuk menangani anak dengan beberapa empati. Hal ini sangat penting, karena sangat sedikit anak-anak akan bersedia untuk bermain atau berinteraksi dengan lambat belajar, karena mereka mungkin tidak memiliki kesabaran untuk menjelaskan aturan dan membantu mereka.

Akhirnya, adalah penting bahwa kedua orang tua dan guru tidak melabel anak sebagai pembelajar yang bodoh. Memperlakukan mereka tidak berbeda dari anak-anak lain, supaya hal ini memungkinkan mereka untuk berkembang dan berkompetensi. Sebagai seorang pengajar yang baru seperti saya, sangatlah penting untuk memahami kesulitan-kesulitan yang sebenarnya dialami oleh muri-murid. Kuncinya adalah tahu cara mengidentifikasi masalah tersebut dan tahu bagaimana menghadapinya.

Artikel

Daftar Acuan

Michael, F.A. (2000). A Study Guide DSM IV. Washington DC : American Psychiatry
Shaw, S.R. (2010). Rescuing students from the slow learner trap. Principal Leadership. Februari. 2010
Pynchon, Thomas. (2012). Slow Learner. The Penguin Press. New York



Esa Yolanda Putri

LAPORAN OBSERVASI KE POLITEKNIK NEGERI JAKARTA (PNJ)
Kala Anak Autis Memilih Kampus
Depok, 12 Desember 2014 – Dalam rangka mengetahui lebih jauh dan konkrit tentang language disorder khususnya autisme, kami mahasiswa S2 Pengajaran Bahasa Universitas Indonesia mengunjungi kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) untuk melakukan observasi.  Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) merupakan lembaga pendidikan formal pertama dan satu-satunya yang diberi mandat oleh Dirjen Dikti untuk menyelenggarakan Program Studi DIII Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus (WNBK). Manajemen Pemasaran WNBK PNJ adalah pendidikan vocational yang akan melatih, mendidik dan membekali mahasiswa untuk menguasai bidang yang sesuai kemampuan dan minat masing-masing. Program studi ini akan melaksanakan individual educational program berdasarkan adapting thematic integrated curriculum.
Mahasiswa boleh memilih empat konsentrasi utama, antara lain desain grafis, art and craft, seni, atau aplikasi komputer. Kegiatan perkuliahan mereka ditempuh minimal selama 8 semester yang terdiri atas kuliah praktek dan teori. Di jurusan Manajemen Pemasaran ini terdapat tiga golongan kelas, yaitu mahasiswa penderita tuna rungu, slow learner, dan Autism Spectrum Disorder (ASD). Mahasiswa tuna rungu memiliki kesulitan berkomunikasi, tetapi kemampuan kognitifnya sama dengan orang normal. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat atau membaca gerakan bibir. Mahasiswa slow leaner tidak mengalami masalah komunikasi, akan tetapi memiliki kemampuan kognitif yang kurang. Mereka cenderung membeo dan tidak dapat mengembangkan materi kuliah seperti mahasiswa tuna rungu. Mahasiswa ASD yang memiliki kemampuan sosial rendah sehingga banyak menemukan masalah dalam proses belajar. Mahasiswa terkadang tantrum, menghilang saat kuliah berlangsung, asik sendiri, atau mengganggu temannya.
Saya masuk ke dalam kelas mahasiswa slow learner disaat mereka telah selesai mata kuliah kuliner yang diajar oleh Bapak Trio. Mereka membuat sari buah belimbing dan jambu karena dua buah tersebut adalah ikon kota Depok. Mereka bahu membahu mengemasnya dengan menarik agar laris dijual. Selain memproduksi, mereka pun harus bisa memasarkan produk tersebut karena itu adalah ilmu untuk mereka nantinya masuk ke dalam dunia kerja yang sesungguhnya. Saya pun juga berkenalan dengan salah satu mahasiswa ASD disana, namanya Erhandi Deynez Safa. Dia masuk ke jurusan aplikasi komputer yang menurutnya jurusan itu susah-susah gampang. Secara fisik memang dia sama seperti orang normal lainnya, tapi terlihat berbeda ketika dia berbicara tidak memandang saya dan tangannya pun tidak bisa diam. Diakhir kunjungan, saya diberi oleh-oleh sari buah belimbing buatan mereka. Rasanya manis dan segar, cukup komersil untuk dijual.
Saya banyak mendapat ilmu dari kunjungan ini, antara lain program studi ini sangat berguna untuk WNBK karena mereka dioptimalkan agar siap memasuki dunia kerja dan mandiri serta mengetahui jenis pekerjaan apa yang cocok bagi mereka. mereka mempunyai kemampuan dan bisa berkarya dengan baik bila diberikan kesempatan, ditangani dengan tepat, dan dihargai secara positif oleh masyarakat umum. Selain itu, hal ini pasti sangat menyejukkan hati orang tua mahasiswa tersebut karena anak mereka diberikan wadah untuk menimba ilmu yang nantinya kelak akan berguna untuk masa depannya. Dosen pun tidak kalah berperan penting, berkat didikan yang ulet, sabar, dan optimal, mahasiswa ini dapat berkembang menjadi jauh lebih baik. Saya pun belajar bersyukur melihat kondisi mereka, saya yang normal harusnya bisa lebih giat dari mereka yang berkebutuhan khusus dan mungkin suatu saat nanti saya ingin menyumbangkan ilmu saya kepada mahasiswa berkebutuhan khusus ini. Karena ilmu akan bermanfaat dan berkah jika kita dapat membaginya kepada orang lain, siapa pun itu.

Dokumentasi:



 




[1] Ega telah didiagnosis sebagai slow learner oleh pihak PNJ setelah diuji melalui tes ujian masuk PNJ
[2] Lihat di lampiran