Selasa, 09 Oktober 2012

Sekilas PRT untuk melatih perkembangan bahasa anak dengan autisme

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
Mengenal Pivotal Response Training (PRT) untuk Membantu
Perkembangan Bahasa Anak-Anak dengan Autisme
Pivotal Response Training (PRT) adalah metode yang dikembangkan untuk
membantu perkembangan anak-anak dengan autisme untuk oleh, antara lain, Robert L.
Koegel, Laura Schreibman, Amy Good, Laurie Cerniglia, Clodagh Murphy, dan Lynn
Kern Koegel dari University of California, Amerika Serikat. Salah satu aspek
pertumbuhan dari anak-anak dengan autisme yang sudah dicoba dikembangkan
menggunakan PRT adalah kemampuan berbahasa. Dalam makalah singkat ini, definisi
PRT, cara mempratikkan PRT untuk membantu perkembangan bahasa anak-anak
dengan autisme, dan pengalaman observasi praktik PRT di klinik untuk anak-anak
dengan autisme akan dibicarakan.
Secara umum, PRT adalah pelatihan yang ditujukan untuk melatih perilakuperilaku yang sentral untuk kehidupan anak-anak dengan autisme. Perubahan positif
pada perilaku-perilaku sentral ini akan menyebabkan perubahan besar pada perilakuperilaku yang lain yang akan menghasilkan perbaikan yang mendasar dan yang
tergeneralisasi pada perilaku anak-anak dengan autisme. Perilaku-perilaku sentral ini
adalah sebagai berikut:
1. motivasi,
2. kemampuan merespon banyak rangsangan,
3. manajemen diri,
4. menumbuhkan inisiatif secara mandiri, dan
5. empati.
Tujuan PRT adalah menggerakkan pertumbuhan anak-anak dengan autisme sehingga
mereka dapat berkembang seperti anak-anak kebanyakan dengan mentargetkan
sejumlah perilaku-perilaku secara umum dan menyediakan untuk mereka kesempatan
untuk hidup secara bermakna di lingkungan natural dan inklusif. Untuk mencapai
tujuan ini, hal-hal berikut ini perlu diperhatikan:

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
1. Pertanyaan/instruksi/kesempatan untuk merespon harus:
• jelas, tidak tersela, dan cocok dengan tugas (tepat sasaran);
• diatur sedemikian sehingga tugas-tugas yang sudah bisa
dilakukan juga dipraktikkan;
• diperhatikan oleh anak;
• dipilih oleh anak;
• mencakupi banyak komponen.
2. Imbalan harus:
• langsung diberikan setelah perilaku yang diinginkan dilakukan;
• langsung diberikan setelah ada usaha untuk merespon;
• berhubungan dengan perilaku yang diinginkan.
PRT utamanya dilakukan oleh orang tua, biasanya setelah mendapatkan pelatihan dari
terapis yang berkompetensi. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan kesempatan
anak-anak dengan autisme untuk mengembangkan perilaku-perilaku sentral yang
ditargetkan. Kemudian, semua orang yang berhubungan dengan keseharian anak juga
diharapkan dapat mempraktikkan PRT untuk memastikan kesamaan dan kesatuan
tindakan.
Pola interaksi yang terjadi dalam PRT adalah sebagai berikut:
1. Orang tua (atau orang lain) memberi instruksi, pertanyaan, atau
kesempatan lain untuk merespon;
2. Anak merespon;
3. Orang tua (atau orang lain) memberikan imbalan/konsekuensi kepada
anak yang tergantung pada respon anak (misal pada beberapa
kesempatan sebelumnya anak sudah bisa mengatakan ‘ya’ dengan jelas
ketika ditanya ‘apakah kamu ingin main ke luar?’; ketika anak
hanya mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti sebagai jawaban,
hal ini tidak didukung dengan cara tidak mengizinkan anak ke luar).

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
Untuk membantu perkembangan bahasa anak-anak dengan autisme PRT
dipraktikkan di lingkungan-lingkungan yang biasa ditemui oleh anak-anak. Pada
awalnya, PRT biasanya dilakukan oleh terapis yang berkompetensi di klinik; walaupun
demikian, suasana ruangan klinik diatur sedemikian rupa sehingga mirip dengan
suasana yang lazim dialami oleh anak-anak. Hal ini dapat dicapai antara lain dengan
menyediakan mainan-mainan yang disukai oleh anak yang bersangkutan dan
mendekorasi ruangan sesuai dengan selera anak-anak pada umumnya. Setelah beberapa
waktu, PRT dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tua dan orang-orang terdekat di
lingkungan-lingkungan dan kegiatan-kegiatan sehari-hari. Sebagai contoh, kegiatan
berjalan-jalan ke taman dapat digunakan untuk mengajar nama-nama warna dan
kegiatan makan bersama dapat digunakan untuk mengajar nama-nama buah. Bahasa
yang menjadi target pada awalnya dimulai dengan kata-kata sederhana dengan sedikit
suku kata yang dibutuhkan oleh anak pada kehidupannya sehari-hari. Hal ini akan lebih
mudah untuk anak dan orang tua/terapis, terutama untuk anak-anak yang belum dapat
berbicara dan masih sulit menjalin kontak mata. Di bawah ini adalah beberapa contoh
kegiatan yang dapat dilakukan:
1. Susan adalah seorang anak dengan autisme. Paul, kakaknya, bertugas
menjaganya sore ini. Susan mendekati pintu keluar ke halaman dan
berulang-ulang membenturkan kepalanya ke pintu karena dia tidak bisa
membuka pintu itu. Paul melihat kesempatan untuk mendorong Susan
meminta apa yang diinginkannya. Dia mendekati Susan, memegang
tangannya, dan berkata, “Dengarkan aku.” Susan memperhatikan Paul
dan Paul bertanya “Apa kamu mau ke luar?” Susan berkata “Ke luar.”
Paul kemudian berkata “Bagus Susan!” dan ikut bersamanya untuk
main di luar.
2. Sarah menyukai bunga dan ayahnya Harsa memutuskan untuk
mengajarkan nama-nama beberapa bunga favoritnya. Harsa akan
menggunakan pengetahuan warna yang sudah dimiliki Sarah untuk
membantunya memotivasi mempelajari nama-nama bunga. Sambil
berjalan di taman, Harsa menunjuk sekuntum mawar dan bertanya
“Apa warnanya?” Sarah berkata “Merah” , dan dia diizinkan untuk

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
memetiknya. Kemudian, dia menunjuk sekuntum mawar yang lain dan
berkata “Ini bunga apa?”, dan dia mendorong Sarah untuk
mengucapkan “mawar.” Ketika Sarah dapat mengucapkannya, dia
diizinkan untuk memetiknya. Lalu Harsa menunjuk sekuntum melati
dan bertanya “Apa warnanya?” Sarah menjawab “Putih”, dan dia
diizinkan untuk memetiknya. Harsa kemudian bertanya “Ini bunga
apa?” ketika menunjuk melati. Dia mendorong Sarah untuk
mengucapkan “melati.” Ketika dia mengucapkannya, walaupun masih
belum sempurna, dia diizinkan untuk memetiknya.
3. Rina menginginkan Roni untuk membacakan cerita sebelum tidur
untuknya. Roni menunjukkan tiga buku dan berkata kepada Rina
“Cerita yang mana sekarang?” Rina menunjuk buku Sesame Street.
“OK,” kata Roni. “Aku bacakan cerita itu.” Dia menunjukkan bukunya
kepada Rina dan berkata kepadanya “Buka bukunya.” Rina membuka
bukunya. “Lihat” kata Roni. “Ada Big Bird di depan rumah. Apa yang
kamu lihat?” Rina menjawab “Tempat sampah Oscar.” “Katakan ‘aku
lihat Oscar di tempat sampah” kata Roni.. Rina mengulangi “Aku lihat
Oscar di tempat sampah.” “Bagus” kata Roni. Apa warna Big Bird?”
“Kuning!” Rina menjawab dengan mudah.
Pada akhirnya diharapkan anak akan termotivasi untuk mengungkapkan kehendak
mereka, dapat mengelola rangsangan dari lingkungan dan lawan bicara, mengatur
dirinya sendiri untuk dapat berkomunikasi dengan orang-orang lain di lingkungannya,
memulai interaksi dan belajar berempati pada lingkungan dan lawan bicara. Dengan
mengembangkan perilaku-perilaku sentral di lingkungan natural dan inklusif,
diharapkan kemampuan bahasa anak dengan autisme dapat berkembang dan kemajuan
yang didapatkan dapat bertahan lama.
Di sebuah klinik anak-anak di Joensuu, Finlandia (Honkalampi Säätiö) pada
awal 2006 saya berkesempatan mengamati penggunaan PRT untuk membantu
perkembangan bahasa seorang anak perempuan berumur 8 tahun dengan
keterbelakangan mental dan beberapa ciri autisme. Sebut saja namanya Nina. Beberapa

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
ciri autisme yang ditunjukkannya adalah melakukan stimulasi diri (self-stimulation)
dan perilaku repetitif. Pada awalnya, dia sibuk dengan dirinya sendiri, belum bisa
melakukan kontak mata, dan belum bisa mengucapkan kata yang bermakna (hanya
babbling). Saya berkesempatan mengamatinya selama tujuh hari (90 menit sehari) dan
perkembangan yang akan saya terangkan di makalah ini adalah perkembangan yang
saya lihat dari hari kedua sampai hari keenam di sebuah ruangan di klinik tersebut
yang dilengkapi dengan mainan-mainan yang disukai oleh anak ini dan membuka
kesempatan untuk penggunaan bahasa sederhana.
Pada hari kedua dia mulai memproduksi babbling yang berintonasi sama
dengan kata-kata yang digunakan sebagai prompts pada hari pertama ('berikan', 'lagi',
dan 'menggambar' dalam bahasa Finlandia). Nina lebih bisa menjalin kontak mata pada
hari kedua ini dan lebih bisa bekerja sama dalam 'percakapan' (menghargai turn
taking). Kondisi ini berlanjut sampai hari keempat ketika para terapis dapat
membedakan bunyi yang berhubungan dengan prompts. Contohnya, untuk 'lisää' (lagi)
dia memproduksi bunyi mirip /l/ dan untuk 'anna' (berikan) dia memproduksi bunyi
seperti /a/. Nina sepertinya sudah dapat menangkap konsep suku kata karena bunyibunyi yang diproduksinya mempunyai jumlah suku kata yang sama dengan prompts
(/a/ diucapkan dua kali untuk 'anna' dengan batas yang jelas di antara keduanya).
Pada hari keempat dan kelima kegiatan menunggu dilakukan oleh para terapis
untuk mendorong Nina merespon baik dalam bentuk vokalisasi, kontak mata, atau
keduanya sekaligus. Ketika Nina mendekati seorang terapis sebagai tanda bahwa Nina
ingin terapis tersebut menyalakan sebuah mainan untuknya, terapis tersebut tidak serta
merta menyalakan mainannya. Pada dua hari ini, kadang Nina dapat memproduksi
respon secara spontan tapi pada waktu yang lain tidak. Walaupun belum konsisten,
kemampuan Nina untuk memproduksi respon spontan menunjukkan bahwa dia sudah
mengerti konsep turn taking dan bahwa dia menyadari dia membutuhkan bahasa untuk
merekayasa lingkungan.
Pada hari keenam terjadi kemajuan yang sangat menggembirakan. Dua dari
terapis yang bertugas memberitahukan bahwa Nina dapat memproduksi vokalisasi

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
yang sangat jelas yang mirip dengan kata 'anna.' Kualitas vokalnya sempurna
walaupun belum ada bunyi konsonan yang terdengar. Mengenai kemampuan sosialnya,
Nina lebih terbuka yang terlihat dari kontak matanya yang lebih langsung. Pada sesisesi sebelumnya dia memandang para terapis dari sebelah atas matanya tapi pada hari
keenam ini dia melakukannya secara normal. Kemudian, Nina dengan bebas
menunjukkan minat yang lebih besar kepada mainan-mainan yang disediakan.
Sebagai kesimpulan dari penjelasan singkat yang sudah diberikan, PRT
sebagaimana dijelaskan di atas dan dipraktikkan di Honkalampi Säätiö adalah salah
satu cara yang dapat membantu perkembangan bahasa anak-anak dengan autisme. Di
sisi lain, generalisasi perkembangan yang terjadi lebih mungkin bertahan lama karena
PRT dilakukan di lingkungan natural oleh orang-orang yang dekat dengan anak-anak
dengan autisme. Akhirnya, para orang tua yang berminat untuk mengetahui keterangan
yang lebih lengkap mengenai PRT dan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan
untuk membuktikan keberhasilannya dapat membaca buku-buku yang disebutkan
dalam daftar pustaka.

Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc.
Program Studi Inggris, Departemen Linguistik, Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
Koegel, Robert L. & Lynn Kern Koegel. 2006. Pivotal Response Treatments for
Autism: Communication, Social, and Academic Development. Baltimore: Paul
 H. Brookes Publishing Co.
Koegel, Robert L., Laura Schreibman, Amy Good, Laurie Cerniglia, Clodagh Murphy,
& Lynn Kern Koegel. How to Teach Pivotal Behaviors to Children with
Autism: A Training Manual.
Schreibman, Laura E. 2005. The Science and Fiction of Autism. London: Harvard
University Press.

Tidak ada komentar: