Rabu, 24 September 2014

Profile story of Harwintha

Name              : Yesinia Agnesaputri
Std. Number   : 1206203541
Class               : Creative Writing Journalism

Harwintha Yuhria Anjarningsih; A Picture of Ideal Woman.
September 21, 2014.
           
            Harwintha Yuhria Anjarningsih, who is often called Ms. Wiwin, is one of the lecturer in English Department University of Indonesia. She was born on 2nd of March, 1991 in Kebumen. She is known for having a great integrity and quality when it comes to teaching matter. This quality surely comes from her educational background. She was awarded an Erasmus Mundus Scholarship to study in Europe after she graduated from University of Indonesia. She went to Finland, Netherland and Germany to finish her Master in Clinical Linguistic for 15 months. In 2012, she got her Doctorate degree after she spent 3,5 years to finish it in Netherland. However, behind her professionalism in teaching, she is also a great figure of mother.
            Ms. Wiwin was married in 2006, and gave birth to her two little sons.  Her first son is 7 years old now, and her second son is only 1 year old. Her children are really dependent on their mother so much since they are still very young. At home, she dedicates all her time to take care of her children. Every day, she leads her role as a good mother. She always makes breakfast for her sons, helps her first son to do the homework, helps him in his preparation to go to school, and plays with her second son. She also does the house chores such as laundry, drying clothes, and cooking. You can probably imagine how hard it is for her to take care of her two little sons, and do her job as a lecturer professionally at the same time. She sometimes finds it difficult to split her time between her family and her job as a lecturer. Because of her busyness in taking care of house stuffs, she can hardly do the preparation for teaching and correcting the students’ assignments. Fortunately, she has an affectionate husband, who understands her situation and always supports her to overcome her difficulties. In our interview on last Thursday, she once said, “Sometimes it’s very difficult to manage time especially when I have a lot of writing materials to correct. That’s really challenging. But I think is here the key is actually in understanding between a wife and a husband, and also discipline”. She admits that she gets so many helps from her husband to handle the stuffs at home.
            However, nothing great happens without any loss. Ms. Wiwin, who really likes traditional food, has to sacrifice the quality time for herself.  She concedes that she rarely hangs out with other people or goes to the restaurant. Unlike any other women, she rarely indulges herself. For her, waking up at 3 o’clock in the morning, doing the pray, having a cup of tea while reading online newspaper or shopping online already satisfy her.
            Her professionalism in teaching, her great contribution in raising her children, and her simplicity, makes her such an inspirational figure of women who succeeds to undergo her roles as a mother and also a career woman. She is a picture of the idea of ideal woman. She is what every woman wants to be.
-Yesinia Agnesaputri-

            

Selasa, 23 September 2014

Harwintha sebagai narasumber: Mengenal Disleksia Sejak Dini

Mengenal Disleksia Sejak Dini

Penulis: Fachrurozi

Memiliki anak yang mahir membaca, menulis, mengeja, dan berhitung saat bersekolah tentu menjadi harapan setiap orang tua. Kenyataannya, beberapa anak terbata-bata saat membaca atau memakan waktu lama kala mengeja kata. Sementara anak-anak lain mampu membaca atau mengeja dengan lancar. Jika mendapati anak dengan kondisi itu, orang tua perlu curigai. Bisa jadi sang anak menderita disleksia.

Disklesia merupakan kondisi ketidakmapuan belajar pada anak. Tandanya, anak kesulitan mengenali kata dengan tepat, tidak akurat dalam mengeja dan mengodekan simbol. Juga sulit mengingat huruf atau angka, susah menulis, mengalami keluhan gangguan konsentrasi, serta mudah lupa.

Pengajar psikolinguistik di Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Harwintha Yuhria Anjarningsih mengatakan, gangguan kesulitan belajar ini bukan karena anak kurang kecerdasan atau kesalahan dalam pengajaran. “Melainkan karena masalah defisit fonologis, yakni ketidakmampuan anak memahami pemetaan antara grafem atau huruf, dan fonem atau bunyi,” ujarnya kepadaPlasadana.com untuk Yahoo Indonesia, Sabtu, 6 September 2014.

Contohnya, penyandang disleksia sulit membedakan antara ‘paku’ dengan ‘palu’. Atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ‘lima puluh’ dengan ‘lima belas’. Kesulitan ini bukan disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.

Peraih gelar doktor linguistik dari Rijksuiversiteit Groningen, Belanda itu mengatakan, mengenali disleksia sejak dini sangat penting bagi orang tua dan guru. Dengan begitu, si penderita mampu keluar dari kesulitan dan bisa bersekolah dengan baik seperti anak-anak seusianya. “Sayang, Indonesia belum mempunyai sistem resmi untuk mengenali dan membantu penderita disleksia,” kata dia.

Tapi sebenarnya banyak cara untuk membantu pengidap disleksia. Para ahli percaya penerapan metode pengajaran kreatif menggunakan alat peraga dan perangkat teknologi bisa membantu anak mengejar ketertinggalan. Juga intervensi khusus melalui pendekatan konseling pada anak.

Disleksia juga bisa teratasi dengan berusaha keras dan latihan secara terus-menerus sesuai minat si anak. “Atau dengan melatih indera peraba dan mengeskplorasi bidang yang dia kuasai,” kata dia. “Pun mengintervensi anak dengan berlatih menulis di atas laptop.”

Ketika di rumah, Harwintha menyarankan, orang tua dan orang terdekat selalu mendukung anak disleksia dalam belajar. Juga menerapkan teknik pengajaran seperti mengenal huruf, melukis, mewarnai, dan menyusun kepingan puzzle. Ia yakin, cara ini mampu memotivasi dan menumbuhkan kreativitas anak.

Harwintha juga mengingatkan bila kepandaian tidak hanya bisa terukur dengan kemahiran membaca, menulis, dan berhitung. Sebab setiap anak memiliki kelebihan lain yang bisa tereksplorasi. “Anak-anak disleksia biasanya unggul di bidang lain seperti melukis, bermusik, atau berolahraga. Potensi inilah yang seharusnya digali orang tua dan guru,” ujarnya.

Jumat, 19 September 2014

Harwintha sebagai narasumber: Enam Seleb Pengidap Disleksia

Enam Seleb Pengidap Disleksia

Penulis: Fachrurozi

Terlahir dengan gangguan saraf, penyandang disleksia memiliki kesulitan belajar dan mengolah kata, terutama kala membaca, menghitung, mengingat, dan mengeja. Beberapa di antara mereka bahkan terpaksa keluar dari sekolah alias drop out dan memilih mengikuti program belajar atau memanggil guru ke rumah.

Berbeda dengan gangguan belajar biasa, penyebab disleksia bukan kurangnya kecerdasan, tapi karena kelainan genetik pada individu dengan Intelegency Quotient (IQ) normal atau bahkan di atas rata-rata.

Pengajar psikolinguistik di Departemen Linguistik Universitas Indonesia, Harwintha Yuhria Anjarningsih mengatakan, pengidap disleksia memiliki kelebihan di bidang lain selain membaca dan menulis. Mereka cenderung baik di bidang lukis, musik, atau olahraga. “Potensi inilah yang harus dieksplorasi para guru dan orang tua,” ujarnya, Sabtu, 6 September 2014.

Dalam sejarah, beberapa pesohor seperti Leonardo da Vinci, Agatha Christie, dan Tom Cruise memiliki kesulitan belajar. Mereka melawan dan tak menyerah pada kenyataan. Perlahan tapi pasti, mereka pun sukses dalam karier. Berikut kisah pesohor pengidap disleksia, berdasarkan penelusuran Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia.

Leonardo da VinciLeonardo da Vinci1. Leonardo da Vinci (15 April 1452-2 Mei 1519)
Leonardo da Vinci dikenal sebagai pelukis masyhur terutama lewat dua karyanya, Mona Lisa dan The Last Supper. Pria asal Tuscany, Italia, itu juga dikenal sebagai ilmuan, ahli matematika, insinyur, pemahat, arsitek, botanis, pemusik, dan penulis.

Di balik ketenarannya, pelukis bertangan kidal ini mengidap disleksia. Kondisi ini terkuak kala para peneliti mengamati sejumlah ide penemuan di buku harian Da Vinci yang tertulis terbalik, seperti saat melihat cermin. Bagi para peneliti, kemampuan menulis terbalik biasa dilakukan penderita disleksia bertangan kidal. Uniknya, pengidap disleksia tak menyadari jika cara menulis itu tak sama dengan orang kebanyakan.

2. Albert Einstein (14 Maret 1879-18 April 1955)
Kebanyakan orang mengenal Albert Einstein sebagai tokoh fisika paling penting abad ke-20. Tapi hanya sedikit saja yang mengetahui Einstein mengidap disleksia saat masih bersekolah. Pemikir kelahiran Ulm, Jerman itu memiliki memori buruk dan tak mampu mengingat hal sederhana. Akibat gangguan itu, Einstein pun dikeluarkan dari sekolah.

Mantan suami Mileva Marić memang tak mampu mengingat bulan dan tahun dengan tepat, tapi berhasil memecahkan rumus matematika paling rumit tanpa kesulitan apapun. Dia pun tak pernah belajar bagaimana mengikat tali sepatu dengan benar, tapi teori relativitasnya berpengaruh besar pada semua ilmu pengetahuan terkini.

Einstein berhasil mengatasi gangguan belajarnya lewat satu peristiwa yang tak disengaja. Suatu hari, sang ayah, Hermann Einstein, memberikan sebuah kompas. Einstein lantas mencari tahu sebab jarum di kompas itu bisa bergerak sendiri. Ia mulai mengutak-atik alat penunjuk arah itu dan merakitnya kembali. Dari situ, Einstein tertarik pada ilmu merakit barang dan belajar matematika.

3. Agatha Christie (15 September 1890-12 Januari 1976)
Kalau Anda menggemari cerita Detektif Hercule Poirot dan Miss Marple, tentu tak asing dengan Agatha Christie. Ya, dialah pengarang perempuan Inggris legendaris yang mengundang banyak decak kagum para pembaca dan kritikus sastra lewat cerita misterinya.

Namun di balik kehebatan mengarang cerita, Christie menderita disleksia. Tapi ia tangguh melawan kesulitan belajar ini dengan terus berlatih menulis hingga melahirkan novel berkelas.

Karyanya pun menginspirasi banyak penulis dan pembuat film. Menurut catatan Michael Fleming, editor film Deadline Hollywood, 19 novel Christie telah teradaptasi menjadi film. Sementara novel And Then There Were None tercatat dalam daftar buku dengan penjualan terbaik di abad ke-21. Karya Christie laris hingga empat miliar eksemplar.

Pemegang Guinness Book World Records itu menuturkan, “Sampai menjadi penulis pun saya masih sering kesulitan mengeja kata-kata dengan benar. Tapi untuk itulah gunanya ada editor, bukan?” candanya.

Menghadapi disleksia, istri Max Mallowan itu menyarankan agar para penyandang mampu menerima situasi itu dan fokus pada aktivitas yang bisa dilakukan. Sehingga mampu mengeksplorasi potensi dan bakat yang tersembunyi.

Walt DisneyWalt Disney4. Walter Elias Disney (5 Desember 1901 – 15 Desember 1966)
Nama Walter Elias Disney alias Walt Disney sangat kondang di dunia hiburan. Selain sebagai pengusaha, Walt adalah produser, sutradara, penulis naskah, pengisi suara, dan animator ulung. Satu karyanya, Mickey Mouse, di mana Walt sendiri mengisi suara pada karakter itu, berhasil menyedot perhatian penggemar kartun dunia pada awal 1930-an.

Di jagat hiburan, pemegang 26 trofi Academy Awards itu dikagumi karena inspirasi dan inovasi lewat film animasi serta taman bermain, Disneyland, di berbagai negara. Walt melengkapi popularitas itu dengan imajinasi, optimisme, dan kreativitasnya. Di luar panggung hiburan, Walt kerap menyisihkan sebagian kekayaan untuk kegiatan amal.

Tapi tak banyak pengagum mengetahui perjuangan Walt melawan disleksia. Akibat gangguan itu, pria kelahiran Chicago, Amerika Serikat ini harus belajar lebih keras ketimbang anak-anak seusianya. Dia mesti bersekolah di dua tempat: sekolah menengah umum dan akademi seni rupa. Pun mengikuti kursus setiap Sabtu di Kansas City Art Institute. Langkah itu dia lakukan agar bisa menyalurkan potensi menjadi energi positif.

5. John Lennon (9 Oktober 1940-8 Desember 1980)
Masyarakat dunia mengenal John Lennon sebagai penyanyi legendaris lewat dereta lagu bersama The Beatles. Berkolaborasi dengan Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Star, karakter musik grup band asal Inggris itu cenderung atraktif, ngepop, dan menyuarakan antikemapanan. Sejak 1960-an, suami Yoko Ono itu terlibat dalam berbagai kegiatan amal aktivitas perdamaian.

Popularitas Lennon berhasil menyihir generasi musik pada masanya, bahkan hingga The Beatles bubar pada 1970. Namun sangat sedikit yang menyadari perjuangan Lennon melawan disleksia kala kecil. Tapi Lennon bukan tipe penyerah. Musik menyelamatkannya dari disleksia.

Para peneliti menyebut Lennon berhasil menggubah lirik dan lagu karena disleksia. Gangguan mengelola ingatan itu menyulitkan ia menghapal lirik lagu favorit, sehingga membuat lirik tambang sendiri. Dari situ Lennon menekuni bidang musik hingga wafat pada 8 Desember 1980, setelah ditembak Mark David Chapman, seorang penggemarnya yang gila.

6. Tom Cruise (3 Juli 1962)
Tom Cruise adalah aktor dan produser film yang bersinar di panggung Hollywood. Sebelum melambung lewat film Mission Impossible, pemilik nama asli Thomas Cruise Mapother IV itu mengidap disleksia sejak kecil. Tanpa sungkan, Tom mengakui gangguan yang dia derita di hadapan publik seraya menyakinkan para orang tua soal solusi untuk menanggulangi sindrom itu.

Mantan suami Katie Holmes itu menuturkan selalu tertinggal saat mengikuti pelajaran di sekolah. Dia sempat frustrasi ketika disleksia hampir menghancurkan karier aktingnya. Sebab sebelumnya penyakit ini menggagalkan impian Tom menjadi pilot.

Tom berhasil melewati masa sulit setelah mengikuti program belajar Scientology yang dikembangkan Ron Hubbard. Hasilnya, Tom mampu mengatasi kesulitan membaca. Dan kini, dia menjadi anggota dewan yayasan penanggulangan kesulitan membaca HELP (Hollywood Education and Literaty Problem), yang bertujuan membantu penderita disleksia.

Kamis, 04 September 2014

D3 Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus di PNJ, Depok

Politeknik Negeri Jakarta membuka Program Studi D3 Manajemen Pemasaran untuk Warga Negara Berkebutuhan Khusus. Untuk info lebih lanjut dapat langsung datang ke kantor Direktorat PNJ. Untuk nomor hp narahubung dosen pengajar dapat men-japri saya.

Sabtu, 03 Mei 2014

Dijual buku Pentingnya Identifikasi Dini Disleksia untuk Masa Depan Anak-anak

Dijual buku tulisan saya dengan judul seperti di judul posting. Harga Rp 35.000 di luar ongkos kirim. Berat @200 gr. Terbitan Pustaka Cendikia, Yogyakarta. Silahkan hubungi 0812 860 60 584 untuk info lebih lanjut dan pemesanan.

Minggu, 27 April 2014

Parenting Seminar Cakra Buana Play Group & Kindergarten 2 April 2014

Parenting Seminar
Cakra Buana Play Group &
Kindergarten
2 April 2014
Harwintha Y. Anjarningsih, M.Sc., PhD
0812 860 60 584
wintha_salyo@yahoo.com

Parenting  /teaching
Bilingualisme
• Fleksibilitas kognitif
• Kesadaran bahwa dunia bisa dipandang dari
dua atau lebih sudut
• Kesempatan merasakan dua atau lebih budaya
atau dunia

Parenting & bahasa kedua/asing
• Menumbuhkan minat anak
• Memajankan / meng-expose anak
• Menyediakan kegiatan yang menyenangkan
• Jangan mengulang kesulitan atau kesedihan
yang muncul di kelas

Bagaimana melakukannya
• Percaya diri
• Mencari kegiatan offline dan atau online
• Melakukan interaksi langsung dengan anak
• Menyiapkan beberapa kegiatan attention
span anak yang pendek

Jadi,….
• Tidak harus mahir sekali
• Memajankan bisa pada berbagai level
bunyi, kosa kata, kalimat, cerita

Bahasa apa
• Yang mana saja tidak masalah
• Bisa dipajankan pada bahas asing dan bahasa
daerah
• Sedikit-sedikit mendapatkan banyak bahasa
tidak masalah

Terima Kasih




















Rabu, 21 Agustus 2013

Harwintha di artikel di majalah Media Kawasan Juli 2013



Parenting
Media Kawasan Juli 2013

Jangan Keburu Gusar Bila Si Kecil Bicara Kasar

Salah satu fase dalam tumbuh-kembang anak adalah ketika si kecil mulai belajar bicara. Namun, bagaimana jika dari mulut mungilnya terlontar kata-kata kasar? Alih-alih marah, baca dulu artikel berikut.

*
Pada jam istirahat di suatu sekolah dasar, seorang guru menonton  sekelompok siswa bermain bola di lapangan. Namun, alangkah terkejutnya sang guru ketika mendengar anak-anak tersebut kemudian saling menyerukan kata-kata kasar tanpa sungkan. Dengan enteng, mereka meneriakkan kata-kata yang diambil dari koleksi kebun binatang maupun makian yang tidak pantas keluar dari mulut mereka.
Tentu saja, tidak ada orangtua atau guru yang ingin anak mereka berkata-kata kasar. Semua orangtua ingin anak mereka berbicara dengan baik dan sopan. Namun, ada kalanya orangtua “kecolongan” dan mendengar buah hati mereka melontarkan kata-kata yang tidak sopan. Kondisi ini mungkin terjadi karena berbagai faktor, mulai dari pengaruh lingkungan dan pergaulan, sampai contoh yang didapat anak dari orang dewasa di sekitar mereka. 
“Ketika kemampuan bicara anak mulai lancar, anak mulai mencontoh lingkungannya. Ketika itulah, kecenderungan bicara kasar mulai terjadi,” ujar Katarina Ira Puspita, M.Psi., psikolog dari Kassandra Associates, kepada Media Kawasan.

*
Menurut Katarina, ada berbagai alasan seorang anak bicara kasar. Pertama, anak sebenarnya hanya menirukan apa yang ia dengar dari orangtua, teman, atau tayangan di televisi. Bisa jadi, ia mengucapkan kata-kata kasar itu tanpa memahami artinya.
Hal ini ditegaskan pula oleh Harwintha Yuhria Anjarningsih, Ph.D., staf pengajar Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. “Pada usia 1,5 tahun, anak masih berada pada fase imitasi atau mencoba-coba, karena alat ucapnya juga baru berkembang. Jadi, kalau anak usia sekian berbicara kasar, belum tentu mereka paham maknanya,” jelas Harwintha kepada Media Kawasan.
Kalau sudah begini, reaksi terbaik yang bisa diberikan orangtua adalah bersikap tenang dan jangan berlebihan. “Tanyakan baik-baik maksud kata-kata kasar yang diucapkan anak Anda. Kalau anak ternyata tidak paham arti kata kasar yang diucapkan, beri tahu arti yang sebenarnya dan jelaskan mengapa kata tersebut tidak boleh digunakan. Jelaskan bahwa itu tidak sopan. Misalnya, jelaskan bahwa anjing itu hewan, masa orang dibilang hewan, itu kan tidak baik,” saran Katarina.
Bila ditelisik dari kacamata psikologi linguistik, ada dua variable yang memengaruhi penyimpanan dan pengambilan kata-kata, yaitu frekuensi dan age of acquisition. Jadi, kata-kata yang kita dapat saat masih kecil lalu sering dipakai akan cenderung lebih ‘menempel.’ Frekuensi juga menentukan, yakni bagaimana kata-kata yang lebih sering diucapkan akan lebih sering teringat.
“Karena itu, kalau kata-kata kasar tidak diulang-ulang, maka frekuensinya akan menjadi semakin rendah. Ditambah lagi dengan membangun kosakata yang baik, pasti kebiasaan anak berbicara kasar akan berkurang,” tegas Harwintha. 

*
Tidak ada orangtua yang secara sengaja mengajarkan berbicara kasar pada anaknya. Tapi jangan lupa, kendati di rumah tidak diajarkan, anak sudah mulai berinteraksi dengan dunia luar. Ketika anak mulai berinteraksi dengan orang lain dan bersosialisasi dengan teman-teman, biasanya pada usia empat tahun ke atas, ia akan mulai terpengaruh. 
Menurut Harwintha, normal saja kalau anak terpapar bahasa dari lingkungan. Problemnya adalah kalau isi bahasa tersebut kurang pantas dan tidak sopan. “Karena itu, kita harus kembali ke lingkungan, ya orangtua, ya pengasuh, dan orang dewasa lain yang benar-benar berinteraksi dengan anak. Sedapat mungkin, minimalisir paparan kosakata yang tidak baik, termasuk dari pergaulan anak dan juga dari televisi,” katanya.
Dalam hal ini, peran orangtua sangatlah penting, karena ada penelitian yang menyebutkan seberapa banyak orangtua bicara pada anak akan memengaruhi besarnya kosakata anak pada usia SD.
“Dalam kondisi ideal, 10-20 persen dari besarnya kosakata seorang anak merupakan andil orangtua. Ini memang tidak terlalu besar, tapi kita bisa menganalisis dari sisi yang berbeda, bahwa ketika ada faktor dari luar, orangtua tidak harus kecil hati, karena mereka masih bisa melakukan sesuatu. Toh, orangtualah yang sebenarnya berinteraksi lebih intensif dengan anak saat anak berada di rumah,” papar Harwintha.

*
Selain hanya menirukan apa yang pernah didengar tanpa memahami artinya, alasan lain seorang anak berbicara kasar adalah untuk mencari perhatian. “Ini pun jangan dimarahi, sebab anak malah akan semakin mengulangi perbuatannya,” ujar Katarina. “Reaksi emosional orangtua akan membuat anak merasa tidak nyaman dan sedih.”
 “Yang pasti, orangtua harus mencari tahu apa motivasi anak mengucapkan kata-kata kasar. Apakah karena ia tidak paham artinya, atau sedang cari perhatian?” ungkap Katarina. Selain mengingatkan anak, orangtua juga harus memberikan contoh yang baik, karena bagaimanapun seorang anak akan belajar dari orangtuanya.
Poin penting yang harus digarisbawahi, menurut Harwintha, adalah bahwa anak-anak, baik yang berkembang normal ataupun tidak, memiilki potensi mendapatkan bahasa, dan apa yang mereka dapatkan tergantung dari apa yang ada di lingkungan.
“Kita harus berhati-hati, karena bisa jadi anak hanya mengolah input yang dia dapat dari lingkungan. Sebagai orangtua, kita harus bisa mengatur dan mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dengan anak, bagaimana agar dari segi bahasa bisa menjaga sopan santun. Sekali lagi, seorang anak sangat punya potensi belajar dari lingkungan,” Harwintha mengingatkan. 

*
“Saran saya, ketika sudah kadung anak Anda yang masih kecil berbicara kasar, para orangtua jangan lagi mengucapkan kata-kata tersebut di rumah, tapi timpali dengan kata-kata yang baik, sehingga presentase paparan yang tidak baik menjadi lebih kecil,” pesan Harwintha. 
Sementara itu, untuk anak usia 3-4 tahun yang secara kognitif dan psikologis sudah lebih maju, sudah bisa diberikan penjelasan. Bagaimana dengan anak yang lebih besar? Orangtua perlu tahu bahwa bahasa digunakan untuk mengindentifikasi seseorang dengan lingkungan sebagai bagian dari kelompok tertentu. Dalam hal ini, orangtua harus bisa mengatur dan memonitor bagaimana anaknya bergaul, karena kalau anak sudah mengidentifikasikan dirinya dengan suatu kelompok, akan lebih sulit menanganinya.
“Yang paling penting di sini adalah konsistensi orangtua. Secara psikologis, orangtua harus menjadi panutan dengan bicara yang baik. Metode juga berpengaruh. Orangtua harus tahu bagaimana cara terbaik berkomunikasi dengan anaknya,” tandas Harwintha.